Kamis, 03 November 2022

Migrasi 30HBC 2021



Untuk mengawali hari 1, saya coba tuliskan rencana tema yang ingin ditulis dulu ya. Akhir-akhir ini saya tidak bisa fokus di depan laptop untuk membaca dan menulis karena terlalu banyak distraksi angka-angka dan peristiwa yang mengharuskan lebih banyak bekerja di luar ruangan dan berhubungan dengan banyak orang. Di kepala saya masih kosong konsep.Sebenarnya ingin lebih banyak bicara pada isu-isu gender. Saya mengakui sebuah pernyataan bahwa semakin banyak bicara mengenai kesetaraan gender, semakin jauh justru kita berada pada konsep kesetaraan yang sebenarnya. Tapi ternyata agenda belum selesai. Kenapanya nanti kita bahas di sesi-sesi selanjutnya lah ya.
Tahun 2020 kemarin bacaan saya memang lebih banyak tentang itu. Dan agaknya saya perlu membuat tulisan-tulisan mengenai konsep kesetaraan yang saya pahami untuk barangkali bisa sedikit membantu meluruskan pandangan dengan kernyitan dahi orang-orang pada umumnya.
Saya sedang merampungkan proyek besar juga mengenai isu ini. Jadi ya mau nggak mau isi otak saya adalah itu meski sebenarnya masih banyak yang perlu digali lebih dalam lagi.
Ini tentang pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul di kepala. Mengapa sih di jaman modern ini masih membutuhkan bahasan yang terdengar sudah basi ini? Bukankah tingkat pendidikan perempuan sudah jauh lebih tinggi? Agenda apa sih yang belum selesai? Kesetaraan macam apa lagi yang mau dicapai?
Semoga besok tulisan itu sudah mengalir kembali.
Selamat menyambut tahun baru. Semoga lebih baik.

Note:
Saya berusaha sekali untuk tidak menulis hal-hal sentimentil dulu di sini. Kecuali kalau sudah mentok. Hahaha 😂


#30haribercerita


Sebenarnya bingung bahasannya mau mulai dari mana. Kenapa sih isu equality masih masuk dalam agenda pembangunan dunia? Mengapa masih saja pengarusutamaan perempuan, padahal setara kan harusnya tidak hanya perempuan kan?

Kita kembali lagi ke tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan level dan kualitas hidup masyarakat. Wellbeing.

Adapun standar wellbeing itu juga sampai sekarang masih dikaji. Dari pengukuran kuantitatif ekonomi negara dengan GDP, hingga ukuran-ukuran lain seperti kemiskinan, ketimpangan, indeks pembangunan manusia, juga indeks kesetaraan gender. 

Lagi-lagi kenapa sih kesetaraan gender? Meskipun secara kuantitas populasi dunia laki-laki dan perempuan itu hampir sama (separo separo lah, mendekati), tapi UN sendiri masih mencatat adanya deprivasi akses pemenuhan kebutuhan dasar dari perempuan dibandingkan laki-laki di beberapa negara, khususnya di bidang kesehatan dan pendidikan.

Memang paling enak jika kita bicara langsung contoh konkretnya ya. Dan ini adalah contoh kasus, jadi bukan generalisasi.

Misal dalam suatu rumah tangga, ada yang cenderung lebih anak laki-laki daripada perempuan dalam hal akses pendidikan ketika budget mereka untuk pendidikan anak terbatas. Jadi, prioritasnya di sini bukan berdasarkan kemauan dan kemampuan yang bersangkutan tapi berdasarkan gender. Karena anak laki-laki dianggap lebih berperan dalam pencari nafkah di kemudian hari saat mereka beranjak dewasa. Anak perempuan dianggap akan menjadi tanggung jawab bagi laki-laki, sehingga tidak apa-apa untuk tidak bersekolah tinggi.

Pada kenyataannya, perekonomian dunia berkembang. Membatasi peran berdasarkan gender tidak selalu hal yang bijak untuk dilakukan. Bagaimana jika dalam satu rumah tangga tersebut tidak asa laki-laki yang bisa menafkahi mereka? Misal kepala rumah tangga adalah perempuan. Pencari nafkah utama adalah perempuan. Dan karena akses pendidikan mereka dibatasi, rata-rata pendapatan mereka lebih rendah dari pada rata-rata pendapatan laki-laki. Data juga berbicara demikian. Masih ada gap pendapatan antara laki-laki dan perempuan.

