Rabu, 28 Oktober 2020

Ruang

Saya sedang menyelesaikan buku ringan yang akhir tahun kemarin diekstafet kepada saya untuk selanjutnya saya ekstafet kembali ke orang lain setelah saya membacanya. Jadi ini adalah semacam latihan juga untuk hidup minimalis dengan menyedikitkan attachment kita pada barang atau sesuatu. Semakin sedikit yang bisa kita organize, semakin baik, semakin lapang hidup kita. Yah, barangkali saat ini mulai banyak orang terobsesi pada konsep Marie Kondo dengan seni tidying-up. Lebih pada belajar mindful dengan apa yang kita miliki dan hadir sepenuhnya pada kondisi saat ini di sini. Tentu saja kita yang terbiasa hidup memuaskan diri dengan membeli banyak barang akan terasa sulit menerapkannya. Saya sendiri pun.

Awal-awal saya sangat semangat untuk mulai memilah baju mana yang masih saya pakai dan mana yang sudah tidak saya pakai. Belajar betul untuk membatasi jumlah pakaian yang ada di lemari. Jika menginginkan sesuatu yang baru, paling tidak ada jumlah yang sama yang harus dikeluarkan dari lemari. Ternyata saya sampai saat ini belum bisa. Malah justru menyulitkan diri sendiri dengan mengikuti komunitas tukar baju agar baju-baju lama tertampung dan mendapat baju baru. Ternyata, baju baru yang saya dapatkan malah tidak sesuai dengan apa yang saya butuhkan. Pada akhirnya kembali lagi ke kotak barang yang ingin saya tinggalkan. Bukan salah konsep yang ditawarkan oleh komunitas tukar baju itu sih sebenarnya. Tapi saya sendiri yang bermasalah dengan belum mampunya saya untuk mindful dengan apa yang benar-benar saya butuhkan.

Saat ini justru orang-orang lebih kesulitan mencari tempat agar barang-barang lama mereka dapat dikelola atau digunakan, tapi mereka sendiri masih sibuk mencari yang baru. Nah, ini akan terus berlanjut seperti siklus dan makin sedikit kemampuan orang untuk mengelola apa yang sudah mereka miliki. Karena untuk menginginkan sesuatu yang "seperti orang lain" ada yang harus diganti atau dilepas. Semakin banyak menginginkan sesuatu, semakin sempit pula kapasitas penampungan jika tidak ada yang dikurangi atau dilepas.

Masing-masing kita memiliki kapasitas yang berbeda-beda dalam mengorganisir atau menampung sesuatu. Ada yang kapasitas fisik luas, tetapi kapasitas batin mereka tidak cukup luas. 

Sebenarnya kita butuh ruang yang lebih lapang, bukan barang yang lebih banyak.

Ruang lapang itu adalah untuk diri kita sendiri. 


Senin, 26 Oktober 2020

Ekspektasi

Tahun ini banyak hal yang sudah terjadi yang di luar perkiraan kita bukan? Manusia seperti dipaksa untuk memutar arah. Tidak apa-apa. 
Jadi kerjaan saya selama pandemi ini hanyalah nongkrong di depan laptop dan scrolling media sosial sambil mencari-cari sesi online yang bisa saya ikuti sebagai selingan paper review dan drakor tentunya. Hehe. Nggak papa ya, niat untuk mengubah blog ini menjadi lebih serius tentang isu-isu pembangunan, sepertinya akan kandas dengan gaya tulis saya yang sedang ingin santai. Nah, salah satu sesi yang agak rutin saya ikuti adalah Hening Serentak bersama mas Adjie Santosoputro melalui live IG-nya. Ya saya jadi boros pulsa data sih memang. But I can't help
Sekitar Juni lalu kita berlatih untuk mengurangi ekspektasi. Lagi-lagi titik beratnya pada relationship. Huft, ini pe-er terberat saya. Membayangkannya saja sudah menghela napas berat duluan. Seperti berhadapan dengan Gunung Merbabu untuk didaki. Iya, saya masih saja berada dalam ketakutan yang sama. Meski sudah belajar sedemikian rupa untuk sedikit demi sedikit berbaur dan bergaul secara terbuka dengan siapa saja. Malah curhat lagi.
Oke, jadi kan kita nih manusia, siapapun itu pasti pernah mengalami hari yang sulit. Barangkali penampakan di luar masih terlihat tangguh, bisa jadi di kedalaman hati ada sisi kerapuhan. Dan kita harus akui dan menerima itu. Belajar jujur dengan diri sendiri, bahwa ada keinginan untuk dicintai dan mencintai. Di dalam diri kita itu tersusun atas kewelasasihan dan kerapuhannya. Ada sisi cinta, ada sisi sakit/patah hati. 
Di hidup ini, adakah yang tidak berubah? Semua berubah. Seperti arus sungai, ia akan terus mengalir. Kita tidak bisa menyentuh arusnya untuk kedua kalinya. Kita tidak bisa sama persis untuk kedua kalinya.
Maka sejatinya keakuan diri kita sebenarnya tidak ada. Dengan memahami keakuan yang tidak kekal, maka sebenarnya pun kita tidak bisa memiliki. Rasa memiliki adalah ilusi. Maka kehilangan itu juga semu.
Pada akhirnya kita juga akan terlepas dari diri kita, bukan?
Titik nol.

