Kamis, 22 Desember 2011

Perjalanan ke Negeri 1000 Pelangi (Part 2)


Stasiun Kota Bekasi
Stasiun-stasiun yang dilewati menunjukkan bahwa hampir dekat stasiun tujuan saya. Hati saya mulai berdebar-debar dan cemas jika Stasiun Kota Bekasi telah saya lewati. Untuk itulah saya memutuskan untuk langsung menenteng tas ransel saya dan menuju ke pintu gerbong yang ternyata sudah sangat padat dengan orang. Saya memilih untuk duduk di kursi kosong di samping seorang wanita yang penuh dengan bawaannya. Syukurlah dia mempersilakan saya menempati tempat duduk itu. Capek juga kalau harus berdiri dengan tas ransel yang berat di punggung. Perumahan-perumahan padat dan kumuh mulai terlihat di kiri-kanan rel yang kami lewati. Plang selamat datang di Kota Bekasi pun sudah Nampak, namun saya masih juga belum menemukan stasiun yang dimaksud. Hati saya semakin berdebar-debar. Akhirnya saya bangkit dari duduk dan menuju pintu gerbong yang sudah sesak dengan orang dan pedagang kaki lima. Saya bertanya pada seorang wanita di pintu gerbong itu yang mengenakan pakaian dengan aksen tomboy dengan topi gunungnya, “Mbak, Stasiun Bekasi kira-kira berapa stasiun lagi ya mbak?” Dia menjawab dengan ramah, “Oh, bentar lagi kok mbak. Tunggu aja”
Akhirnya tibalah saya di stasiun yang ramai. Orang-orang pun mulai bergegas untuk turun dari kereta. Dengan ragu-ragu saya mengikuti mereka. Saya hanya random saja mungkin inilah Stasiun Bekasi karena saya tidak melihat plang namanya tadi. Ah, biarlah kalau tersesat. Pasti ada jalan. Orang-orang mulai berebut untuk turun dari kereta karena waktu kereta berhenti di stasiun itu sangat pendek. Begitu saya turun, beberapa detik kemudian kereta itu pun sudah melaju kembali. Waktu menunjukkan pukul 16.15 waktu setempat. Saya bergegas untuk mencari mushola terdekat untuk menjalankan shalat dhuhur yang dijamak takhir dengan shalat ashar. Saya kemudian mengirim pesan singkat kepada teman saya, Mita, yang hendak menjemput saya di stasiun ini. Akhirnya saya lega karena ternyata ini benar-benar Stasiun Bekasi. Syukurlah…
Wah, ternyata untuk sampai di mushola saya harus menyeberang rel dulu. Padahal kereta yang melaju di kereta itu kadang sangat kencang. Huft, saya pun memberanikan diri untuk ikut menyebarang bersama para penumpang lain yang sudah ramai di pinggir rel hendak menyeberang.
Ternyata mushola stasiun ini sangat kecil dan sempit. Saya harus berhimpitan dengan seorang ibu yang sedang menjalankan shalat dengan dua orang anaknya yang ia tugaskan untuk menjaga setumpukkan barang bawaan mereka. Sang kakak laki-laki berumur sekitar 9 tahun dan sang adik yang perempuan kira-kira berumur 5 tahunan. Mereka bermain-main sendiri sementara si ibu berusaha untuk khusyu dalam shalatnya. Shalat di sini memang sulit sekali untuk khusyu karena suara bising khas stasiun dan goncangan yang dirasakan saat ada kereta lewat di rel dekat mushola tersebut. Kadang saya harus terhuyung saat ruku karena kaki yang masih lemas akibat perjalanan jauh dan goncangan yang diciptakan oleh kerta yang melintasi rel. Sementara itu nada dering hp di tas saya terus berbunyi menambah keterburuan saya dalam shalat. Saya akhirnya cepat-cepat menyelesaikan shalat saya. Ternyata sudah ada 7 missedcall! Saya pun menelepon nomor tersebut yang mungkin kakak teman saya, Mita. Akhirnya saya keluar dari mushola dan menemukan teman saya Mita yang sedang mencari-cari dengan cemas. Begitu melihat saya dia langsung marah-marah pada saya, “Mbak! Kemana aja?! Teleponnya kok nggak diangkat-angkat sih, kan aku jadi cemas takut kenapa-kenapa sama mbak… Aku tadi udah di mushola tapi mbak nggak ada.” Dengan nyengir saya pun meminta maaf padanya. Ya gimana lagi masa sedang shalat bisa mengangkat telepon.
Kami pun menyeberang rel kereta lagi dan menuju parkiran.
“Itu kakakku udah nunggu di mobil.” Kami pun berjalan dengan cepat dan mencari-cari di pinggir jalan yang sangat padat dengan becak dan mobil yang semrawut. Wow, jalanan macet begini bagaimana nanti bisa sampai rumah?
“Nah, itu mobil kakakku! Yuk nyebrang mbak!”
Berkali-kali kami harus menyetop kendaraan yang melaju untuk dapat menyeberang ke seberang jalan. Mobil kijang silver pun sudah menunggu di ujung jalan. Leganya…
“Uni, ini temenku dari Jogja…”
“Hai mbak! Saya Wulan temennya Mita.” sambil mengulurkan tanganku ke depan.
“Dek, itu di jok belakang ada roti. Kamu belum makan kan?”
“Yap, makasih mbak!” Hehe…tahu saja kalau saya lapar.
Sementara itu mobil mulai melaju pelan di tengah keramaian Kota Bekasi.
“Jangan kaget ya mbak kalo di sini...hehe…” ternyata Mita mulai menangkap pikiranku yang sedari tadi melihat-lihat pinggir jalan.

Hampir 20 menit kami meniti jalanan Kota Bekasi yang padat. Akhirnya sampailah kami pada sebuah gang kecil yang penuh sesak dengan pedagang kaki lima maupun pedangan makanan kios emperan yang berjejal di ujung jalan sempit nan lusuh ini. Wanita-pria, tua-muda, berjejal di pinggir gang nan sempit itu sedang mengantri membeli makan. Para lelaki duduk-duduk santai di kursi panjang bercengkerama sesama mereka dengan segelas kopi atau teh di meja hadapan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar