Oke, judulnya saja sudah propagandis gitu ya? Seakan posisi saya di blog ini lagi-lagi bicara masalah gender equality, patriarki, dan bahasan-bahasan yang terkait dengannya. Ya memang intention saya sedang membahas hal-hal ini mau bagaimana lagi. Belum tahu juga untuk beberapa bulan ke depan. Blog ini isinya gado-gado. Kadang ada sayur mayurnya kadang juga ada gorengannya.
Mumpun mood menulis blog sedang menyala jadi ya langsung dituliskan saja. Ngobrol santai saja ya. Namanya juga bersolilokui. Ngomong sama diri sendiri. :D
Pernah nggak sih kamu sebagai cewek keluar untuk makan sendiri aja di warung makan tradisional begitu, lalu kamu sudah pesan menu duluan tapi yang dilayani duluan adalah rombongan atau ada bapak-bapak yang dilayani duluan karena penampilannya terlihat seperti orang penting.
Atau di meja sebelah kamu melihat ada keluarga yang sedang makan bersama, kemudian menu pesanan yang dihidangkan duluan adalah menu pesanan si bapak, instead of ibu atau anaknya.
Padahal nih ya kalau dalam protokol penyajian menu makanan dengan standar penyajian yang bersertifikasi, justru yang didahulukan untuk dilayani adalah perempuan. Cmiiw
Atau justru terjadi di keluarga kita sendiri? Hidangan yang paling bagus disisihkan untuk kaum laki-lakinya (biasanya si bapak), sementara anak-anak yang perempuan cenderung disisihkan sisanya bukan di meja makan tapi masih di panci untuk diambil sendiri.
Jika kaitannya sama semangat untuk menghargai sih barangkali oke oke saja lah ya.
Tapi bagaimana jika mindset itu menjadi pola pikir umumnya di masyarakat yang kemudian menerimanya sebagai norma keharusan?
Itu contoh kasus pertama.
Contoh kasus kedua, tadi saya lihat dari IG live mbak Popi Diharjo yang baru saya follow sejak mengikuti kasus sexual harassment di UII itu yang membahas mengenai janda. Apa yang terlintas di pikiran kita mendengar kata itu "janda"? Bagaimana dengan kata "duda"?
Sekarang cari di search engine di google kata "janda". Berapa banyak hal-hal yang menunjukkan penilaian negatif pada penyandang kata itu? Seakan mereka kelompok yang pantas mendapatkan perlakuan seksual yang bebas. Atau diasosiasikan sebagai perempuan nakal, dengan penampakan pakaian-pakaian terbuka. Bagaimana dengan kata "duda"? This is what I see.
Jika menjadi janda adalah sebuah kehinaan, mengapa Allah menjadikan Khadijah sebagai istri Rasulullah dan menjadikannya wanita utama dan spesial? Mengapa Rasulullah kemudian juga menikahi janda-janda lain setelah kepergiannya selain Aisyah?
Apa yang beberapa kali saya temui adalah terkadang orang kemudian merasa berhak untuk memperlakukan kelompok ini sebagai orang yang tidak punya dignity. Pantas dilecehkan secara seksual oleh kelompok yang merasa lebih berkuasa.
Lalu, apa yang terjadi pada kelompok "duda"? Saya sendiri tidak melihat pandangan negatif yang signifikan pada mereka. Mereka masih bisa functioning in their society seperti biasa. Apalagi jika mereka kaya raya, status itu tidak diperhatikan lagi oleh keluarga orang yang akan dinikahinya.
Ada contoh kasus lain? Meski sekarang saya melihat progres enrollment rate untuk perempuan cenderung lebih tinggi, tapi barangkali masih ada di suatu daerah di negeri ini yang masih menerapkan prioritas pendidikan untuk anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuannya. Saya pernah melihat film yang mengangkat tentang ini sih, tapi saya lupa judulnya. Ketika anak laki-laki dipaksa bersekolah sementara anak perempuannya yang ingin mengenyam pendidikan malah harus mengalah, meski saudara laki-lakinya tidak menunjukkan kemauan yang tinggi untuk bersekolah. Padahal banyak studi yang menunjukkan bahwa pendidikan ibu juga signifikan mempengaruhi tingkat pendidikan anak-anak mereka. Sedangkan untuk pendidikan si bapak efek yang ditemukan dalam studi-studi terdahulu beragam. Ada yang positif ada yang tidak signifikan. (Eh, kok malah jadi tercium aroma-aroma bahasa paper. LOL :D)
Memang tidak semua society demikian adanya. Tapi common sense tentang apa-apa yang saya contohkan di atas masih ada. Society are much better now.
Saya sangat terinspirasi dari paper yang ditulis oleh Ruyssen dan Salomone (2018) yang berjudul "Female migration: A way out of discrimination?". Di sana dibahas tentang mereka yang mendapat perlakuan diskriminatif (do not feel treated with respect and dignity) cenderung memiliki intention yang lebih besar untuk bermigrasi ke luar dari negeri mereka, dan celakanya hanya mereka yang memiliki wealth dan pendidikan yang lebih tinggi yang cenderung berkemampuan untuk merealisasikan intention of migration mereka. Padahal bisa jadi di negara tujuan mereka malah justru menerima double discrimination lagi apalagi jika mereka adalah unskilled labor. Menariknya, jika dibandingkan dengan laki-laki, perempuan are less likely bisa merealisasikan intention mereka.
So, what's your opinion about this?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar