Minggu, 12 Januari 2014

Simalakama Kebijakan Impor Beras

Impor beras dianggap sebagai momok karena bertentangan dengan kemandirian pangan. Di sisi lain, apabila menggantungkan produksi lokal, harga beras sulit ditekan dan akan terbuka kemiskinan baru.
 Kebijakan pangan, khususnya impor beras, ibarat memakan buah simalakama. Keadaan yang serbasalah dalam menghadapi dua pilihan yang tidak diinginkan itu disebabkan keduanya menimbulkan kondisi yang tidak baik. Impor menyebabkan tidak mandiri, tidak impor pun kondisi produksi domestik kurang mencukupi.
Dalam beberapa dekade terakhir, ketersediaan pangan menjadi isu penting dunia. Begitu pesatnya peningkatan populasi dunia membuat permintaan akan pangan jauh meningkat. Di sisi lain, pertumbuhan pasokan pangan justru sebaliknya, mengalami kendala karena susutnya lahan pertanian dan gagal panen yang dipicu, di antaranya, perubahan iklim.
Kondisi itu juga terjadi di Indonesia sebagai salah satu negara yang kemampuannya dalam menyediakan pangan penduduknya justru mengalami degradasi. Kalau di era Orde Baru negeri ini bisa swasembada beras, saat ini hampir setiap tahun harus mengimpor agar pasokan dan harga pasaran di tingkat konsumen bisa terjaga.
Ekonom dari Universitas Gadjah Mada, Elan Satriawan, kepada Koran Jakarta mengatakan kenyataan susutnya lahan pertanian membuat masalah utama swasembada beras di negeri ini sulit dipecahkan. Data menunjukkan 60 persen lebih petani padi di Indonesia hanya memiliki lahan tak lebih dari 0,5 hektare. Masalah itu diperburuk dengan kondisi infrastruktur pertanian dan perdesaan yang sangat minim.
“Jumlah sawah yang memiliki irigasi teknis tak bertambah. Jalan desa yang menghubungan petani dan pasar masih jadi masalah besar. Dan pupuk masih jadi ajang spekulasi tiap tahunnya,” kata Elan Satriawan di Yogyakarta, kemarin.
Tanpa perbaikan semua hal tersebut, menurut Elan, cita-cita swasembada akan sangat sulit diwujudkan, bahkan tidak mungkin. Maka, menurut Elan, dalam jangka pendek dan menengah, sampai seluruh perangkat dasar mewujudkan swasembada tersebut dipenuhi, isu swasemba harus dilihat dari kacamata ketahanan pangan. Dua komponen ketahanan pangan menurut Elan adalah ketersediaan pangan dan keterjangkauan harga pangan.
Tepat di titik itulah Elan mengatakan impor menjadi hampir tak terelakkan. Sayangnya, isu impor beras selalu mendapat respons buruk dari publik karena dianggap akan menurunkan kesejahteraan petani sebab harga beras di pasaran dunia yang lebih murah dari beras yang diproduksi di dalam negeri. Impor dituding menjadi salah satu penyebab hancurnya pertanian nasional, yang tentu saja menjadi salah satu sebab pokok dari bertambahnya tingkat kemiskinan.
Dalam penelitiannya tentang “Pengaruh Kenaikan Harga Pangan terhadap Kesejahteran dan Kemiskinan”, Elan Satriawan bersama Wulan Wiyat Wuri dan Ahmad Jamil, justru menemukan hal yang sebaliknya.
Pokok masalah dari penelitian tersebut adalah siapa yang akan diuntungkan jika ada kenaikan harga beras di pasaran sebesar 20 persen dan di tingkat produsen sebesar 16 persen, 20 persen, dan 24 persen. Dampak terhadap peningkatan kesejahteraan berbeda untuk masing-masing kenaikan harga, bergantung pada berapa persen kenaikannya. Tetapi, dampaknya pada memburuknya kemiskinan ternyata justru konsisten. Kelompok yang paling dirugikan adalah rumah tangga miskin, khususnya kalangan miskin perkotaan.
Elan mengatakan komposisi kepemilikan tanah dan buruknya infrastruktur pertanian menjadi sebab utama dari temuannya. Yang diuntungkan dari kenaikan harga hanya petani-petani besar dan para spekulan, sementara petani kecil, meskipun dia memproduksi beras, nyatanya mereka adalah konsumen.
“Jadi, meski HPP dinaikkan dan tentu saja harga beras di pasaran juga naik, mayoritas petani kita yang 60 persen lebih itu tidak akan dapat untung karena mereka juga net consumer. Yang untung siapa? Ya petani besar dan para spekulan,” tukas Elan.

