Sabtu, 31 Maret 2012

Tentang Kenaikan Harga BBM

Hari ini setelah kabar Sidang Paripurna DPR sampai di telinga, saya mendapat pesan dari salah seorang adik angkatan, “mbak, gimana tanggapanmu BBM gak jadi naik?” Saya tahu dia bertanya seperti itu karena saya selama ini dipandang sebagai “orang yang pasar minded”. Maksudnya mungkin penganut paham laizes faire yang berpikir segala sesuatu serahkan saja pada mekanisme pasar. Saya hanya tersenyum dalam hati membaca pesan itu.
Saya bukanlah pakar ekonomi ataupun mahasiswa yang tahu benar tentang isu kenaikan BBM ini. Tapi melihat situasi yang ada, rasanya tidak bisa dibenarkan juga jika seorang mahasiswa ekonomi tidak berbuat apa-apa soal isu ini. Saya jika ditanya memihak siapa, maka tentu saya akan menjawab bahwa saya berpihak para rakyat. Tapi bukan berarti saya tidak setuju jika harga BBM dinaikkan. Bukannya saya tidak sepakat dengan teman-teman yang melakukan demonstrasi untuk membela rakyat. Saya justru salut dengan mereka yang mati-matian melakukan diskusi dan mau panas-panas turun ke jalan untuk menunjukkan pembelaan mereka. Tapi saya punya sikap yang lain.
Saya memang tidak ahli dalam menganalisis ekonomi. Tapi ini pendapat saya yang masih terlalu kolot ini. Inilah alasan kolot saya tidak menolak kenaikan BBM.
Pertama, seperti yang dijelaskan oleh Pak Anggito dan para ahli ekonomi yang sempat melakukan kajian mengenai subsidi BBM bahwa Indonesia pada kenyataannya kini adalah net importer , artinya kita lebih banyak melakukan impor daripada ekspor. Which is, mau tidak mau pendapatan ekspor migas kita yang digunakan untuk subsidi BBM dalam negeri akan semakin menyusut dengan kenaikan harga minyak dunia. Sehingga beban subsidi makin lama makin berat sehingga anggaran untuk subsidi sektor lain pun berpeluang akan dikorbankan. Padahal subsidi infrastruktur, subsidi pupuk untuk petani, subsidi untuk orang-orang miskin tentu lebih produktif dan lebih berpeluang untuk memboosting perekonomian Indonesia. Berbeda dengan subsidi BBM, dengan menyubsidi BBM artinya negara mensubsidi konsumsi. Dan itu tidak pandang bulu apakah mereka kaya atau miskin, dan berdasarkan data statistik dari Kemenkeu didapatkan bahwa sebagian besar yang mengkonsumsi BBM adalah mereka yang memiliki mobil dan motor. Dan hanya 20% saja yang merupakan kendaraan umum (ini yang perlu disubsidi). Jika tidak dikurangi, sampai kapan pertumbuuhan ekonomi Indonesia berkualitas bukan lagi consumption driven growth?
Kedua, menanggapi kekhawatiran daya beli masyarakat akan turun karena harga-harga naik. Masyarakat miskin tentu tidak bisa berbuat apa-apa dalam kondisi ini. Menurut saya, gejolak kenaikan harga-harga secara umum itu hanya akan bertahan sementara paling lama 3 bulanan. Kemudian harga-harga akan kembali stabil. Yang perlu dilakukan oleh para negarawan adalah bagaimana mengamankan masyarakat miskin dari gejolak kenaikan harga tersebut? Intinya mengamankan daya belinya. Setelah gejolak berakhir, bukan lantas langkah itu juga berakhir, tapi bagaimana bantuan yang semula untuk mengamankan daya beli itu, kini ditujukan untuk keperluan produktif, sehingga perlu yang namanya pendampingan di sini. Selama ini kita milih enaknya saja, kasih dan urusan selesai tanpa kita tahu merek gunakan untuk apa bantuan itu. Ya masyarakat miskin kalau diberi uang banyak tiba-tiba tentu mereka akan berpikir konsumsi daripada investasi, karena selama ini mereka bekerja untuk keperluan konsumsinya.
Toh, memang pada akhirnya BBM tidak jadi dinaikkan pada tanggal 1 April ini. Itu mungkin karena wakil rakyat kita masih berusaha mendengar suara hati rakyat. Mereka berusaha untuk berpihak pada rakyat. Tapi saya justru berpikir seakan mereka takut pada rakyat. Sisi positifnya adalah bahwa rakyat masih memiliki kekuasaan. Tapi kita juga perlu mengedukasi masyarakat tentang kenyataan yang dihadapi oleh Negara ini. Bahwa kita adalah net consumer sekarang. Kita sudah over-demanded terhadap BBM sedangkat kita menuntut harga tetap rendah. Dalam ilmu ekonomi yang saya pelajari saat ini, tuntutan itu seakan tidak realistis dan seperti tidak lazim terjadi di dalam pasar. Oke, silakan sebut saya kapitalis. Terserah, memang ini yang saya pelajari dari ilmu ekonomi. Bahwa economics is a cold blooded. Ini kenyataan positivism. Jika ingin normative, ya maunya harga tetap rendah sementara demand kita tinggi. Inginnya rakyat kita sejahtera, tidak lagi terpuruk dalam kemiskinan yang membuat mereka semakin menderita. Saya tentu juga punya rasa itu. Tapi jangan lari juga dari kenyataan. Sampai kapan kita menyubsidi konsumsi orang-orang kaya? Sampai kapan rakyat kita dibutakan dari kenyataan pasar?
