Rabu, 20 Mei 2020

Why I concern about this

Ada banyak alasan untuk bicara tentang hal ini. Sepertinya saya mulai menemukan kepingan-kepingan puzzle dari perjalanan hidup sejauh ini. Dari saya pindah haluan ke studi ilmu ekonomi, kemudian tertarik pada isu-isu pengentasan kemiskinan hingga melihat sendiri proses di dapur kebijakan negara ini dan melihat sendiri kondisi di lapangan saat berkunjung ke slum-area di daerah Jakarta Utara. Mendengar langsung dari para aktivis yang memperjuangkan hak-hak para transgender di bilangan Jakarta. Pada titik ini Jakarta dalam episode yang singkat itu telah memberi saya banyaak sekali hal yang berharga. Hingga kemudian saya diajak langsung menjadi pengeras suara teman-teman disabilitas di beberapa daerah di Indonesia. Dari perangkat desa di Mentawai, seorang Tio di pelosok Ciamis, seorang korban gempa bumi Jogja di Bantul, hingga semangat bapak ibu ODP di Klaten. Satu hal yang saya pelajari dari proses itu adalah bahwa setiap manusia memiliki kemampuan untuk berkontribusi di society mereka secara meaningful. Terlepas apapun hambatan yang mereka miliki, adalah kewajiban semua pihak untuk menghilangkan hambatan-hambatan dari setiap individu untuk menjadi bermakna. Everyone counts. Bahwa setiap orang diperhitungkan pendapatnya. Setiap orang punya pandangan yang dan perasaan yang berbeda-beda yang tidak bisa diwakilkan oleh orang lain.
Kemudian saya berhenti selama tiga tahun. Tiga tahun yang bagi saya sangat reflektif. Saya belum melihat big picture dari itu semua saat itu. Kemudian saya dihadapkan pada kenyataan yang ada di society. Bagaimana menjadi bagian dari society. Meski berat, tapi saya sangat berterima kasih sudah diijinkan merasakan langsung pengalaman ini, meskipun jika boleh memilih tentu saya tidak ingin mengalami hal ini. Iya, saya berada di kondisi di mana saya tidak lagi menjadi sosok yang menjadi aktor dari pembangunan, tapi saya merasakan sendiri bagaimana ketika kita menyumbang satu hitungan statistik "masalah pembangunan". Dan itu bukan hanya satu, tapi dobel. Saya pernah berada di titik terendah itu. Penyumbang masalah pembangunan. 
Itu adalah titik balik saya untuk mengejar semua ketertinggalan selama tiga tahun itu. Saya ingin berlari lebih cepat lagi, dimulai tahun 2019 kemarin. Alhamdulillah, Allah memberi kesempatan saya bersekolah lagi, meski dengan buru-buru hingga belum bisa ke sekolah tinggi di tempat yang saya inginkan. Tapi sebagai ancang-ancang, ini sudah lebih dari cukup. Saya melihat teman-teman dalam circle saya sudah ada yang di sana, di sini, di situ, cukup membuat saya ciut dengan diri sendiri. Apakah saya masih pantas dan mampu?
Saya bertemu lagi dengan guru-guru saya. Mendalami lagi tentang apa yang saya lakukan selama ini dan yang belum saya lakukan. Satu hal yang saya garisbawahi lagi tentang apa yang saya pelajari di sini mengenai gagasan tentang pembangunan dari Amartya Sen:
"Development as expanding freedoms equally for all people"
Ketika ada kesempatan yang tidak setara atau ada faktor-faktor yang membuat orang tidak bisa melakukan pilihan-pilihan, iya, itu seperti pencerabutan kebebasan individu mengenai bagaimana dia berlaku secara berarti dalam kehidupannya di masyarakatnya. Bagaimana jika seseorang menjadi hidupnya karena keterpaksaan dan tidak ada pilihan lain selain dengan cara itu dia menjalani kehidupannya? Apakah dia bahagia?
Begitu juga kasus di saya, ketika saya sebenarnya bisa saja mengambil keputusan lain yang tidak membawa saya ke episode tiga tahun itu. Tapi, apakah setiap orang memiliki informasi yang cukup tentang keputusan-keputusan yang mereka ambil? 
Jadi intinya, saya tidak ingin apa yang terjadi pada diri saya di masa lalu terjadi juga di orang lain. Cukup Siti Nurbaya kan ya. Hehe.
People made bad decisions. And we always learn.

Sabtu, 09 Mei 2020

Patriarki

Oke, judulnya saja sudah propagandis gitu ya? Seakan posisi saya di blog ini lagi-lagi bicara masalah gender equality, patriarki, dan bahasan-bahasan yang terkait dengannya. Ya memang intention saya sedang membahas hal-hal ini mau bagaimana lagi. Belum tahu juga untuk beberapa bulan ke depan. Blog ini isinya gado-gado. Kadang ada sayur mayurnya kadang juga ada gorengannya. 

Mumpun mood menulis blog sedang menyala jadi ya langsung dituliskan saja. Ngobrol santai saja ya. Namanya juga bersolilokui. Ngomong sama diri sendiri. :D

Pernah nggak sih kamu sebagai cewek keluar untuk makan sendiri aja di warung makan tradisional begitu, lalu kamu sudah pesan menu duluan tapi yang dilayani duluan adalah rombongan atau ada bapak-bapak yang dilayani duluan karena penampilannya terlihat seperti orang penting.
Atau di meja sebelah kamu melihat ada keluarga yang sedang makan bersama, kemudian menu pesanan yang dihidangkan duluan adalah menu pesanan si bapak, instead of ibu atau anaknya.
Padahal nih ya kalau dalam protokol penyajian menu makanan dengan standar penyajian yang bersertifikasi, justru yang didahulukan untuk dilayani adalah perempuan. Cmiiw
Atau justru terjadi di keluarga kita sendiri? Hidangan yang paling bagus disisihkan untuk kaum laki-lakinya (biasanya si bapak), sementara anak-anak yang perempuan cenderung disisihkan sisanya bukan di meja makan tapi masih di panci untuk diambil sendiri.
Jika kaitannya sama semangat untuk menghargai sih barangkali oke oke saja lah ya.
Tapi bagaimana jika mindset itu menjadi pola pikir umumnya di masyarakat yang kemudian menerimanya sebagai norma keharusan?

Itu contoh kasus pertama.

Contoh kasus kedua, tadi saya lihat dari IG live mbak Popi Diharjo yang baru saya follow sejak mengikuti kasus sexual harassment di UII itu yang membahas mengenai janda. Apa yang terlintas di pikiran kita mendengar kata itu "janda"? Bagaimana dengan kata "duda"?
Sekarang cari di search engine di google kata "janda". Berapa banyak hal-hal yang menunjukkan penilaian negatif pada penyandang kata itu? Seakan mereka kelompok yang pantas mendapatkan perlakuan seksual yang bebas. Atau diasosiasikan sebagai perempuan nakal, dengan penampakan pakaian-pakaian terbuka.  Bagaimana dengan kata "duda"? This is what I see.

Jika menjadi janda adalah sebuah kehinaan, mengapa Allah menjadikan Khadijah sebagai istri Rasulullah dan menjadikannya wanita utama dan spesial? Mengapa Rasulullah kemudian juga menikahi janda-janda lain setelah kepergiannya selain Aisyah?
Apa yang beberapa kali saya temui adalah terkadang orang kemudian merasa berhak untuk memperlakukan kelompok ini sebagai orang yang tidak punya dignity. Pantas dilecehkan secara seksual oleh kelompok yang merasa lebih berkuasa.
Lalu, apa yang terjadi pada kelompok "duda"? Saya sendiri tidak melihat pandangan negatif yang signifikan pada mereka. Mereka masih bisa functioning in their society seperti biasa. Apalagi jika mereka kaya raya, status itu tidak diperhatikan lagi oleh keluarga orang yang akan dinikahinya.

Ada contoh kasus lain? Meski sekarang saya melihat progres enrollment rate untuk perempuan cenderung lebih tinggi, tapi barangkali masih ada di suatu daerah di negeri ini yang masih menerapkan prioritas pendidikan untuk anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuannya. Saya pernah melihat film yang mengangkat tentang ini sih, tapi saya lupa judulnya. Ketika anak laki-laki dipaksa bersekolah sementara anak perempuannya yang ingin mengenyam pendidikan malah harus mengalah, meski saudara laki-lakinya tidak menunjukkan kemauan yang tinggi untuk bersekolah. Padahal banyak studi yang menunjukkan bahwa pendidikan ibu juga signifikan mempengaruhi tingkat pendidikan anak-anak mereka. Sedangkan untuk pendidikan si bapak efek yang ditemukan dalam studi-studi terdahulu beragam. Ada yang positif ada yang tidak signifikan. (Eh, kok malah jadi tercium aroma-aroma bahasa paper. LOL :D)

Memang tidak semua society demikian adanya. Tapi common sense tentang apa-apa yang saya contohkan di atas masih ada. Society are much better now

Saya sangat terinspirasi dari paper yang ditulis oleh Ruyssen dan Salomone (2018) yang berjudul "Female migration: A way out of discrimination?". Di sana dibahas tentang mereka yang mendapat perlakuan diskriminatif (do not feel treated with respect and dignity) cenderung memiliki intention yang lebih besar untuk bermigrasi ke luar dari negeri mereka, dan celakanya hanya mereka yang memiliki wealth dan pendidikan yang lebih tinggi yang cenderung berkemampuan untuk merealisasikan intention of migration mereka. Padahal bisa jadi di negara tujuan mereka malah justru menerima double discrimination lagi apalagi jika mereka adalah unskilled labor. Menariknya, jika dibandingkan dengan laki-laki, perempuan are less likely bisa merealisasikan intention mereka. 

So, what's your opinion about this? 

Jumat, 08 Mei 2020

Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith?

Yes, itu adalah judul sebuah buku yang ditulis oleh Katrine Marcal. Saya belum membaca bukunya tetapi saya merasa terusik setelah menonton IG live yang membahas buku tersebut dari kacamata feminisme. Lama-lama laman ini jadi tempat diskusi feminismus ya? Hahaha

Oya, sebelumnya, ini akan buanyak sekali istilah-istilah teknis. Mohon bersabar. Kalau tidak paham skip saja. Saya hanya bersolilokui.