Contoh lainnya, ketika perempuan bekerja kemudian memutuskan untuk berhenti bekerja karena pernikahan. Entah itu mengikuti suami ke tempat bekerja suami, sehingga tidak bisa melanjutkan pekerjaan di tempat sebelumnya atau karena ingin fokus mengurus rumah tangga dan anak-anak. Pendapataan mereka akan menjadi nol dan sepenuhnya bergantung pada pendapatan suami.
Beruntung jika mendapatkan pernikahan yang bahagia sakinah mawaddah warahmah. Bagaimana jika tidak? Berapa banyak yang kemudian menjadi janda karena bercerai atau suami meninggal dengan mereka tidak memiliki mata pencaharian sendiri? Mereka akan menjadi kelompok yang paling rentan ketika terjadi guncangan. Guncangan pada istri yang tidak bekerja akan cenderung lebih besar daripada guncangan pada suami sebagai pencari nafkah ketika terjadi perpisahan.

Beberapa studi juga menunjukkan (bukan tulisan ilmiah jadi nggak pakai sitasi gk papa ya 😅), bargaining power perempuan dalam rumah tangga cenderung lebih tinggi ketika perempuan itu berpenghasilan. Ini bisa jadi menunjukkan kita pd hipotesis bahwa perempuan yang tidak bekerja tentu tingkat ketergantungannya lebih tinggi kan, sehingga bargaining power mereka lebih rendah dalam pengambilan keputusan.

Bargaining power yang rendah itu menunjukkan apa? Less representation. Adanya deprivasi kesempatan mereka utk berperan. Kesempatan untuk hidup lebih berdaya. Kalau istilahnya Amartya Sen, "to function in society".

Bahwa hak setiap individu untuk hidup secara bermartabat itu perlu dipastikan tetap ada untuk siapapun, apapun gender dan kebutuhan khusus mereka.Dari contoh kasus di sesi-sesi sebelumnya paling tidak bisa kita lihat adanya deprivasi kesempatan seseorang untuk mencurahkan potensi penuh mereka. Menjadi versi terbaik dari diri mereka. Beda kan mereka yang mendapat kesempatan bersekolah lebih tinggi, kesempatan untuk memaksimalkan potensi mereka lebih beragam daripada yang tidak. Berapa banyak yang karena kesempatan itu tidak ada, harus menjalani satu pilihan hidup untuk bertahan hidup dengan pendapatan yang lebih rendah.

Intinya adalah menggandakan pilihan dengan memberikan kesempatan.

Dari contoh kasus perempuan menikah yang kemudian menjadi kepala rumah tangga, kita bisa melihat sulitnya mereka untuk kembali ke pasar tenaga kerja dan bersaing kembali untuk mendapatkan penghidupan yang layak. 

Belum lagi stigma yang harus mereka hadapi. Laki-laki bercerai atau istrinya meninggal, cenderung memiliki kesempatan menikah lagi yang lebih tinggi daripada his counterparts. Apalagi jika dipandang lebih mapan, status duda bukan lagi menjadi persoalan. Bagaimana dengan status janda? Wow, barriernya lebih berlapis. Oh berarti sudah bukan perawan ya. Oh pernah gagal ya. Oh kalau menikah lagi tidak setia dong dg almarhum suami. Dll dst

Bisa lihat perbedaannya?

Meskipun kita bisa mengklaim bahwa perempuan sekarang sudah jauh lebih berdaya dari sebelumnya. Tapi masih banyak pekerjaan rumah.

Oke, kita lanjut lagi. Ketrigger sm obrolan perkoncoan duniawi @romihartarto dan @kanetasya di twitter. Nanggepin twit mbak-mbak ituh ttg women empowerment. Sbenernya mau bahas ini agak akhir2, tp gk papa disinggung sdikit di awal. Nanti pengin sedikit bahas juga ttg empowerment index dan poverty line. Ini bisa jadi bahan penelitian baru kalau mau.Agak rempong jg ya trnyata bikin kerangka berpikir ttg isu2 ini. Banyak banget soalnya topiknya.

Satu hal yang perlu kita garisbawahi di sini ya...

