Senin, 28 Desember 2020

Ketiban Sampur

Ini adalah istilah Jawa yang menggambarkan orang yang terlanjur mendapat kalungan selendang dari sang penari mau tidak mau dia harus ikut menari. Yap, kurang akhir tahun kemarin diskusi tentang ini dengan seorang dosen dan beberapa kolega dalam lingkaran kami. Lagi-lagi tentang family business. Pernah saya tulis juga di blog beberapa waktu lalu. 

Menjadi keturunan dari orang orangtua yang memiliki bisnis biasanya dianggap sebagai sebuah good fortune karena memiliki privilege lebih dari yang lainnya ketika bisnis keluarganya berhasil. Sebagai anak dari pemilik bisnis, biasanya akan diwarisi untuk meneruskan bisnis tersebut apalagi jika sudah memiliki nama besar. Jangan salah juga, kontribusi bisnis keluarga dalam perekonomian ternyata cukup besar. Kita bisa lihat Astra, Gudang Garam, dll. Meskipun sudah melantai di bursa, kepemilikan saham terbesar tetap dipegang oleh keluarga besar. Tidak sedikit pula pemilik bisnis juga berlaku sebagai pemangku manajemen. Jika bicara pada tataran bisnis besar, tentu itu adalah good fortune, meskipun tidak dipungkiri juga usaha pribadi tetap berperan di sana.

Bagaimana dengan bisnis keluarga yang berada dalam ranah UMKM? 

Jika boleh berpendapat, tidak semua keturunan bisnis keluarga mendapatkan good fortune bagi dirinya. Bisnis keluarga bisa menjadi bisnis yang berkembang jika dikelola secara profesional. Mereka bisa melibatkan tenaga berkompeten untuk menjalankan bisnis mereka. Bisa pula mereka terjebak dalam lingkaran manajemen yang tidak profesional karena campur aduk kepentingan keluarga dan kepentingan bisnis secara profesional.

Studi Delloite Private menunjukkan hanya 13% dari total bisnis keluarga di Indonesia yang bisa bertahan hingga generasi ketiga. Biasanya generasi pertama yang membangun hingga berada di atas. Generasi kedua mengembangkan, dan generasi ketiga akan terjadi penurunan. Wow, this too scary. And there's no such thing as too big too fail. Let's see Nyonya Meneer.

Kembali ke fortune. Bagaimana jika orang yang terlanjur mendapat selendang penari itu sebenarnya tidak ingin ikut menari dan terpaksa menari?

Yes, sebagai orang yang "ketiban sampur" itu, barangkali saya merasa bersyukur di satu sisi karena usaha keluarga saya bisa menghidupi saya sejauh ini. Di lain sisi saya tidak ingin ikut menari tapi terpaksa menari. Ada beban tersendiri memang ketika kita ingin mengembangkan bisnis keluarga hingga bisa outopilot dan lebih profesional, tetapi terkendala pada sistem lama yang sulit dirubah. Curcol ini, kadang merindukan juga suasana keluarga yang tidak membahas bisnis dan pekerjaan. It feels like there is no home. Apalagi ketika tidak bisa dibedakan kapan berkumpul melepas penat bersama keluarga dan kapan berbincang tentang bisnis.

Seperti di film-film itu ya ternyata. Ah, kalau pernah nonton Crash Landing On You, teringat pada sosok Yoon Se Ri yang berasal dari keluarga pemilik bisnis. Konflik terjadi ketika ada kompetisi dari anak-anak pemilik bisnis tersebut. Kemudian salah satu akan memilih keluar dan membangun karirnya sendiri seperti Yoon Se Ri. Ahahaha. Kebanyakan drama. 

Sempat kepikiran sebenarnya untuk membuat komunitas untuk para successor bisnis keluarga. Barangkali suatu saat kita bisa saling bertukar pikiran dan berbagi keluh kesah antar successor yang harus membawa nama besar keluarga mereka sepanjang hidup mereka. Wondering aja sih how they deal with personal expectation dan tuntutan keluarga. 

It's not about how you get settled in your life. More than that, it's about how you create a good and greater impact. To have a meaningful life. To live meaningfully. 

For the sake of my lifetime goal: Ph.D. 

Selasa, 01 Desember 2020

Menjadi Awan

 Pernah nonton NKCTI kan ya...banyak banget yang relate tentang ini. Keren lah mas Angga Sasongko sang sutradara yang berhasil mengemas film dengan apik. Setiap kita mungkin akan relate dengan setiap tokohnya, entah itu dari sisi anak sulung, bungsu, tengah, ortu, ataupun...Kale. Hehehe.