Minggu, 25 Oktober 2020

Trauma

 "Kita tidak bisa mengatur arah angin, tapi kita bisa mengatur layar kapal." -Kale (NKCTHI)

Seseorang pernah berkata pada saya, "Kalau motor sudah pernah jatuh parah sampai stangnya bengkok, akan sulit untuk diperbaiki lurus sempurna meski masih bisa berjalan normal." Intinya, kalau motor tidak bisa lagi kembali ke sedia kala seperti baru dipakai pertama kali. Biasanya kan kalau motor yang normal dalam kondisi berjalan stang motor akan cenderung dalam posisi yang lurus ke depan kecuali kalau diputar arah oleh pengemudi. Beda kalau motor yang habis kecelakaan stirnya cenderung kebanting ke kanan atau ke kiri meski kita tidak mengendalikannya. Ini berarti bahwa si pengemudi harus senantiasa memegangi stirnya agar tetap lurus. Tentu sangat lebig melelahkan bagi pengemudi. Dan inilah yang menyebabkan lebih besarnya risiko kecelakaan selanjutnya ketika pengemudi dalam kondisi yang lelah. Menurut yang beliau ceritakan kepada saya, sampai saat ini belum ada satu bengkel pun yang bisa mengembalikan kondisi itu seperti semula.

Saya tidak begitu paham sih urusan otomotif, tapi insight yang saya dapatkan dari beliau ini banyaaak banget. Thanks to him for so many life learning. I do love him. *tisu mana tisu 😅

Oke. Bukan masalah otomotif yang ingin saya tuliskan di sini. Tapi saya sedang ingin berefleksi sih apakah kondisi seseorang yang mengalami trauma itu seperti itu? Di luar sana ada orang-orang yang harus minum obat sepanjang hidupnya agar mereka bisa beraktifitas dengan "normal". Ada yang struggle dengan peristiwa-peristiwa traumatis dalam hidup mereka dan berjuang untuk menyembuhkan luka batin mereka. Ada yang tetap bisa memakai sepeda motor dengan selalu waspada memegang kendali stir agar tidak mudah berbelok karena kelelahan menahan stir yang sudah bengkok.

Mungkin amannya kita akan berpikir untuk menjual saja motor itu dan membeli yang baru. Tapi ada beberapa orang yang pilihan itu tidak mudah dilakukan. 

Kita tidak bisa memprediksi kejadian-kejadian luar biasa dalam hidup yang berimbas pada stir yang bengkok. Motor dengan stir normal saja masih bisa jatuh jika pengemudinya lalai, atau bahkan sudah mengemudi berhati-hati tapi ada saja yang tidak sengaja menabrak. Inilah mengapa dalam society ada rule of the game. Dibuatlah rambu-rambu lalu lintas, dibuatlah aturan tes untuk mendapatkan ijin mengemudi, dan prosedur-prosedur keselamatan lain. Itu semua untuk meminimalisir risiko. 

Lalu jika risiko sudah berwujud nyata menjadi bencana? Ya mau gimana lagi. Terima aja. Pergi ke bengkel mana tahu bisa diperbaiki sedikit biar stir tidak bengkok-bengkok banget. Atau kalau cuma lecet-lecet biasa kan tidak masalah. Atau misal harus ganti onderdil. Dan bengkel yang direkomendasikan adalah di dealer-dealer resmi dengan suku cadang aslinya. Kalau kita nih manusia sudah pernah jatuh dalam kejadian traumatis, kembalinya ke mana? Siapa yang menciptakan kita?

Nah, ini bukan tentang NIHILISM. Tapi bagaimana menjadi optimistic nihilism. Wadidaw kenapa jadi berbelok ke filsafat? Ada hubungannya tapi kepanjangan kalau dibahas bareng di sini. 

"Sabar, satu per satu." Kale - NKCTHI

Untuk yang belum nonton atau baca bukunya, NKCTHI (Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini). 9/10 sih dari sisi pesan moralnya. Nangis bombay di sepanjang film. 😅
.
.
@30haribercerita

"Copy-Writing" Doa dan Jurnal Mimpi

Bertemu dengan orang-orang yang berbeda dan "having deep conversations" dengan mereka adalah hal yang saya sukai saat ini. Seperti Dian Sastrowardoyo yang selalu menawarkan kesempatan untuk ngopi bersama dengan teman barunya dan mengajaknya ngobrol untuk mengetahui adakah kecocokan di antara mereka. Cocok di sini bukan berarti urusan romantis, tetapi lebih kepada kecocokan frekuensi untuk menjalin pertemanan yang saling bersimbiosis mutualisme dan positif. Dalam hal apapun. Entah itu karir, ide-ide, dan yang lainnya. Sedikit menyesal kenapa sih tidak dari dulu saja saya begini. Kenapa baru sekarang.