Spektrum dari pemikiran orang itu luas. Bukan berarti ketika seseorang setuju pada pendapat orang di poin tertentu, dia akan setuju pada pendapat orang tersebut di poin lainnya. Makanya ketika bicara isu gender lebih aman menurut saya sih bicara pada tataran kasus. Salah satunya konteks keterwakilan kuantitas perempuan di bidang tertentu. To some extent saya oke dengan ini, tapi ada satu sisi di mana kontribusi bermakna itu jauh lebih penting daripada sekedar jumlah daftar hadir.

Nah, bicara equality, tentu harus dari both side dong ya...nggak bisa sisi perempuan aja. Makanya bener, semakin bicara kuantitas proporsi by gender, semakin jauh sebenarnya dari equality itu. Atau kita memang baru di level awal dari pencapaian equality itu sendiri.

Nah, jan jane sejauh mana sih kita memaknai equality itu?

Ini sebenarnya pengin saya bahas tersendiri. Dari pembahasan standar ganda, invisible labor yg dibahas Gemma Hartley dalam bukunya, patriarki, gender based violence, toxic masculinity dll...

Tapi kembali dulu ke bahasan makna yang ingin dicapai dari gender equality. Seringkali kita membuat batasan diri bahwa sebagai perempuan, harusnya tuh lemat lembut, dll. Begitu juga dg laki-laki, harusnya tuh sangar 🤣, gk boleh nangis, dll. Punya pengalaman juga nih dulu ketika diminta utk memimpin suatu organisasi, seringnya nolak dg alasan kalau bisa yang cowok dulu aja. Berpikiran bahwa saya sebagai perempuan masih butuh dibimbing. Padahal barangkali di antara yang lain kita dianggap lebih capable untuk memimpin saat itu. Hal ini yang secara unconcious terbentuk dalam diri kita karena pengaruh juga dari society. Begitu juga dengan pelabelan jenis pekerjaan tertentu dengan gender tertentu. Kenapa ya fakultas psikologi kebanyakan mahasiswanya cewek. Kenapa ya anak teknik kebanyakan cowok. Ada nggak sih yang dari awal memilih jurusan sudah memikirkan oh ini jurusan cowok, ini jurusan cewek. Kemudian pelabelan itu berlanjut ke ranah profesi. Sehingga minoritas gender yang berada di profesi tersebut dianggap sebagai outlier.

Jadi, masih perlu nggak sih menuntut jumlah proporsi tertentu untuk keterlibatan perempuan di suatu bidang? Well, nggak sepenuhnya jelek juga sih. Tapi jauh sebelum menuntut proporsi kuantitas itu, gimana caranya pelabelan itu diminimalisir dulu deh kalau belum bisa ditiadakan.

Sebenarnya analoginya sama dengan pelabelan disabilitas dan non-disabilitas. Oh mereka yang disabilitas dinilai tidak bisa melakukan pekerjaan tertentu dibandingkan yang non-disabilitas. Atau pengkotak-kotakan disabilitas berdasarkan hambatannya sehingga melabelkan suatu hambatan pada kecocokan pekerjaan tertentu.Padahal, kita tidak pernah bisa mengeneralisir kemampuan seseorang atas dasar disabilitas maupun non-disabilitas, laki-laki dan perempuan, dll. Setiap orang memiliki kapasitas dan keunikan yang berbeda-beda.

Kadangkala dan sering juga sih, pengkotak-kotakan label itu hanya membatasi ruang kita secara sadar maupun tidak sadar pada kesempatan untuk berkembang lebih.

Teman-teman penyandang disabilitas (tanpa memberikan mereka pelabelan), bisa lebih berkembang sesuai dengan kemampuan terbaiknya ketika memang diberikan fasilitas untuk meniadakan hambatan mereka. Begitu juga dengan gender apapun. Laki-laki tetap bisa berperan dalam mengorganisir warna dan busana anak, misalnya, yang seringkali dipandang sebagai pekerjaan perempuan. Atau mereka bisa memasak untuk istrinya juga. Begitu juga dengan perempuan, jika dia mampu memperbaiki kran rusak, tidak masalah juga jika dia melakukan pekerjaan itu.