Jika kita ingin membuat negeri impian kita sendiri dengan mekanisme harga yang kita tentukan sendiri, maka kuasailah pasar itu! Kenyataannya sekarang kita tidak kuasai pasar dunia dengan minyak kita. Kita seharusnya punya sawit, tapi kita masih tidak bisa kendalikan harga CPO dunia. Apa yang salah dengan Indonesia?
Ketiga, memang seharusnya pemerintah tidak lagi melakukan penetapan harga dan membiarkan harga bergerak dengan sendirinya di pasar. Yang pemerintah lakukan adalah melakukan stabilisasi harga tersebut, sehingga ketika terjadi lonjakan besar, masyarakat tidak terlalu bergejolak. Intinya, dengan harga bergerak sendiri, pemerintah tidak perlu melakukan pengumuman akan naik ataupun akan turun tuh harga. Pasar akan terus bergulir saja. Dengan demikian, gejolak multiplier akibat pengumuman tidak akan terjadi. Yah, begitulah, kadang saya juga merasa pasar itu kejam. Ia hanya memihak mereka yang memiliki daya beli. Mereka yang tidak punya daya beli akan ter-crowd out dari pasar. Itulah fungsinya charity. Orang yang kelebihan WTP akan meng-cut pendapatannya untuk menaikkan daya beli masyarakat miskin. So, what to subsidize is the people (production side), not subsidize the market by price, because market will run as it does and it will create the dead-weight-loss.
Jadi ingat sebuah hadist yang mengisahkan tentang pengaduan seorang sahabat kepada rasulullah ketika harga-harga bahan pokok melonjak akibat peceklik dan dia meminta rasulullah untuk menetapkan harga. Maka rasulullah pun menjawabnya dengan “bagaimana aku bisa mempertanggungjawabkan kezalimanku di akhirat kelak dengan menetapkan harga? Paceklik itu terjadi atas kehendak Allah.” Intinya, kita bisa ambil pelajaran dari hadist tersebut bahwa kenaikan harga minyak dunia karena sentiment pasar dunia akan isu-isu tertentu itu sunatullah. Tapi penimbunan itu manusia yang melakukan kezaliman itu sendiri.
Keempat, kita mau nih menurunkan emisi karbon dunia. Target Negara kita tahun 2030 penurunan sekitar 57%. Tapi bagaimana bisa dicapai jika kita masih subsidi bahan bakar kendaraan yang menyumbang masalah kemacetan dan polusi di Negara ini? Baik, memang BBM tidak hanya berkaitan dengan emisi karbon saja, tapi terkait dengan kebutuhan pokok masyarakat. Lantas apa yang bisa dilakukan pemerintah? Untuk menjawab ini, saya sudah jelaskan di atas.
Saya tidak tahu keputusan yang dibuat oleh partai-partai itu karena murni membertimbangkan kepentingan rakyat dengan disandingkan teori ilmiah atau hanya sekedar sok berpihak pada rakyat dan takut kehilangan simpati. Saya tidak tahu apakah para tokoh politik yang semula ikut melakukan kajian-kajian tentang kenaikan harga BBM mengapa pada akhirnya tidak bersuara apakah itu karena mereka tidak berdaya dan merasa iba dengan rakyat yang semakin sulit ataukah hanya karena takut image mereka turun. Tapi saya yakin, kawan-kawan mahasiswa yang turun ke jalan itu, meskipun tidak semuanya, mereka murni memihak masyarakat. Saya hanya berharap mereka semua bertindak karena murni memihak kepada masyarakat dan semoga keputusan itu adalah keputusan terbaik. Penimbunan berakhir, harga cabai segera kembali turun 100% kembali.
Ah, lagi-lagi saya merasa bahwa masyarakat memang tidak berdaya dengan apa yang terjadi di pasar dunia ini. Bahwa dunia ini ternyata hanya dimainkan oleh beberapa orang saja yang berkuasa tanpa kita bisa melawan. Jika mau melawan pun rasanya terlalu naïf karena kita tidak punya bukti yang cukup logis. Tapi jika suatu saat kita bisa membuat arus sendiri, maka kita pun bisa pengaruhi mekanisme pasar dunia.
Wallahu’alam.

backsound: "Galang Rambu Anarki" - Iwan Fals

sumber gambar:
http://isuenergi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1168:asumsi-target-produksi-minyak-2012-disetujui-dpr&catid=38:minyak&Itemid=231