Sebelum saya mengkritik diskusi yang berlangsung di IG live tersebut, saya perlu menyampaikan sudut pandang saya dulu mengenai bahasan "emotional labor" atau yang oleh pembawa acara banyak disebut sebagai "female works". Tentu saja jika kita ingin mengkampanyekan lagi gender equality, mengapa masih pakai term "female work" untuk merujuk "domestik works"? Iya, memang kerja-kerja taking care atau domestic works ini tidak masuk dalam perhitungan GDP. Begitu juga masyarakat suku pedalaman yang masih mengandalkan hidup mereka pada sistem self-subsistence. Dan kalau mau dibahas lebih jauh lagi sekarang sudah banyak berkembang pemikiran-pemikiran Stoic untuk memproduksi dan mengambil secukupnya. Dan definisi cukup ini dikaitkan dalam analisis di tingkat mikro individu. Sampai di sini saya berusaha objektif ya karena memang demikian adanya. Tapi kenapa harus demikian?
Baik, kembali ke domestic works yang menurut mereka dinilai sebagai pekerjaan yang tidak produktif dari kacamata economics. Jika Adam Smith mengawali bukunya dengan frase siapa yang menyiapkan makan malam di meja Anda? Apakah pekerjaan itu dihitung sebagai produktifitas ekonomi? Kemudian siapa yang memetik kentang, mendistribusikannya ke pasar dan menjualnya di pasar sebagai pengecer hingga dibeli oleh "si koki" Adam Smith? 
Dalam kacamata teori makro yang saya pelajari alokasi waktu kita yang tidak digunakan untuk memproduksi income, dialokasikan sebagai konsumsi leisure. Itu juga kegiatan ekonomi. Adapun hal-hal yang tidak bisa dikuantifikasi dalam angka-angka moneter, masuk dalam variabel unobserved.
Itu yang pertama. Yang kedua adalah kritik mereka tentang konsep homo-economicus yang digambarkan sebagai manusia yang selalu bertindak secara rasional dan mengejar keuntungan diri sendiri. Jadi, di mana perempuan dalam analisis ilmu ekonomi?
Saya sebagai orang yang belajar ilmu ekonomi kok merasa ilmu ekonominya sih yang disalahkan? Salah Adam Smith apa? Salah ilmu ekonomi apa? Apa definsi Anda pada ilmu ekonomi? Salah mak gue? Salah temen-temen gue? 
Padahal economics yang saya pahami sendiri adalah value-free. Ekonom sebagai ilmuwan seringkali dihadapkan pada kondisi positivis. 
Oke. Jika yang mereka rujuk itu adalah ilmu ekonomi klasiknya Adam Smith maka kritik yang ditujukan untuk teori ini sudah banyak dibahas dan disempurnakan oleh ilmuwan-ilmuwan setelahnya hingga kini. Jadi saya rasa bahasan ini kayak basi nggak sih? Atau saya saja yang jarang baca jurnal-jurnal yang bertajuk "Review" yang isinya membahas perkembangan teori-teori secara konseptual instead of studi-studi empiris? Bahkan Ilmu Ekonomi tidak hanya membahas masalah GDP saja sebagai ukuran kemakmuran secara agregat. Ilmu Ekonomi telah banyak berkembang ke studi-studi di level mikro rumah tangga hingga kebahagiaan level individu (Amartya Sen). Bahkan saya sendiri baru akan menulis tentang gender equality. Jika ilmu ekonomi dibilang tidak bahas domestic works dan ukuran-ukuran kesejahteraan lain yang sifatnya bukan moneter, saya rasa itu kurang tepat sasaran. 
Bahkan sekarang sudah muncul analisis-analisis eksternalitas dari suatu kegiatan ekonomi. Lalu tentang asumsi manusia dipandang sebagai individu yang rasional, bahkan sekarang di Behavioral Economics pun kalau tidak salah sudah banyak dikembangkan asumsi bahwa manusia tidak bertindak secara rasional, paling tidak antar waktu. Preferensi antar waktu bisa berubah bukan? Kita tidak bisa memiliki satu pandangan atau preferensi tertentu dalam jangka waktu yang lama. Seperti halnya perasaan manusia bisa dengan mudah berubah oleh keadaan. Cieh.
Kemudian, kritik mereka tentang metode-metode kuantitatif. Mengapa semua hal perlu dikuantifikasi?
Gini. Kembali lagi apa sih definisi dari teori? Teori itu dibuat untuk melakukan simplifikasi dari realita yang kompleks kan? Makanya dibuat asumsi-asumsi yang seringkali mejauhkan kita dari dunia nyata. Seakan-akan kita berada di pasar persaingan sempurna di mana tidak ada informasi yang asimetris. Di dunia nyata ini tidak ada. Lalu mengapa dibuat? Salah satunya adalah untuk memudahkan analisis dalam menjelaskan suatu fenomena. 
Kemudian mengapa angka? Kembali lagi mengapa ada Ilmu Matematika? Mengapa ada angka? Sependek yang saya pahami bukankah angka diciptakan untuk memudahkan dalam menjelaskan kata-kata yang puanjaaang. Menjelaskan cerita yang puanjaaang menjadi satu baris yang simpel dan dapat dipahami oleh banyak orang.
Nah, mengapa harus anti terhadap kuantitatif? Lalu bagaimana mengukur efektifitas suatu kebijakan publik jika kita tidak bisa memberikan ukuran yang objektif sehingga bisa dinilai untuk proses perbaikan. Kalau kata sobat baik saya (Kanet), "Ya kali nungguin orang curhat satu-satu". Tulisan ini juga hasil dari curhatan dengan dia setelah menonton IG live tersebut. Hahaha
Bahkan orang kuantitatif pun tetap membutuhkan analisis kualitatif untuk melihat kedalaman suatu kasus tertentu yang di luar modus, misalnya.
Jadi, sebelum mengkritik sesuatu, pastikan kita paham dulu. Sebelum anti terhadap sesuatu, pastikan kita memahami sudut pandang mereka dengan kacamata mereka. 
Jadi kenapa analisis mengenai gendernya menjadi ndladrah ke kritik terhadap ilmu ekonomi dan angka-angkanya? 
Barangkali saya pun bisa salah dalam memahami pemahaman mereka. Ha wong saya sendiri belum baca bukunya. Ini saya membahas pembahasan mereka tentang bukunya lho ya.
Sebelum Anda menentukan posisi Anda terhadap sesuatu, kosongkan dulu isi otak dari nilai-nilai yang dianut. Pelajari dan pahami dulu. Baru benturkan dengan apa yang sudah Anda yakini.
Dah, gitu aja.