Balik lagi ke bahasan peran antar gender dalam sebuah rumah tangga. Saya sendiri setuju pada pandangan bahwa selain hamil dan menyusui, segala pekerjaan rumah tangga bisa dilakukan oleh kedua belah pihak (laki-laki maupun perempuan). Bisa dengan pembagian sesuai kesepakatan, atau mekanisme lainnya yang sama-sama menyenangkan untuk kedua belah pihak. Jadi semangatnya bukan lagi dikotomi pemenuhan kewajiban, ini kewajibanku itu kewajibanmu, tetapi lebih ke semangat untuk saling melayani. Dan itu tentunya harus seimbang. Keduanya harus punya semangat yang sama. Bukan lagi karena itu kewajibanmu, maka di sini aku hanya membantu ya...Tetapi lebih pada karena ini tanggung jawab bersama, maka kita handel bersama. Aku bagus di bidang ini, kamu bagus di bidang itu, mari lakukan yang terbaik bersama.

Ya...barangkali ini terdengar terlalu klise atau gimana ya...hahaha. tapi beneran ada lhoo

Jadi gitu ya...
Terus kalau yang ingin dicapai endingnya nanti tidak perlu ada pelabelan, kenapa masih bahas gender equality? Masuk di SDGs nomor 3 lagi. Yang diklaim sebagai enabler dari pencapaian hasil-hasil pembangunan lainnya.
Kondisi saat ini, kita ternyata belum sampai ke sana. 

Pertanyaan selanjutnya, jika semua sudah mencapai kesetaraan, masih perlukan gerbong kereta khusus perempuan? Hmm menarik untuk didiskusikan lebih lanjut sih ini. 
:D

Sabtu, 14 Agustus 2021

Kebun Batin

 Akhir pekan ini saya ingin baca yang ringan-ringan. Saat iseng lihat astrological chart kemarin katanya ini adalah waktu yang tepat buat saya menyelami diri sendiri. Perlu dicatat, saya bukan orang yang percaya astrologi ya...karena memang harus sangat berhati-hati untuk urusan akidah. Begituh yang saya pelajari. Tapi somehow menarik juga untuk sekali waktu dibahas bagaimana perhitungan peredaran planet-planet, waktu, angka-angka berkaitan dengan kejadian-kejadian riil di bumi. Sebenarnya bisa diteliti secara ilmiah jika mau. Ada juga yang meneliti tentang neptu primbon secara matematika. Barangkali jika bisa mengolah data Susenas atau IFLS, kita hitung primbon berdasarkan hari kelahirannya, pasangannya, lalu dilihat sebaran kasus perceraian, atau kesejahteraan rumah tangga, bahkan persepsi kebahagiaan. Kalau diseriusin bisa sih.

Tapi bukan itu yang ingin saya bahas sekarang. Lagi-lagi ketika saya ingin menulis tentang sesuatu prolog membuat saya berbelok ke yang lain dulu.

Malam ini saya sedang membaca buku ringan tulisan Mbak Sarah Diorita. Kamus Rasa Sarah Diorita. Sampai pada bab bahasan tentang Kebun Batin, saya tersentuh di sini. Berasa relate banget. Saya selama ini bertanya-tanya bagaimana pasangan-pasangan itu terlihat tenang satu sama lain. Mereka terlihat sangat genuine bisa menerima kekonyolan pasangannya bahkan menertawainya dengan lucu (in positive way). Apakah mereka tidak pernah merasakan konflik batin atau semacam hal negatif yang tidak terungkapkan atau bagaimana? Mereka sebenarnya bahagia secara tulus tidak ya dengan pasangannya? Selama ini saya terus mengamati dan mengobservasi di lingkungan sekitar saya. How couples handle their relationship in a good way.

Saya sampai bertanya-tanya, kualitas apa sih yang perlu dimiliki oleh seseorang untuk bisa menjalani kehidupan relasi yang positif? 

Saya sudah banyak mengikuti sesi self-healing, membaca quotes untuk mencintai diri sendiri sebelum mencintai orang lain, dll. Tapi masih saja saya sering lupa. Dan ini seperti diingatkan kembali. Bahwa tiap kita memiliki kebun batin. Kebun yang unik yang kita sendirilah yang bertanggung jawab merawat kebun itu. Kita sendiri yang menamam benih-benihnya, menyiram, memberi pupuk, merawatnya setiap saat. 

Begitu juga dengan orang lain. Mereka memiliki kebun batin yang khas. Yang tidak selalu kita paham tanaman apa saja yang ada di dalamnya. Begitu juga dengan kebun kita, tidak selalu kita bisa mengajak orang lain untuk masuk dan mempelajari semua tanaman yang ada di kebun kita. Memberi mereka ujian agar lulus sebagai cadangan perawat kebun kita jika suatu saat diri kita sedang tidak bisa merawatnya.

