Sabtu, 14 Agustus 2021

Kebun Batin

 Akhir pekan ini saya ingin baca yang ringan-ringan. Saat iseng lihat astrological chart kemarin katanya ini adalah waktu yang tepat buat saya menyelami diri sendiri. Perlu dicatat, saya bukan orang yang percaya astrologi ya...karena memang harus sangat berhati-hati untuk urusan akidah. Begituh yang saya pelajari. Tapi somehow menarik juga untuk sekali waktu dibahas bagaimana perhitungan peredaran planet-planet, waktu, angka-angka berkaitan dengan kejadian-kejadian riil di bumi. Sebenarnya bisa diteliti secara ilmiah jika mau. Ada juga yang meneliti tentang neptu primbon secara matematika. Barangkali jika bisa mengolah data Susenas atau IFLS, kita hitung primbon berdasarkan hari kelahirannya, pasangannya, lalu dilihat sebaran kasus perceraian, atau kesejahteraan rumah tangga, bahkan persepsi kebahagiaan. Kalau diseriusin bisa sih.

Tapi bukan itu yang ingin saya bahas sekarang. Lagi-lagi ketika saya ingin menulis tentang sesuatu prolog membuat saya berbelok ke yang lain dulu.

Malam ini saya sedang membaca buku ringan tulisan Mbak Sarah Diorita. Kamus Rasa Sarah Diorita. Sampai pada bab bahasan tentang Kebun Batin, saya tersentuh di sini. Berasa relate banget. Saya selama ini bertanya-tanya bagaimana pasangan-pasangan itu terlihat tenang satu sama lain. Mereka terlihat sangat genuine bisa menerima kekonyolan pasangannya bahkan menertawainya dengan lucu (in positive way). Apakah mereka tidak pernah merasakan konflik batin atau semacam hal negatif yang tidak terungkapkan atau bagaimana? Mereka sebenarnya bahagia secara tulus tidak ya dengan pasangannya? Selama ini saya terus mengamati dan mengobservasi di lingkungan sekitar saya. How couples handle their relationship in a good way.

Saya sampai bertanya-tanya, kualitas apa sih yang perlu dimiliki oleh seseorang untuk bisa menjalani kehidupan relasi yang positif? 

Saya sudah banyak mengikuti sesi self-healing, membaca quotes untuk mencintai diri sendiri sebelum mencintai orang lain, dll. Tapi masih saja saya sering lupa. Dan ini seperti diingatkan kembali. Bahwa tiap kita memiliki kebun batin. Kebun yang unik yang kita sendirilah yang bertanggung jawab merawat kebun itu. Kita sendiri yang menamam benih-benihnya, menyiram, memberi pupuk, merawatnya setiap saat. 

Begitu juga dengan orang lain. Mereka memiliki kebun batin yang khas. Yang tidak selalu kita paham tanaman apa saja yang ada di dalamnya. Begitu juga dengan kebun kita, tidak selalu kita bisa mengajak orang lain untuk masuk dan mempelajari semua tanaman yang ada di kebun kita. Memberi mereka ujian agar lulus sebagai cadangan perawat kebun kita jika suatu saat diri kita sedang tidak bisa merawatnya.

Ternyata bukan begitu. Tidak semua orang tertarik pada apa yang ada di kebun kita. Mereka juga memiliki kebun sendiri yang harus mereka rawat dan jaga. Bukan orang lain yang harus ikut bertanggung jawab atas kebahagiaan kita, tapi diri kita sendiri. Ini mudah diucapkan tapi jika tidak dilatih, sering lupanya. 

Kita tidak bisa memaksakan cara kita menjalani hidup kepada orang lain agar sama dengan kita. Fokus merawat kebun kita masing-masing sehingga kita bisa menikmatinya dan barangkalil orang lain juga bisa turut menikmatinya. Silakan. 

Menciptakan eksternalitas positif. Itu saja sebenarnya.

Rabu, 11 Agustus 2021

Mengheningkan

 Ini adalah catatan refleksi saya yang sudah lama tidak muncul di blog ini. Halo, apa kabar?

Bagi saya menulis reflektif seperti ini bisa jadi salah satu sarana menemukan diri kembali, untuk hening sejenak, atau sekedar mengurai benang kusut yang ada di kepala.

Saya hanya ingin melihat perjalanan saya ke belakang, karena sepertinya sudah mulai bingung arah. hehe

Ternyata belajar mencintai diri sendiri itu butuh proses yang tidak singkat, sehingga self-love yang selama ini kita gemakan untuk diri sendiri menjadi hilang arah. Kita merasa sudah mencintai diri sendiri, tetapi masih melakukan hal merugikan diri sendiri, masih overthinking, masih memikirkan validasi dari orang lain, dll.

Rasanya kegagalan di masa lalu sangat membuat saya menjadi keras untuk membuat standard agar jangan terulang kembali. Batu bata standard yang berasal dari ketakutan itu tanpa sadar sudah lumayan tinggi. Kemudian saya hilang arah, batu bata ini sebenarnya mau dibikin apa? Rumah yang seperti apa?

Saya ingin setelah ini semua berjalan dengan sempurna sesuai dengan apa yang saya rencanakan. Begitu keras saya mempersiapkan itu untuk menghindari gagal yang sama. Energi saya lebih banyak tercurah pada menghindari. 

Untuk sampai ke tujuan dengan selamat dan sustain, bensin kita menuju ke sana terbuat dari apa?

Mari kita kembali menyelami dan menyadari diri sendiri dulu. Hening. Penuhi gelas cinta kita. Mari menabung cinta, untuk bisa memberi lebih banyak cinta kepada orang di sekitar kita.

Self-compassion.