Minggu, 03 Mei 2020

Emotional Labor Questions

Mau nerusin tulisan sebelumnya (cek di sini) tentang gender equality dalam emotional labor. Hehe mumpung ingat sih. Kita ngobrol santai ya sambil istirahat siang.
Jadi gini.
Sering yang saya lihat di berbagai training parenting, fiqh pernikahan, kesehatan nutrisi keluarga, tema-tema tajuk komunikasi dengan pasangan atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan relationship dan keluarga sering kali lebih banyak diikuti oleh perempuan, sedangkan para lelaki yang mengikuti bisa dihitung dengan jari. Ini bukan hanya sekali dua kali kesempatan lho ya, mostly begitu yang saya temui dan mungkin juga di tempat-tempat lain, betul tidak?
Ke mana para bapak yang seharusnya memiliki tanggung jawab yang sama dalam hal keberlangsungan keluarga? Mengapa seakan kaum ibu saja yang begitu peduli pada pentingnya pendidikan seputar keluarga? Apakah memang nature dari seorang perempuan begitu dan laki-laki tidak memiliki nature ini? Apakah kita memang berpikir bahwa itu semua adalah tanggung jawab seorang istri dan seorang ibu saja?
Ini dibahas juga di buku Fed Up karya Gemma Hartley tentang bagaimana seharusnya seorang suami juga perlu turut andil dalam membekali diri dengan pengetahuan nutrisi kehamilan, fase-fase kehamilan, pengasuhan, dan seterusnya sehingga keputusan-keputusan pengasuhan diambil dalam diskusi yang berimbang, bukan menyerahkan sepenuhnya pada istri. 
Apakah bekal kemampuan mencari nafkah berupa duit saja cukup sehingga orang-orang overestimate pada profesi dan penghasilan finansial dalam menentukan calon suami/menantu? Apakah suami di sini diperankan sebagai mesin ATM? Jika demikian, bukankah hal itu justru mematikan potensi perempuan untuk melakukan hal yang sama juga? Siapa yang bisa menjamin kehidupan rumah tangga berlangsung hingga tua atau salah satu tidak meninggal di usia muda? Berapa banyak studi mengenai dampak ekonomi perempuan yang menjadi janda, menjadi kepala rumah tangga? 
Come on, bekal ilmu itu juga perlu. For both.
Nah, makanya di sini yang saya tekankan adalah adanya usaha yang equal dari kedua belah pihak. Baik, sebelum jauh-jauh deh ke pernikahan. Misal gini, dalam sebuah hubungan komitmen laki-laki dan perempuan saja. Berapa banyak yang pada akhirnya kandas karena ketidakmampuan dalam me-mantain sebuah hubungan karena kurangnya usaha salah satu pihak? Itulah mengapa dalam Ekonometrika ada istilah cointegration yang sering dipakai untuk jokes romansa para scholars yang belajar ekonomi. Kointegrasi menandakan adanya dua variabel yang memiliki hubungan jangka panjang, di mana ketika terjadi shock, ukuran mereka memiliki long-term relationship adalah seberapa cepat keduanya kembali ke titik keseimbangan setelah ada shock tersebut. Long-run equilibrium. Ini lho konsep jodoh itu. Punya kointegrasi. Nah, seberapa besar usaha masing-masing untuk mencapai titik keseimbangan jangka panjang itu jika effort yang dikeluarkan tidak setara? Itu namanya bertepuk sebelah tangan. Dan itu sakit bro. (Curhat mbak? Wkwkwk)
Lalu bagaimana jika keduanya merasa sudah melakukan usahanya masing-masing tapi merasa yang lain tidak melakukan hal yang sama? Notice and get noticed. Notice your partner where is your equilibrium. Get noticed of your partner's equilibrium. Makanya di awal pastikan bahwa kalian memiliki equilibrium pattern yang sama. Tektok di awal. Apa tujuan kalian berkomitmen dalam jangka panjang? Define ini dengan jelas, bareng-bareng.
Jika untuk project di pekerjaan saja harus direncanakan sedemikian rupa, membangun bisnis, dll, apalagi ini membangun rumah tangga yang untuk jangka panjang urusannya dunia akhirat dan menyangkut kehidupan generasi mendatang. Seberapa bertanggung jawab kita dalam memperhitungkan kesehatan dan pendidikan generasi mendatang? Wuih, berat emang. Gini lho, saya tuh suka sebel dengan pasangan menikah tapi sangat ignorance dengan kualitas kesehatan dan pendidikan anak-anak mereka. Mereka tahunya cuma "ena-ena", beranak, memberi makan dan pakaian, begitu saja mengikuti alur kehidupan orang-orang pada umumnya. Waktunya yang lain menikah ya menikah, waktunya punya anak ya punya anak, dst. Kemudian berharap anak-anak mereka akan menjadi investasi mereka di hari tua ada yang menjaga, saat meninggal ada yang mendoakan. Jika anak-anak berhasil secara finansial, bisa menjadi kebanggaan kita di masyarakat, hey people, that's my son/daughter. Seegois itukah kehidupan kita?
Satu pertanyaan penting untuk direnungi: Apakah kita menjadi bagian dari solusi pembangunan atau justru kita sendiri yang menjadi masalah pembangunan?
Satu hal yang perlu dipastikan masing-masing kita memilikinya adalah the ability to function in society
Ah kamu, kebanyakan wacana saja sis. Hahaha. Ya namanya juga cuma beropini melalui tulisan. Eh bukan, yang lebih banyak saya lontarkan di tulisan ini adalah bertanya sih. Bersolilokui itu bebas kan? Jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu juga bisa beragam. Dan tetap dihargai. 