Ternyata bukan begitu. Tidak semua orang tertarik pada apa yang ada di kebun kita. Mereka juga memiliki kebun sendiri yang harus mereka rawat dan jaga. Bukan orang lain yang harus ikut bertanggung jawab atas kebahagiaan kita, tapi diri kita sendiri. Ini mudah diucapkan tapi jika tidak dilatih, sering lupanya. 

Kita tidak bisa memaksakan cara kita menjalani hidup kepada orang lain agar sama dengan kita. Fokus merawat kebun kita masing-masing sehingga kita bisa menikmatinya dan barangkalil orang lain juga bisa turut menikmatinya. Silakan. 

Menciptakan eksternalitas positif. Itu saja sebenarnya.

Rabu, 11 Agustus 2021

Mengheningkan

 Ini adalah catatan refleksi saya yang sudah lama tidak muncul di blog ini. Halo, apa kabar?

Bagi saya menulis reflektif seperti ini bisa jadi salah satu sarana menemukan diri kembali, untuk hening sejenak, atau sekedar mengurai benang kusut yang ada di kepala.

Saya hanya ingin melihat perjalanan saya ke belakang, karena sepertinya sudah mulai bingung arah. hehe

Ternyata belajar mencintai diri sendiri itu butuh proses yang tidak singkat, sehingga self-love yang selama ini kita gemakan untuk diri sendiri menjadi hilang arah. Kita merasa sudah mencintai diri sendiri, tetapi masih melakukan hal merugikan diri sendiri, masih overthinking, masih memikirkan validasi dari orang lain, dll.

Rasanya kegagalan di masa lalu sangat membuat saya menjadi keras untuk membuat standard agar jangan terulang kembali. Batu bata standard yang berasal dari ketakutan itu tanpa sadar sudah lumayan tinggi. Kemudian saya hilang arah, batu bata ini sebenarnya mau dibikin apa? Rumah yang seperti apa?

Saya ingin setelah ini semua berjalan dengan sempurna sesuai dengan apa yang saya rencanakan. Begitu keras saya mempersiapkan itu untuk menghindari gagal yang sama. Energi saya lebih banyak tercurah pada menghindari. 

Untuk sampai ke tujuan dengan selamat dan sustain, bensin kita menuju ke sana terbuat dari apa?

Mari kita kembali menyelami dan menyadari diri sendiri dulu. Hening. Penuhi gelas cinta kita. Mari menabung cinta, untuk bisa memberi lebih banyak cinta kepada orang di sekitar kita.

Self-compassion.

Selasa, 05 Januari 2021

Awal Baru

 Hanya ingin memberikan apresiasi untuk diri sendiri karena sudah bertahan sejauh ini dengan baik. Akhir tahun kemarin menjadi waktu yang cukup though bagi saya dengan berbagai persoalan yang beruntun seakan saya belum diijinkan untuk fokus satu saja pada tesis. Tapi pada akhirnya waktu-waktu yang sulit itu menjadikan saya bertumbuh. Saya dipaksa mengambil keputusan cepat dan dipaksa untuk menyadari tanggung jawab saya sebagai seorang leader. Memanajemen orang dengan berbagai karakternya itu tidak mudah. Tekanan dari satu sisi dan sisi lainnya sempat membuat saya stress. 

Yap, awal tahun ini menjadi awal yang baru bagi kami. Akhirnya saya memutuskan untuk berani mengambil langkah radikal yang sempat mendapat tentangan dari bapak. Ini sudah lama saya dambakan sebenarnya. Bagaimana menciptakan suasana kerja yang kondusif bagi karyawan dan juga saya. Sehingga pelanggan yang datang merasa bahagia juga. Alhamdulillah...meskipun belum bisa memberikan gaji yang dikatakan layak, tapi bersyukur bisa hire lebih banyak orang. Semoga saja bisa memberikan lebih banyak manfaat baik untuk mereka. Tujuannya agar lebih sedikit orang yang merasa tereksploitasi. Tapi mereka bekera dengan perasaan gembira karena mendapatkan pengalaman dan pembelajaran. To be more "human".

Karena yang dicari adalah keberkahannya kan...memang secara moneter, profit yang didapat belum seekspansif usaha kuliner yang seharusnya. Tetapi, coba kita mulai dari sini. 

Terima kasih, sudah berani mengambil langkah.

