Rabu, 15 April 2020

Bad Time

Jika kemarin saya mengkritik analisis mengenai dampak pandemik ini berpeluang menjadi krisis seperti kasus 1997/1998, kali ini secara riil saya mulai menghadapinya. Karyawan mulai mengeluhkan setoran yang minus dan bersedia dirumahkan daripada menjadi beban. Kenapa masih bersikeras buka sementara beberapa pengusaha lain sudah tutup. Atau mencari alternatif marketing atau usaha. Setoran pajak bulan ini barangkali tidak bisa dilakukan. Alih-alih pemerintah daerah melakukan penghapusan seperti di daerah lainya, di daerah kami hanya berupa pengurangan. Ditambah dengan harga bahan baku yang mulai meroket. Agaknya benar juga usulan salah satu rekan saya kemarin saat mengobrol via chat, mengapa tidak diberlakukan kebijakan ceiling-price atau floor-price untuk komoditas-komoditas tertentu yang vital.
Pertama, saat ini adalah musim panen bagi petani. Mereka menggantungkan pendapatan tahunan mereka di sini untuk menutupi biaya bibit, tanam, hingga pupuk. 
Kedua, ada komoditas yang memiliki permintaan tinggi namun di sisi penawaran menghadapi scarcity
Berapa lama masyarakat bisa bertahan? Yes, people face trade-off. Dan kali ini mempertahankan ekonomi bukan pilihan untuk menanggalkan upaya keselamatan dan kesehatan. Semua ini benar-benar tergantung pada keberhasilan menanggulangi dan menekan penyebaran virus, at all cost. Hanya itu pilihan satu-satunya. Ekonomi tidak hanya bicara tentang profit making, tetapi lebih esensial pada welfare. Inilah mengapa saya belajar economics instead of business
Maka tolong, bantu kami dengan mematuhi protokol kesehatan yang dianjurkan. Sebentar saja. Agar usaha kami tidak larut dalam ketidakpastian lebih lama.
Baik, kita memang sudah pernah mengalami krisis di tahun 1997/1998 yang kemudian dunia memuja-muji sektor riil sebagai penyelamat. Tapi kali ini berbeda. Semoga saja tidak sampai jatuh pada kondisi resesi hingga depresi. Kali ini mereka yang berada di sektor formal dengan jaminan gaji bulanan yang better-off. Paling tidak ini mengajari kita pentingnya saving dan investasi. Menyediakan dana mitigasi. Insurance. Pentingnya kelembagaan untuk meminimalisir uncertainty

Saya belajar dari bapak, dalam berbisnis beliau kadang bukan hanya sekedar bicara tentang strategi bisnis atau persaingan, tetapi bagaimana juga agar bisnis bisa menolong saudara-saudara yang membutuhkan. Kami berkaca dari pengalaman krisis 1997/1998 saat PHK besar-besaran mulai terjadi, satu per satu kerabat pulang ke kampung tanpa pesangon. Kasus kriminal merebak di mana-mana. Sampai masih ingat waktu warung kami hampir setiap malam didatangi preman yang menghabiskan uang dagangan. Saya dan kakak hanya bersembunyi di kamar mendengar bagaimana bapak dan ibu menghadapi mereka. Dan kali ini pun, dari cerita pedagang sayur, beberapa dari mereka sudah mengalami kasus kemalingan. 