Conversations

Mumpung saya sedang mood nge-blog saya ingin sedikit meneruskan tentang obrolan dengan Bang Edo. Ya begitulah di tengah terjangan deadline ujian saja kadang mood ngeblog ini sekonyong-konyong seenaknya datang. Apa yang paling ingat dari sebuah pertemuan adalah obrolan dan peristiwa. Makanya sampai sekarang saya masih ingat. Perjalanan dari Jogja ke Semarang untuk suatu project bersama kolega yang sama-sama di-hire untuk project yang saat itu digawangi oleh UNESCAP. Ecieh, saya pernah lho sekali bekerja kontrak singkat untuk UN. A little dream came true (meski dengan cara yang lain :D). Baru sekali malah saya bekerja dengan dibayar pajak dalam negeri. Mostly dibayar oleh AUSAID. Wkwkwk, sombong banget. Padahal...ah sudahlah. Makanya saya kalau urusan bayar pajak agak malas sih. 
Jadi saat itu kami sengaja mengambil jalur melewati Kopeng. Di perjalanan entah kenapa obrolan kami pada satu topik: Apakah pasangan yang menikah itu wajib punya anak? Ah, saya selalu suka dengan topik-topik mind-blowing begini sehingga saya bisa mendapat perspektif lain dari para lawan bicara. Kali itu saya sepemahaman dengan Bang Edo dan diamini oleh para penumpang lainnya satu mobil. Ketika pertanyaan itu terlempar kepada saya untuk giliran menjawab, saya pikir itu kembali lagi pada individu yang menikah itu tujuannya untuk apa. Dan setiap orang pasangan berhak menentukan tujuan mereka masing-masing. Ada yang memang dari awal ingin child-free dan berfokus pada apa yang bisa mereka lakukan bersama as long as kehidupan mereka meaningful, that's fine. Kita hargai setiap keputusan dan pandangan individu. Tapi dari segi agama Islam sendiri bagaimana? Hmm. Menarik sih. Bahwa salah satu dari maqasid asyariah yang pernah saya pelajari dulu salah satunya adalah menjaga keturunan. Nah itu maka disyariatkan pernikahan. Lalu, bagaimana dengan mereka yang ditakdirkan tidak bisa memiliki keturunan? Bagaimana dengan para ulama seperti Imam Syafii, Baiduzzaman Said Nursi, dll yang belum sempat menikah karena terlalu sibuk menuntut ilmu? 
Saya sendiri berada pada keyakinan bahwa setiap keputusan yang diambil harus didasarkan pada pilihan sadar dan merdeka. Setiap orang memiliki pertimbangan masing-masing dalam memilih jalannya dan kita tidak bisa melakukan generalisasi pada mereka berdasarkan pengalaman kita dan orang-orang kebanyakan. Menikah atau tidak menikah. Memiliki anak atau tidak memiliki anak. Itu adalah keputusan individu yang layak untuk dihormati. Maka kemudian kita tidak berhak untuk menuntut pasangan yang baru menikah untuk segera memiliki momongan. Maka kita tidak berhak mencibir pasangan yang tidak memiliki anak. Maka kita tidak berhak mengolok mereka yang memutuskan untuk tidak menikah. Apakah mereka melanggar syariat? Siapa yang berhak menilai?

Di kesempatan lain, saat perjalanan dengan mobil travel dari Jakarta menuju Jogja untuk sebuah panggilan mendadak karena kehabisan tiket moda transportasi lain. Saya duduk di depan bersama seorang pria stranger yang asyik sekali mengajak saya ngobrol tentang diskusi interfaith. Gila saja, saya saat itu masih cupu dalam hal ini hanya bisa nyengir mendengar cerita dia tentang diskusi interfaith. Saya pikir ini akan bahaya jika orang-orang dicekoki pemahaman bahwa semua agama itu sama. Ini sudah menyalahi aqidah. Pikir saya saat itu. Dasar liberal! 
Meskipun dalihnya adalah agar tercipta toleransi antar umat beragama. Tapi saya saat itu saya masih belum bisa menerima pandangan bahwa membekali anak-anak muda dengan pemahaman antar agama itu perlu. Bagaimana tidak? Para orangtua sudah bersusah payah menjaga aqidah anak mereka dengan mengajari mereka mengaji dan lain-lain ini kemudian dikenalkan dengan agama yang berbeda dari mereka. Bagaimana jika terjadi converting
Namun saat ini saya baru menyadari bahwa ketakutan-ketakutan seperti itu sebenarnya tidak perlu. Manusia dewasa selayaknya memiliki keputusan sadar dan bebas atas hidup mereka. Justru dengan pemahaman yang lebih pada pandangan yang berbeda dari mereka, bukan berarti menganggap semua agama sama, tetapi lebih untuk mengedepankan empati. Mengapa orang lain berpikir dan bertindak seperti itu? Sehingga kita tidak perlu dengan mudah untuk membuat judgement pada orang lain yang berbeda pandangan atau keyakinan dengan kita. Ah ini sebenarnya pernah saya tulis sih. Tentang bagaimana kita bisa lebih rileks dalam mengenali sesuatu yang baru bagi kita sehingga ilmu baru itu masuk. Justru dengan semakin banyak pemahaman baru yang masuk, semakin akan membuat orang merunduk dan tidak berani mengklaim dirinya paling benar, bukan. Kecuali dalam konteks keyakinan tentu saja keyakinan adalah sesuatu yang dari hati dan kita benarkan. Jadi beda ya konteksnya di sini, antara keyakinan dan pemahaman akan keyakinan itu. 