Terima kasih, tim baruku.

Senin, 28 Desember 2020

Ketiban Sampur

Ini adalah istilah Jawa yang menggambarkan orang yang terlanjur mendapat kalungan selendang dari sang penari mau tidak mau dia harus ikut menari. Yap, kurang akhir tahun kemarin diskusi tentang ini dengan seorang dosen dan beberapa kolega dalam lingkaran kami. Lagi-lagi tentang family business. Pernah saya tulis juga di blog beberapa waktu lalu. 

Menjadi keturunan dari orang orangtua yang memiliki bisnis biasanya dianggap sebagai sebuah good fortune karena memiliki privilege lebih dari yang lainnya ketika bisnis keluarganya berhasil. Sebagai anak dari pemilik bisnis, biasanya akan diwarisi untuk meneruskan bisnis tersebut apalagi jika sudah memiliki nama besar. Jangan salah juga, kontribusi bisnis keluarga dalam perekonomian ternyata cukup besar. Kita bisa lihat Astra, Gudang Garam, dll. Meskipun sudah melantai di bursa, kepemilikan saham terbesar tetap dipegang oleh keluarga besar. Tidak sedikit pula pemilik bisnis juga berlaku sebagai pemangku manajemen. Jika bicara pada tataran bisnis besar, tentu itu adalah good fortune, meskipun tidak dipungkiri juga usaha pribadi tetap berperan di sana.

Bagaimana dengan bisnis keluarga yang berada dalam ranah UMKM? 

Jika boleh berpendapat, tidak semua keturunan bisnis keluarga mendapatkan good fortune bagi dirinya. Bisnis keluarga bisa menjadi bisnis yang berkembang jika dikelola secara profesional. Mereka bisa melibatkan tenaga berkompeten untuk menjalankan bisnis mereka. Bisa pula mereka terjebak dalam lingkaran manajemen yang tidak profesional karena campur aduk kepentingan keluarga dan kepentingan bisnis secara profesional.

Studi Delloite Private menunjukkan hanya 13% dari total bisnis keluarga di Indonesia yang bisa bertahan hingga generasi ketiga. Biasanya generasi pertama yang membangun hingga berada di atas. Generasi kedua mengembangkan, dan generasi ketiga akan terjadi penurunan. Wow, this too scary. And there's no such thing as too big too fail. Let's see Nyonya Meneer.

Kembali ke fortune. Bagaimana jika orang yang terlanjur mendapat selendang penari itu sebenarnya tidak ingin ikut menari dan terpaksa menari?

Yes, sebagai orang yang "ketiban sampur" itu, barangkali saya merasa bersyukur di satu sisi karena usaha keluarga saya bisa menghidupi saya sejauh ini. Di lain sisi saya tidak ingin ikut menari tapi terpaksa menari. Ada beban tersendiri memang ketika kita ingin mengembangkan bisnis keluarga hingga bisa outopilot dan lebih profesional, tetapi terkendala pada sistem lama yang sulit dirubah. Curcol ini, kadang merindukan juga suasana keluarga yang tidak membahas bisnis dan pekerjaan. It feels like there is no home. Apalagi ketika tidak bisa dibedakan kapan berkumpul melepas penat bersama keluarga dan kapan berbincang tentang bisnis.

Seperti di film-film itu ya ternyata. Ah, kalau pernah nonton Crash Landing On You, teringat pada sosok Yoon Se Ri yang berasal dari keluarga pemilik bisnis. Konflik terjadi ketika ada kompetisi dari anak-anak pemilik bisnis tersebut. Kemudian salah satu akan memilih keluar dan membangun karirnya sendiri seperti Yoon Se Ri. Ahahaha. Kebanyakan drama. 

Sempat kepikiran sebenarnya untuk membuat komunitas untuk para successor bisnis keluarga. Barangkali suatu saat kita bisa saling bertukar pikiran dan berbagi keluh kesah antar successor yang harus membawa nama besar keluarga mereka sepanjang hidup mereka. Wondering aja sih how they deal with personal expectation dan tuntutan keluarga. 

It's not about how you get settled in your life. More than that, it's about how you create a good and greater impact. To have a meaningful life. To live meaningfully. 

For the sake of my lifetime goal: Ph.D. 