Kali ini saya mengambil perspektif Awan, si bungsu. Ya karena saya relate-nya sama dia. Sama-sama bungsu. Saya ketrigger chat saya dengan kakak semalam dan obrolan saya dengan seorang teman yang seorang anak sulung ketika kami membahas film ini beberapa waktu lalu. Pertanyaan yang sering muncul adalah kenapa sih kakak adik sulit akrab? Beruntunglah mereka yang bisa akrab dan seperti sahabat sendiri antara kakak dan adik. Ini juga terjadi pada beberapa teman saya yang lain yang pernah bercerita pada saya. Dan percaya tidak percaya, mostly yang bercerita pada saya adalah seorang kakak. Aneh nggak sih ketika kita bisa lebih akrab dengan kakak dari orang lain dan bukan kakak sendiri? Atau sebaliknya. Hahaha

Gimana ya...hubungan ini tuh rumit memang. Kebanyakan anak sulung yang bercerita pada saya biasanya mereka mengeluhkan prioritas perhatian orangtua lebih banyak pada anak bungsu. Anak sulung sering merasa dinomorduakan. Atau orangtua lebih menurut pada anak bungsu daripada anak sulung. Sementara si bungsu seringkali terlihat tidak peduli dan egois. Dia hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa memikirkan orang lain. Saya sebagai anak bungsu tidak menafikan perasaan yang hadir dan terbentuk itu sejak kecil dari seorang anak sulung. Perasaan mereka valid. Mereka wajar merasa seperti itu. Tuntutan menjadi seorang kakak itu besar. Dari awal mereka dididik untuk melindungi adiknya. Dan ketika tuntutan itu semakin besar, mereka biasanya cenderung untuk menganggap adiknya sebagai beban karena harus bertanggungjawab. Sementara si bungsu? Dia tidak terbiasa diberi tanggung jawab sejak kecil. Paling mentok ya bertanggung jawab atas diri sendiri. Ya memang tidak semua sih...

Sebenarnya tidak perlu saling menyalahkan juga sih...ya sudah terjadi dan baru disadari telah terbentuk di kehidupan dewasa. 

Lalu bagaimana perspektif Awan, seorang bungsu? Tahukah kalian wahai para sulung...hehe. Sebenarnya kami tuh juga merasakan hal yang sama lho... Bedanya, kami merasa dari kecil dianggap tidak berdaya. Pernahkah kalian menolak kami untuk ikut main dengan kalian karena dianggap merepotkan? Ya memang kami tumbuh dengan rese dan merepotkan kalian. Hahaha

Nah, dari sini seorang bungsu sebenarnya secara naluri ingin melakukan pembuktian bahwa mereka bisa melakukan segala sesuatu sendiri dan mencari validasi akan kemampuan mereka di luar. Dan ketika mereka lebih bisa diterima dan diapresiasi di luar, makanya mereka lebih nyaman di luar. 

Jadi tuh mereka sebenarnya merasa tidak mampu memenuhi ekspektasi keluarga atas diri mereka. Makanya mereka mencari apa yang mereka bisa lakukan yang membuat mereka merasa berarti. Hidup bermakna itu ternyata kebutuhan juga. 

Tapi itu tadi...semua kembali ke personal masing-masing. Ada tipe yang memang sudah "mutung" dan akhirnya menjadi adik yang benar-benar egois karena sudah terbentuk di mindset mereka bahwa mereka tidak bisa dan tidak mau lagi berkontribusi ke keluarga seperti yang dibayangkan keluarga pada umumnya. Ada yang tipis-tipis menyadari dan berusaha.

Kami tuh ingin belajar bertanggung jawab atas diri sendiri karena selama ini merasa menjadi beban keluarga. Makanya kami egois tidak mau direpotkan juga karena tidak mau lagi merepotkan.

Setiap perspektif sulung dan bungsu tidak salah. Perasaan mereka valid. Hanya untuk memulai hal yang baru memang akan banyak kecanggungan untuk sesuatu yang sudah embodied, sudah membentuk kepribadian sejak kecil hingga dewasa. 

Kata Kale, "Sabar, satu per satu."

Pada akhirnya tempat pulang ya tetap keluarga kok. Bagaimanapun bentukan kepribadian setiap personal dari masing-masing anggota keluarga ya itulah mereka dengan segala dinamikanya. Menjadi orang yang menuntut atau dituntut sama-sama tidak mudah dan melelahkan. Dinikmati saja. Yang penting kita sama-sama saling menyadari bahwa setiap kita bertumbuh dengan pace masing-masing. Semua sedang berusaha menjadi lebih baik dari versinya. 

Untuk yang berjalan lambat, nggak papa, yang penting tetap berprogres. Mau itu orang lain noticed atau tidak. You still grow.

Untuk yang merasa lelah atas orang lain, nggap papa, merasa kesal itu wajar. Jangan lupa sayangi diri sendiri juga. 

Sebenarnya bahasa sayang itu sederhana, tapi seringkali kita tidak tahu bagaimana membahasakannya. 

Apapun bahasanya, perasaannya tetap sama. Sayang.