Sepertinya saya sedang merindukan perjalanan-perjalanan dengan obrolan yang seru. Yang belum kesampaian adalah perjalanan dengan kereta dan obrolan seru lainnya yang sangat filosofis, entah dengan siapapun. Yang dari obrolan itu layak untuk saya tuliskan di blog ini.
Jadi ingat dengan obrolan di channel Makna Talks yang saya tonton beberapa waktu lalu episode Dian Sastrowardoyo. Menarik sih bagaimana seorang Dian Sastro mengajak ngopi setiap kawan yang baru ia kenal untuk melihat apakah mereka memiliki kecocokan. Yes, deep conversation is such an amazing moment. Di mana kita bisa menerima hal yang baru dari seseorang dan di waktu yang sama kita juga dengan percaya diri bisa mengemukakan ide-ide kita. To inspire and get inspired, at the same time. Kapan terakhir kali ngopi bareng teman dan melakukan deep conversation? Saya pikir jika saya di masa lalu bisa seterbuka itu menerima setiap tawaran untuk bertemu dan bepergian, tentu banyak sekali kawan saya dari berbagai background. Ada satu tawaran yang masih saya sesali tidak saya sambut dengan baik sampai sekarang. Toko buku dan stasiun. Ada satu kesempatan yang saya lewatkan untuk mengambil cerita banyak dari beliau. Itulah mengapa saat ini saya ingin lebih rileks dalam menjalin pertemanan. Dengan siapapun. Tanpa memberikan judgement dan labeling apapun. 

Mari berteman. :-)

Sabtu, 02 Mei 2020

Feminism & Other Things

DISCLAIMER: Kalau tidak mau pusing, langsung loncat ke paragraf ke-8 untuk bahasan utamanya. Tapi kalau mau menikmati alur soliloquy saya, yuk mari, selamat membaca dari awal. Semoga tidak mual. Hahaha

Sepertinya bahasan saya belakangan ini tidak jauh-jauh dari ini. Well, saya pernah berada di satu kondisi di mana pandangan saya terhadap feminismus itu negatif dan benar-benar mengikuti alur berpikir itu hingga berwujud nyata. Setelah saya renungi lebih jauh, dan saya berada di posisi sekarang, yes, I used to think "the other way" yang pada saat ini saya pikir itu bodoh. Tapi saya tidak ingin menyalahkan diri saya di masa lalu. Saya berada di wisdom saya yang sekarang ya karena saya pernah berada di masa lalu yang seperti itu. 

Oke, apa sih masa lalu dan masa sekarang saya? Tentu saja tidak akan saya bicarakan di sini. Gila apa. 

Enggak sih, tetap saja saya akan membicarakannya (dengan cara yang lain).

Yes, saya senang dengan pemikiran saya sekarang untuk menjadi seorang feminist. Uwuw, dulu saya dengar ada orang mengklaim dirinya sebagai seorang feminist saja sudah mengernyitkan dahi. Bahkan sekarang saya bahagia dengan adanya pemikiran ini. Oh my God! Kemana saja saya selama ini? Iya itu tadi, kurang baca. See? Sometimes you will know the beautiful things only if you slow down. Eh, tapi saya juga harus berhati-hati sih untuk mengklaim diri sebagai seorang feminist jika laku dan pikiran saya belum sepenuhnya mencerminkan hal yang sebenarnya. Sama juga seperti ketika dulu pernah diskusi dengan seorang kolega waktu acara di Solo (sebut saja Bang Edo bageur, katanya :D) tentang penghapusan kolom agama di KTP. Apakah kamu bisa mengklaim dirimu sendiri seorang muslim? Saat itu saya menimpali ya, kita sebagai seorang yang bersyahadat harus bangga dong dengan keIslaman kita. Menunjukkan identitas bahwa kita seorang muslim itu perlu. Misal sebagai manusia kita berhak dong ya ketika kita nanti meninggal, disemayamkan dengan cara yang selayaknya agama kita anut. So, what's the point of not to mention your religion or religious view? 

Sampai sekarang saya masih memikirkan hal tersebut. Ini menurut saya lebih ke pemahaman sufi sih. Gini, apakah kita benar-benar tahu bahwa Allah dan Rasulullah menerima kita sebagai seorang umatnya Rasulullah? Damn, menurut saya ini lebih dari sekedar pengakuan identitas di KTP sih. Ini lebih ke penghambaan. Sejauh apa sih sebenarnya kita sudah mengamalkan agama yang kita anut secara kaffah? Apakah kita yakin amal-amal kita diterima? Bagaimana kalau kita menjadi golongan orang yang di akhirat nanti seperti yang ada di hadist, dengan membawa amalam yang segunung, kemudian ditolak mentah-mentah sama Allah. "Kamu berdusta!" Itu se-broken-broken-nya patah hati.