Masih ingat dengan perbincangan dengan seorang teman beberapa waktu lalu yang saat ini dia sudah berada di fase "I've done with that stage, Wulan". Fase kami berbeda. Mengiyakan setiap ajakan bertemu dan mengobrol sudah tidak lagi di lakukan karena sudah ingin lebih mempersempit circle pertemanan dan membuat waktu untuk diri sendiri dan orang-orang terdekat. Yap, barangkali teman saya ini sudah menemukan apa yang dia cari dari pertemanan. Dalam fase saya saat ini barangkali apa yang saya cari tentu saja berbeda dengan apa yang dia cari dulu. Yes, I'm looking for ideas, insights, meaning. Kalau bisa dibuat jurnal mungkin judulnya begini: "In Search of Meaning: ....." Dan saya yakin bahwa setiap orang yang dihadirkan memiliki pesan yang hendak disampaikan Allah kepada kita melalui mereka. 

Maka dari itu saya mulai merasa perlu untuk mencatat apa saja yang saya dapatkan dari satu pertemuan ke pertemuan yang lainnya. Seperti membuat jurnal begitulah. 

Beberapa waktu yang lalu saya bertemu dengan dua orang yang berbeda dalam waktu berdekatan yang masing-masing membawa cerita mereka yang menurut saya saling berkaitan. Yaitu tentang "journaling". Yang satu adalah membuat catatan khusus mengenai doa-doa dan harapan yang secara spesifik dia buat dan rapalkan sehari-hari. Yang satu, membuat jurnal mengenai mimpi-mimpi (bunga tidur) yang ia alami sehari-hari. Untuk jurnal mimpi ini, memang beliau memiliki intuisi yang tajam dan sering mengimpikan orang-orang di sekitarnya mengenai sesuatu yang kadang berkaitan dengan kejadian nyata. Ini bukan tentang indigo. Tapi saya memang pernah diberitahu guru saya bahwa orang yang sudah lama berlatih yoga biasanya memiliki kecenderungan intuisi yang tajam sehingga mereka harus berhati-hati dengan apa yang mereka ucapkan bahkan yang dipendam dalam hati sekalipun. Mengenai jurnal mimpi ini sumber inspirasinya dari IG Stories Andien. Bahwa kadang mimpi itu bukan sekedar bunga tidur, tetapi salah satu bahasa dari alam bawah sadar (unconscious/soul) kita yang diterjemahkan dalam mimpi kepada conscious mind. Nah, di sini seringnya conscous mind kita yang memberi limitasi pemahaman terhadap unconscious mind. Oleh karena itu peran membuat jurnal mimpi adalah untuk membantu kita memahami pesan yang hendak disampaikan dari unconsious mind melalui mimpi kita. Mimpi itu dipenuhi simbol yang sifatnya sangat personal. Nah, jika seringkali dikaitkan dengan tafsir mimpi, dll, saya rasa itu adalah hal yang berbeda jadi kembali ke personal masing-masing. Lebih lanjut sih, coba cek di highlight stories-nya Andien ya...

Kaitannya dengan copy-writing doa apa? Ya beda sih, tapi intinya adalah menuliskan. Sama-sama menuliskan. Yang satu adalah menuliskan bahasa dari unconscious mind, yang satu adalah menuliskan apa-apa yang ada di conscious mind kita. Doa dan harapan itu dari pikiran sadar kita kan. 

Bagi orang yang sedang menjalani proses healing seperti saya, barangkali ini adalah hal yang akan sangat membantu. Berbagai tools sudah ada. Banyak praktisi yang membagikan pengetahuannya secara cuma-cuma. Tapi sebelum kita memilih tools yang cocok, PR untuk masing-masing adalah mengupas satu per satu masalah inti dari luka batin yang dialami. Dan proses untuk menuju ke inti itu tentu tidak mudah. Challenging juga. Kadang semesta dengan berbagai peristiwa dan manusia yang dihadirkan dalam hidup kita juga berperan penting dalam proses menuju ke inti itu. Embrace them. 

Sampai di sini saya kehilangan kata-kata sebenarnya untuk membahasnya lebih lanjut. Tapi semoga sudah cukup menangkap dua hal itu lah ya. Pembahasan yang menggantung. Hahahah. Maap. 

Adakah yang sudah melakukan salah satu atau keduanya? Atau adakah yang berniat untuk mulai membuat copy-writing doa dan jurnal mimpi? Yuk, sama-sama belajar.