Jika melihat bisa sampai sejauh ini, bersyukur. Kami masih bertahan. Hanya saja kali ini saya harus ikut andil dalam pengambilan keputusan. 
Untuk urusan bisnis, barangkali saya bukan orang yang berjiwa kompetitif untuk berkecimpung di sana. Ibarat ketiban sampur, mau tidak mau tetap harus dilanjutkan. 
Sebenarnya, dalam dunia nyata (non-akademis), saya bersyukur ketika ibu bercerita tentang karyawan-karyawan baru yang bergabung dengan segala background mereka. Dan akhir-akhir ini saya cukup trenyuh dengan beberapa kasus korban perceraian di usia muda. Immature marriage. Menjadi janda di usia muda bukanlah hal yang mudah. Someday I hope I could stand up for them. Bahkan ada yang memang menjadi korban KDRT. Ini yang sebenarnya ingin saya angkat dalam penelitian ber-isu tentang gender. Yes, I should stand up for them. Being a marginal group of society is not always fine.
Ya Allah, jika boleh, saya ingin tetap bisa melakukan keduanya. Tetap menjalankan usaha di sektor riil, di sisi yang lain saya juga ingin berkontribusi di bidang keilmuan. Allah, let me do it...
Saya sangat merasa berarti ketika menulis skripsi saya dulu hingga bisa mencicipi belajar langsung di dapur pembuat kebijakan negara. Saya sangat merasa berarti ketika ternyata hasil skripsi saya masih dipakai sampai sekarang sebagai dasar mengapa menjaga harga beras di tingkat petani maupun di tingkat konsumen itu penting. 
Yes, I want to do both. Semangat!  

Sabtu, 04 April 2020

Unfinished Agenda

Entah sudah hari keberapakah ini berada di dalam rumah dan sedikit interaksi dengan orang lain karena pandemik COVID-19 dari bulan kemarin. Menghabiskan seharian penuh berada di meja kerja dan di depan laptop dengan ekspektasi bisa menyelesaikan satu research idea, literature reviews, presentasi, dan mengerjakan hal-hal basic lainnya, juga pekerjaan lainnya. Hari berganti hari, rasanya masih stuck di situ-situ saja dan belum ada satu pun yang terselesaikan dengan baik. Pernah merasa stress karena unfinished business? Merasa kesulitan untuk menyelesaikan satu tugas dengan cepat dan segera beranjak ke tugas lainnya?
Iya, menulis blog ini pun juga adalah satu distraksi yang saya sengajakan. Berharap paling tidak bisa sedikit release dengan ditulis. Semoga sih ya. Dibandingkan dengan bicara langsung, agaknya kemampuan mengutarakan ide dengan tulisan lebih mudah dilakukan bagi saya. Saya ingin bisa seperti dulu lagi, produktif dalam berkarya. Dan kali ini saya demand karya yang jauh lebih impactful. Dasar memang manusia memang tidak pernah puas dengan satu kondisi. Agaknya ini adalah semacam "balas dendam" saya dari "tiga tahun" itu. Ah, lagi-lagi masih belum bisa memaafkan diri sendiri dari masa lalu. Ada di posisi yang membuat kita merasa tidak berguna ternyata sangat tidak nyaman bukan? Seketika pencapaian-pencapaian di masa lalu tidak berarti apa-apa. 
Kembali ke masalah unfinished job
Ini sebenarnya adalah seni move-on. Stuck in the past. Memang benar bahwa manusia memang perlu belajar untuk hidup di sini-kini. Fokus dengan apa yang sedang dikerjakan untuk kemudian beritme ke pekerjaan lain yang dikerjakan saat itu juga. 
Apa yang membuat kita sulit untuk fokus? Distraksi. Bisa jadi distraksi dari masa lalu maupun kekhawatiran akan masa depan. Seringkali kan ya, kita membuat to-do-list terlalu panjang sampai pada saatnya memulai satu pekerjaan kita sudah kepikiran pada pekerjaan berikutnya yang harus diselesaikan alih-alih fokus pada apa yang sedang dikerjakan. 
Benar sih kata Mas Adjie di sesi #heningserentak di live IG beberapa waktu lalu. Bahwa kita perlu lebih belajar untuk mengurangi. Bukan menambah, tapi mengurangi apa yang perlu diurus. 
Benar juga sih. Jadi ingat saat muda dulu selalu diprotes oleh orang rumah karena terlalu sibuk di luar dengan kegiatan organisasi yang tidak hanya satu, tapi banyak. 
Kita perlu belajar memilih prioritas mana saja yang perlu kita urus dan mana saja yang perlu diletakkan.
Mari kita perbaiki. Satu per satu.
Tolong suatu saat kamu bisa dengan percaya diri "claim your space" dan siap menerima tantangan berikutnya. Yes, I do.