Ketersediaan Lahan
Pengamat ekonomi pertanian dari UGM, Masyhuri, sebelumnya, menegaskan hal yang paling pokok dari ketahanan pangan di Indonesia adalah persoalan kepemilikan lahan. Menurutnya, petani rata-rata hanya mengolah lahan kurang dari 0,5 hektare, sedangkan idealnya minimal 2 hektare seperti yang diamanatkan undang-undang.
Untuk itu, menurut Ketua Umum Asosiasi Pemerintahan Kebuapaten Seluruh Indonesia (APKASI), Isran Noor, tuntutan peran optimal pemerintah daerah untuk mengurusi admnistrasi pertanahan semakin menguat karena makin sering munculnya konflik-konflik agraria. Sehingga diperlukan peraturam pelaksanaan yang mengatur kewenagan pemerintah kabupaten/kota yang berhadapan langsung dengan masalah konflik hak-hak atas tanah. YK/E-12
Ketimpangan Harga Pangan Menarik Spekulan
Impor pangan menjadi isu yang paling panas dalam beberapa tahun terakhir terkait melonjaknya harga pangan yang berkontribusi besar terhadap inflasi dan kemampuan bangsa ini dalam hal menyediakan pangan bagi penduduknya.
Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI), Ahmad Yakub, menyatakan persetujuannya dengan sejumlah catatan. Persetujuan terhadap impor pangan bukanlah hal yang musti diperjuangkan oleh para petani sebab hal tersebut terlalu mudah dilakukan oleh birokrat, importir, dan spekulan yang selama ini menguasai perdagangan pangan nasional.
 Menurutnya, dengan atau tanpa persetujuan petani saat harga beras dunia lebih rendah dari harga beras nasional, para pemburu rente akan bekerja semaksimal mungkin untuk mendapatkan keuntungan, dengan atau tanpa persetujuan petani. “Jadi yang saya tanyakan pada akademisi, penelitian-penelitiannya itu tujuannya apa? Kalau mau sekadar mengatakan impor pangan penting, ya buat apa, importir dan birokrat pemburu rente nggak perlu dibela,” tegas Yakub di Yogyakarta, kemarin.
 Yakub berpendapat pokok persoalan dari pertanian di Indonesia adalah, seperti disebutkan dalam penelitian Elan, adalah distribusi lahan yang sangat sempit. Menurut Yakub, kampanye petani melawan impor pangan bertujuan untuk menjaga isu paling penting dari isu pangan nasional yakni redistribusi lahan.
 Isu terpenting kedua, menurut Yakub, yakni pemberian bibit unggul dan teknologi serta industri pengolahan pascapanen, dan baru yang ketiga adalah soal perdagangan pangan. Penelitian Elan, menurut Yakub, hanya berpokok pada soal terakhir dan tanpa bekerja apa pun, tanpa keterlibatan akademisi ataupun petani, perdagangan pangan internasional (ekspor-impor) akan mengikuti keuntuntungan yang dijanjikan. Kalau ada untung dari impor, ya impor, kalau sebaliknya ya ekspor akan dilakukan.
 Maka, menurut Yakub, pembelaan terhadap petani maupun konsumen pangan dalam negeri harus selalu berpegang teguh pada keterlibatan petani kecil sebagai pelaku utama penyediaan pangan. Kalau hanya berfokus pada ketersediaan pangan, bangsa ini bisa terjerumus dalam privatisasi sektor pangan tanpa perlu redistribusi lahan pada petani kecil.
 “Kalau fokusnya ketersediaan, food estate bisa jadi pilihan. Tapi kalau fokusnya pada petani, ya redistribusi lahan,” kata Yakub.
 Menurut Yakub, pemerintah harus memiliki kebijakan politik anggaran berbasis pertanian dan melindungi produksi pangan dalam negeri. Kebijakan nasional Indonesia selama ini lebih berbasis pada industri dan perkotaan dibandingkan basis perdesaan dan pertanian sehingga petani sebagai soko guru pertanian pangan nasional bisa dengan mudah digantikan dengan impor ataupun food estate. YK/E-12