Selasa, 01 Desember 2020

Menjadi Awan

 Pernah nonton NKCTI kan ya...banyak banget yang relate tentang ini. Keren lah mas Angga Sasongko sang sutradara yang berhasil mengemas film dengan apik. Setiap kita mungkin akan relate dengan setiap tokohnya, entah itu dari sisi anak sulung, bungsu, tengah, ortu, ataupun...Kale. Hehehe.

Kali ini saya mengambil perspektif Awan, si bungsu. Ya karena saya relate-nya sama dia. Sama-sama bungsu. Saya ketrigger chat saya dengan kakak semalam dan obrolan saya dengan seorang teman yang seorang anak sulung ketika kami membahas film ini beberapa waktu lalu. Pertanyaan yang sering muncul adalah kenapa sih kakak adik sulit akrab? Beruntunglah mereka yang bisa akrab dan seperti sahabat sendiri antara kakak dan adik. Ini juga terjadi pada beberapa teman saya yang lain yang pernah bercerita pada saya. Dan percaya tidak percaya, mostly yang bercerita pada saya adalah seorang kakak. Aneh nggak sih ketika kita bisa lebih akrab dengan kakak dari orang lain dan bukan kakak sendiri? Atau sebaliknya. Hahaha

Gimana ya...hubungan ini tuh rumit memang. Kebanyakan anak sulung yang bercerita pada saya biasanya mereka mengeluhkan prioritas perhatian orangtua lebih banyak pada anak bungsu. Anak sulung sering merasa dinomorduakan. Atau orangtua lebih menurut pada anak bungsu daripada anak sulung. Sementara si bungsu seringkali terlihat tidak peduli dan egois. Dia hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa memikirkan orang lain. Saya sebagai anak bungsu tidak menafikan perasaan yang hadir dan terbentuk itu sejak kecil dari seorang anak sulung. Perasaan mereka valid. Mereka wajar merasa seperti itu. Tuntutan menjadi seorang kakak itu besar. Dari awal mereka dididik untuk melindungi adiknya. Dan ketika tuntutan itu semakin besar, mereka biasanya cenderung untuk menganggap adiknya sebagai beban karena harus bertanggungjawab. Sementara si bungsu? Dia tidak terbiasa diberi tanggung jawab sejak kecil. Paling mentok ya bertanggung jawab atas diri sendiri. Ya memang tidak semua sih...

Sebenarnya tidak perlu saling menyalahkan juga sih...ya sudah terjadi dan baru disadari telah terbentuk di kehidupan dewasa. 

Lalu bagaimana perspektif Awan, seorang bungsu? Tahukah kalian wahai para sulung...hehe. Sebenarnya kami tuh juga merasakan hal yang sama lho... Bedanya, kami merasa dari kecil dianggap tidak berdaya. Pernahkah kalian menolak kami untuk ikut main dengan kalian karena dianggap merepotkan? Ya memang kami tumbuh dengan rese dan merepotkan kalian. Hahaha

Nah, dari sini seorang bungsu sebenarnya secara naluri ingin melakukan pembuktian bahwa mereka bisa melakukan segala sesuatu sendiri dan mencari validasi akan kemampuan mereka di luar. Dan ketika mereka lebih bisa diterima dan diapresiasi di luar, makanya mereka lebih nyaman di luar. 

Jadi tuh mereka sebenarnya merasa tidak mampu memenuhi ekspektasi keluarga atas diri mereka. Makanya mereka mencari apa yang mereka bisa lakukan yang membuat mereka merasa berarti. Hidup bermakna itu ternyata kebutuhan juga. 

Tapi itu tadi...semua kembali ke personal masing-masing. Ada tipe yang memang sudah "mutung" dan akhirnya menjadi adik yang benar-benar egois karena sudah terbentuk di mindset mereka bahwa mereka tidak bisa dan tidak mau lagi berkontribusi ke keluarga seperti yang dibayangkan keluarga pada umumnya. Ada yang tipis-tipis menyadari dan berusaha.

Kami tuh ingin belajar bertanggung jawab atas diri sendiri karena selama ini merasa menjadi beban keluarga. Makanya kami egois tidak mau direpotkan juga karena tidak mau lagi merepotkan.

Setiap perspektif sulung dan bungsu tidak salah. Perasaan mereka valid. Hanya untuk memulai hal yang baru memang akan banyak kecanggungan untuk sesuatu yang sudah embodied, sudah membentuk kepribadian sejak kecil hingga dewasa. 

Kata Kale, "Sabar, satu per satu."

Pada akhirnya tempat pulang ya tetap keluarga kok. Bagaimanapun bentukan kepribadian setiap personal dari masing-masing anggota keluarga ya itulah mereka dengan segala dinamikanya. Menjadi orang yang menuntut atau dituntut sama-sama tidak mudah dan melelahkan. Dinikmati saja. Yang penting kita sama-sama saling menyadari bahwa setiap kita bertumbuh dengan pace masing-masing. Semua sedang berusaha menjadi lebih baik dari versinya. 

Untuk yang berjalan lambat, nggak papa, yang penting tetap berprogres. Mau itu orang lain noticed atau tidak. You still grow.

Untuk yang merasa lelah atas orang lain, nggap papa, merasa kesal itu wajar. Jangan lupa sayangi diri sendiri juga. 

Sebenarnya bahasa sayang itu sederhana, tapi seringkali kita tidak tahu bagaimana membahasakannya. 

Apapun bahasanya, perasaannya tetap sama. Sayang.



Kamis, 26 November 2020

Sense of Accomplishment

November. Saya tidak menyangka bulan ini menjadi bulan yang cukup tough bagi saya dan keluarga. Rasanya kejadian-kejadian sedih beruntun terjadi sejak akhir Oktober kemarin. Bergantian dan beruntun, silih berganti. Dari bapak jatuh, saudara yang meninggal, saudara yang sakit, ibu jatuh, kakek kritis hingga akhirnya berpulang tanggal 19 November kemarin. 

Bulan ini seperti hendak menggembleng saya. Puncaknya saat kakek berpulang kemarin saat saya tidak bisa sepenuhnya hadir membersamai beliau di detik-detik terakhirnya karena sedang bertugas untuk suatu kegiatan di Jogja. Sore setelah kakek dimakamkan, saya langsung kembali lagi ke hotel dengan load pekerjaan yang sebenarnya kalau kondisi normal bisa saya kerjakan tanpa stress, tapi karena kondisi yang capek dan stress, menjadi terasa sangat berat. Hari Jumat kemarin yang begitu kejar-kejaran antara urusan kuliah, pekerjaan, dan keluarga. Pernah kan mengalami stress tekanan sampai mual-mual? Rasanya badan tegang semua meskipun sudah berusaha untuk rileks. Sampai malam itu saya sambil menunggu abang gojek menangis sendirian di pinggir jalan Solo setelah kelelahan keliling Jogja mencari sesuatu yang akhirnya baru ketemu setelah pencarian ke-4. Literally nangis karena capek. 

Sampai akhirnya ternyata di hadiah tidak terduga hadir di Hari Minggu. Para partisipan dan master trainer memberikan apresiasinya. Itu rasanya mak-cless...benar-benar best moment of the year bagi saya. Pengalaman pertama men-deliver sesi dalam Bahasa Inggris di depan para GM dan profesional lainnya. Mungkin bagi banyak orang ini adalah hal yang biasa. Tapi bagi saya ini hal pertama dan cukup berarti bagi saya. Suatu hal yang dari dulu saya bayangkan sebagai "sense of accomplishment" ketika berhasil men-deliver sesuatu di depan publik. Saya memang tidak ahli dalam public speaking, tapi saya menikmati momen-momen saya menjadi center of attention dan saya menjadi fasilitator bagi orang lain untuk mendapatkan pengetahuan baru pada saat yang bersamaan, in a positive way. 

Rasanya berhari-hari ngubek-ubek ratusan materi toolboxes untuk dikemas dalam suatu training plan, training program, hingga session plans, terbayar sudah. I did it!

Saya masih membayangkan suatu saat bisa mendeliver hasil penelitian saya yang bisa berkontribusi cukup berarti bagi keilmuan di forum-forum internasional lainnya dengan baik. Hopefully, someday. 

Saya ingat beberapa waktu lalu saya sempat bertanya pada seorang kakak sekaligus "supervisor" bagi saya: "Kapan sih Mbak merasa sudah melakukan yang terbaik?" Karena selama ini saya seperti jarang sekali melakukan sesuatu hingga push to the limit dan hasilnya melebihi ekspektasi. Hanya di saat-saat tertentu saja. Dan itu sudah lamaa sekali saya tidak merasakannya. 

Kita tidak pernah mengetahui limit kita di mana sampai kita benar-benar menyentuhnya.

Allah, I want more. More "sense of accomplishment" moments.