Kamis, 31 Mei 2012

Karut Marut Pertambangan Indonesia


Saya tergerak untuk menulis ini karena teringat dengan sebuah pulau kecil yang beberapa bulan lalu memberikan pengalaman berharga bagi kehidupan saya hingga saat ini. Pulau kecil yang dulu dikenal sebagai Bumi Timah Kaulan itu, kini dikenal dengan pulau kecil yang memiliki sejuta pesona pantai pasir putih dan batu granitnya. Pulau Belitong. Sejak mendengar berita beberapa waktu terakhir ini, saya cemas pada nasib orang-orang yang pernah menjadi sahabatku di sana. Mereka yang setiap pulang sekolah menambang ke kulong. Mereka yang ketika laut tidak memungkinkan bagi mereka untuk mencari ikan, mereka akan pergi ke kulong atau berkebun karet dan sawit. Hampir semua kulong (tempat penambangan timah) di desa yang saya singgahi itu adalah illegal. Itu adalah pertambangan rakyat tanpa izin. Setiap ada polisi yang datang harus mereka sogok agar mereka bisa tetap aman meneruskan usaha tambang mereka, yang sebenarnya itu adalah tambang sisa! Mereka hanya mengais sisa dari penambang-penambang besar yang dulu pernah mengeruk habis cadangan timah di bumi timah itu! Ya, mereka itu hanya mengais!
Kemudian sejak aturan kementerian ESDM keluar dengan UU no. 4 tahun 2009 nya itu, para penambang mineral, yang salah satunya adalah timah dan nikel (yang banyak terdapat di pulau itu), berusaha memacu sebesar-besarnya ekspor mereka sebelum tahun 2014 nanti ketika ekspor barang tambang mineral dalam bentuk mentah itu tidak diperbolehkan lagi. Akibatnya harga barang tambang mineral mentah beberapa waktu terakhir turun drastis dari sebelumnya. Para penambang kulong itu, yang tadinya sehari bisa mendapatkan keuntungan hingga 300an ribu rupiah per kilogram yang mereka dapatkan, mereka kini hanya bisa mendapatkan kisaran seratus ribuan saja dari jumlah yang sama, bahkan terkadang kurang dari itu. Itu untuk mereka yang menambang secara illegal. Mereka yang menambang dengan bekerja di perusahaan pertambangan besar (yang kebanyakan mendapatkan predikat HITAM untuk penilaian program PROPER dari KemenLH), yang dikhawatirkan dari mereka adalah ketika jatah beras bulanan yang selama ini mereka peroleh dari perusahaan tambang akan dihentikan karena kemudian banyak perusahaan tambang yang gulung tikar. Mengapa harus rakyat kecil lagi yang harus jadi mainan?
Untuk saat ini saya bisa menerima alasan mengapa pemerintah mengeluarkan UU No. 4 tahun 2009 bahwa tahun 2014 nanti, para penambang Indonesia tidak bisa lagi mengekspor bahan tambang mentah mereka langsung ke luar negeri. Bahwa lonjakan ekspor dengan adanya UU yang dikeluarkan tahun 2009 lalu itu menjadi sangat tinggi, ini dikhawatirkan Indonesia akan segera kehabisan bahan tambangnya yang hanya digunakan untuk negara lain sementara kita sendiri mengimpor barang jadi atau setengah jadi dari mereka dengan harga yang jauh lebih tinggi. Kita itu bodoh atau apa ya? China pun sudah melakukannya dari dulu. Mengapa mereka mengimpor terus dari Indonesia sementara mereka sendiri punya persediaan tambang yang besar? China tinggal terima mentahnya terus diolah deh itu bahan dijual lagi ke kita. Sementara nanti kalau Indonesia habis persediaannya, Cina bisa gali sendiri milik mereka dan olah sendiri, kemudian dijual ke kita dengan harga tinggi karena mungkin saat itu barang-barang itu sudah langka di dunia ini. Nggak hanya Cina sih, beberapa negara lain juga melakukan hal serupa. Cina sudah diwanti-wanti USA untuk menjaga lingkungannya sehingga mereka harus segera meninggalkan dirty industry.
Yang menjadi sorotan di sini adalah, apakah pemerintah waktu mengeluarkan UU tahun 2009 lalu itu tidak melalui kajian mendalam mengenai unintended effect-nya? Bahwa bisa jadi penyelundupan akan semakin marak. Kesalahannya adalah bahwa pemerintah waktu mengeluarkan UU itu tidak langsung disertai dengan aturan teknisnya. Sehingga yang ada di pikiran pengusaha tambang adalah ekspor habis-habisan sebelum thaun 2014 itu. Ini permasalahan produksi man, maka harus diselesaikan dengan produksi, bukan dengan trade. Jika permasalahannya adalah bahwa masih minimnya pengolahan pemurnian hasil tambang mineral di Indonesia, itu kenapa? Ya, mungkin insentif dari produsen tambang untuk ekspor lebih tinggi daripada kalau dijual ke Indonesia. Kenapa lagi? Karena kapasitas pengolahan Indonesia belum memadai. Ini masalah produksi, lagi-lagi.
Saya nggak mikirin tuh pengusaha tambang besar deh, serugi-ruginya mereka pun masih bisa makan. Tapi cukong-cukong yang ada di sekitar mereka yang mengais rezeki dari mereka, yang nggak berdaya itu yang perlu dipikirkan juga.
Plis, paling tidak ada upaya dari pemerintah deh buat mengantisipasi kerugian yang dialami oleh masyarakat kecil yang terlibat secara langsung maupun tidak secara langsung dengan area pertambangan mineral itu. Saya kemudian akan teringat Pak Tatin dan kelompok budidaya rumput lautnya di Belitong sana. Apakah mereka saat ini lebih mengandalkan laut dan kebun untuk mencukupi hidup mereka? Kemudian apakah permasalahan yang ada di kelautan Indonesia tidak mengganggu mereka? Dan apakah kebun-kebun sawit yang menjadi andalan Indonesia itu, ternyata sebagian besar dimiliki oleh pengusaha sawit Malaysia yang semena-mena membuka lahan tanpa memperhatikan lingkungan negara tetangganya, dan ketika asap sampai ke negara mereka, mereka akan menyalahkan Indonesia. What the Indonesia!
Akhir kata, semoga rekan-rekan tim pertambangan riset LOI bisa menemukan sesuatu yang berarti untuk negeri ini! Kami, tim pangan juga akan bekerja keras, kawan! Semangaaat!

Rabu, 30 Mei 2012

He is George Hogg


And life is colour and warmth and light;
And a striving evermore for these;
And he is dead who will not fight;
And who dies fighting has increase.

—Julian Grenfell