Ah lagi-lagi saya suka gini, untuk menuju ke inti dari apa yang sebenarnya mau ditulis, saya menggiring pembaca berbelok dulu ke yang lain. Baik, kembali ke feminism. Jadi, saya tidak jadi mengklaim diri sebagai feminist lho ya, tapi saya sedang belajar dan menemukan hal yang membuat saya ber-wow-wow tentang itu. Sama halnya dengan salah seorang kolega lain yang kemarin bertanya-tanya apa sih sebenarnya "economist" atau ekonom itu? Kriteria apa yang yang disematkan pada seseorang sehingga layak disebut sebagai seorang ekonom? Apakah tanpa mengambil economics degree juga bisa disebut ekonom? Nah, ini bahasan lain lagi. Hahaha. Intinya what's the matter of claiming the identity? Iya, betul, to some extent diperlukan, tapi jika kita return to the meaning, acts speak louder. Dan satu lagi: innamal a'malu binniyat. (Serius saya pernah hapal hadist pertama kumpulan Imam An Nawawi ini. Klaim yang tidak penting.) Ini kenapa jadi bahas identity woy.

Baik, sekarang benar-benar bahas sesuai judulnya. Jadi itu kemarin sempat chit-chat dengan beberapa kolega lain membahas postingan teman mengenai emotional works (domestic works) dalam pandangan syariat Islam. Bahasan ini semakin santer setelah adanya pandemik yang mengharuskan hampir semua orang untuk tinggal di rumah saja. Jadi kan banyak tuh mencuat bahasan mengenai gender imbalance of domestic works. Bersamaan dengan bulan Stop Discrimination Maret lalu. Pokoknya Maret adalah bulan kesetaraan untuk semua lah. 

Teman saya (Fahmi) kemarin juga bahas tentang ini di IG Stories-nya (Uh, senangnya semakin banyak laki-laki yang berpandangan feminist). Saya ceritakan singkat saja, dia juga mengutip salah satu perkataan Asy-Syirazi dalam Al Muhadzdzab yang di-syarahkan Imam An Nawawi: 
"Tidak wajib atas istri berkhidmat untuk membuat roti, memasak, mencuci, dan bentuk khidmat lainnya..." (Asy-Syirazi, al-Muhadzadzab, jilid 15, hal 581). 
Juga kutipan yang lain ketika dia mempertanyakan, mengenai adat dan kebiasaan masyarakat yang sudah melekatkan urusan domestik berdasarkan gender tertentu: 
Menurut Al Bujairimi yang menjelaskan dalam Hasyiyah-nya ketika ada pertanyaan, "Apakah suami wajib memberi tahu bahwa istrinya tidak wajib berkhidmat, seperti memasak dan menyapu sebagaimana yang berlaku pada adat?" "Kami menjawab zahirnya yang pertama, yaitu suami wajib memberitahu, sang istri akan menyangka khidmat tersebut sebagai kewajiban."
Pas juga sih saya sedang baca bukunya Gemma Hartley judulnya FED UP yang belum kelar-kelar juga. Di sana juga banyak membahas mengenai emotional labor. Apa lagi itu emotional labor? Lihat wikipedia: 
Emotional labor is the process of managing feelings and expressions to fulfill the emotional requirements of a job.
Bahasa singkatnya untuk konteks ini, sependek yang saya pahami, adalah pekerjaan domestik kaitannya dengan taking care yang selama ini disematkan pada identitas gender tertentu, atau "female work". Nah, dalam chit-chat itu kami sedikit berkesimpulan bahwa penyematan identitas gender pada pekerjaan domestik itu sesungguhnya adalah konstruksi budaya, bukan dari pengamalan syariat. Barangkali banyak yang mengernyitkan dahi ini. Ah, pemikiran kami terlalu liberal.

Yes, memang dalam sebuah hadist disebutkan mengenai pahala seorang istri yang menghidangkan segelas air minum untuk suaminya seperti beribadah umroh. Begitu juga dengan kewajiban seorang istri untuk patuh pada ajakan suami. Barangkali akan ada juga yang membenturkan derajat perkataan ulama dengan hadist. Tapi bukan kapasitas saya untuk itu ya...saya hanya bercerita tentang apa yang saya dan teman-teman saya bahas kemarin. Bisa benar, bisa salah.

Sebenarnya perlu tidak sih division of labor based on gender? Itu sih inti yang ingin saya bahas di sini. Ini opini saya lho ya, sependek yang saya baca juga, saya kurang sepakat dengan penisbatan suatu pekerjaan terhadap gender tertentu. Misal, tugas masak adalah tugas istri. Tugas mengurus rumah tangga dan anak-anak adalah tugas istri. Dalihnya adalah kemelekatan otak dan hormon perempuan yang cenderung lebih detail daripada laki-laki. Secara realitas yang selama ini terjadi barangkali itu bisa benar. Tapi jauh sebelum itu terjadi, saya pikir kita tidak bisa mengkotak-kotakan suatu pekerjaan rumah tangga hanya baik jika dilakukan oleh gender tertentu. Misal membenarkan genteng yang bocor adalah pekerjaan laki-laki. Pekerjaan perempuan adalah memasak, menjahit, dan apa-apa yang selama ini kita lekatkan padanya. Hipotesis saya adalah, itu berakar dari konstruksi budaya yang dibina dari pembiasaan di keluarga. Coba kalau anak laki-laki kita juga dibiasakan untuk memasak sendiri makanannya, tentu tidak ada lagi yang memberikan pemakluman "maklum, masakan lelaki". It's simply about duration. Jam terbang. Pembiasaan. Bahkan Rasulullah pun menjahit sendiri pakaiannya yang robek.

Hal menarik yang saya baca dari bukunya Gemma Hartley adalah bagaimana konstruksi budaya itu telah membuat suatu standar ganda pada perempuan. Salah satu hal yang dia ilustrasikan di dalam bukunya adalah ketika ia meminta suaminya menjaga anak-anaknya di rumah sementara dia harus menghadiri undangan makan bersama teman-temannya. Teman-temannya bertanya-tanya di mana anak-anak? Mengapa tidak dibawa sementara yang lainnya membawa anak-anaknya? Dia menjawab bahwa anak-anak sedang bersama suaminya di rumah. Seketika pujian ditujukan pada suaminya. Wow, kamu memiliki suami yang hebat karena bersedia berbagi peran. Atau di kesempatan lain ketika suaminya mendapatkan jadwal untuk berbelanja kebutuhan rumah bersama anaknya saja tanpa didampingi istri, orang-orang kemudian membuat pujian kepadanya. Sekarang jika dibalik, si istri melakukan hal yang sama, apakah pujian yang sama akan berlaku kepada istrinya?

Saya ingat sebuah perkataan dari seorang narasumber Lalita Project beberapa waktu lalu, bahwa seseorang ketika sudah tidak lagi dipuji atas pekerjaannya, itu menandakan sudah konsisten dan lamanya ia melakukan pekerjaan itu. Nampaknya jika kita kaitkan dengan kasus di atas bisa jadi benar. Ya, kita kebanyakan dipuji atas hal-hal yang tidak biasa, bukan?

Padahal...seharusnya pekerjaan taking care bisa dilakukan oleh keduanya dengan baik. Memang tidak masalah dengan seorang istri yang memilih untuk mengambil alih semua pekerjaan domestik agar suami bisa fokus bekerja mencari nafkah. It's really fine, jika memang didasarkan atas keputusan sadar dan bebas. Freedom to choose. Dan salah satu inti dari tujuan dari pembangunan yang saya pelajari dari Amartya Sen adalah tentang kebebasan dalam memilih. Daripada karena keharusan, keterpaksaan. Keharusan berarti memang tidak ada pilihan lain yang bisa dipilih. Yang saya titik beratkan di sini adalah pada konstruksi sosial yang bisa berimplikasi pada insecurity seorang istri ketika melakukan tektok dengan suaminya mengenai division of domestic labor. Ketika istri tidak melakukan pekerjaan tertentu maka dia termasuk seorang istri yang pemalas, tidak bisa melayani suami, dll. Wow, padahal jika balik lagi ke syariatnya, justru kewajiban memberi nafkah lahir dan batin itu suami lho. Istri hanya membantu. Nafkah tidak selalu dalam bentuk uang belanja yang secara tidak langsung harus diterjemahkan oleh seorang istri untuk dibelanjakan dan disulap menjadi kebutuhan sehari-hari keluarga berupa masakan yang siap dihidangkan di meja. Boleh juga lho nafkah itu diwujudkan langsung dalam bentuk makanan yang dihidangkan di meja untuk istri atau lansung disuapkan ke mulut istri dan anak-anaknya. Tapi saya tidak ingin juga meletakkan kewajiban sepenuhnya pada sosok suami. Kasihan juga sih. Ya gimana lagi tanggung jawab kalian berat bung. Dunia akhirat. Makanya kami sebagai istri harus patuh.

Tapi, instead of membicarakan pembebanan kewajiban pada suami apa, pada istri apa, saya pikir akan lebih nyaman jika konstruksi itu berakar dari sebuah tanggung jawab yang setara. Equality. Bahwa selain mengandung dan menyusui, semua aktifitas pekerjaan rumah tangga juga bisa dilakukan oleh suami. Begitu juga istri. Semua punya tanggung jawab yang sama dalam berjalannya suatu rumah menjadi nyaman untuk penghuninya atau tidak. Dan itu simply adalah masalah skill. Basic skill yang kemampuannya bisa diasah dari pembiasaan dan juga berakar dari pendidikan di keluarga masing-masing.

Yang mau saya tekannya di sini adalah untuk tidak perlu lagi seorang istri merasa insecure atau merasa bersalah ketika belum memasak makan malam untuk keluarga karena belum sempat. Karena merasa itu adalah tanggung jawab dia. Sebagaimana yang berlaku di society untuk kata "seharusnya". Sementara suami tidak merasa bersalah dengan kondisi yang sama. Saya pikir kita bisa saling berbagi peran dengan lebih fleksibel tanpa mempermasalahkan gender sesuai dengan konstruksi sosial selama ini. Saya pikir tidak melulu karena otak perempuan yang lebih detail sehingga ia lebih mudah noticed ketika ada hal yang perlu dilakukan dengan urusan domestik, misal lantai kotor, cucian, dll. Bahwa laki-laki pun bisa menjadi detail untuk urusan yang memang ia gandrungi. Misal ketika terjadi kerusakan mesin mobil yang akan noticed duluan biasanya laki-laki kan. Begitu juga jika kita memiliki pemahaman yang sama mengenai tanggung jawab domestik, yang terjadi adalah berlomba-lomba dalam kebaikan. Berlomba-lomba untuk saling melayani dan membahagiakan. Intead of protes ini kewajibanmu, itu kewajibanku. It's not my job, it's your job. Bahwa motivasi melakukan pekerjaan taking care adalah kepedulian, karena memang care. Dan lebih bagus lagi karena taking care each other itu berpahala. Semoga bisa dipahami dengan baik.

Bahwa setiap kita, apapun gendernya, punya peluang untuk melakukan pilihan-pilihan atas apa yang kita kerjakan, dengan bebas, dan bertanggung jawab. Bahwa kita punya peluang yang sama untuk melakukan yang terbaik dalam hidup. Based on skill. Not gender. Bahwa kita punya peluang yang sama untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.