Rabu, 01 Februari 2012

Bali yang Terpotong (sebuah awalan)


Sore itu, sore yang sangat cerah menyambut saya di tanah Kaulan. Kaulan merupakan nama lain dari Pulau Belitung yang dahulunya merupakan sebuah kerajaan. Kerajaan ini bernama Kerajaan Balok yang merupakan afilisasi dari Kerajaan Mataram Kuno.
Asal nama Belitung konon diambil dari Pulau Bali yang terpotong. Menurut cerita rakyat, dahulu pada saat daratan Indo-Asia dan Indo-Australia masih menyatu, Pulau Bali dengan Pulau Belitung masih menjadi satu daratan. Karena pergeseran lempeng bumi, lambat laun pulau yang bersatu tersebut terpecah dan saling menjauhi. Yang pada akhirnya potongan itu sampai pada posisi di mana Pulau Belitung sekarang berada.
Sebelum pengaruh Islam masuk ke Belitung, dulunya penduduk Pulau Belitung merupakan masyarakat Hindu dengan Kerajaan Balok yang masih menganut ajaran Hindu, baru kemudian setelah masa pemerintahan Datuk Mayang Gresik atau lebih akrab dipanggil dengan Ki Ronggo Udo, kerajaan tersebut menjadi kerajaan Islam.
Sebelumnya memang banyak ditemui peninggalan-peninggalan kebudayaan yang mirip dengan kebudayaan Bali yang mengindikasikan bahwa dahulunya masyarakat Belitung memang masyarakat Hindu. Baru kemudian setelah pengaruh Islam masuk ke pulau tersebut, kebudayaan Hindu berangsur punah hingga saat ini masyarakat Belitung lebih dikenal dengan masyarakat Melayu Islam.
Mungkin karena alasan sejarah inilah di PulaU Belitung dibentuk desa yang kental dengan budaya masyarakat Bali. Desa ini merupakan desa yang dibentuk dari proses transmigrasi bedol di desa dari Bali ke Belitung sehingga desa ini disebut dengan Desa Balitong atau masyarakat setempat kadang menyebutnya dengan Trans-Bali. Desa itu kini masih kental dengan nuansa Balinya. Begitu kita masuk, kita akan merasakan seperti berada di Pulau Dewata. Bangunan-bangunan pura, sesajen, dan lain-lain yang mencirikan masyarakat Bali yang khas. Tradisi-tradisi mereka pun masih tetap terjaga, seperti Kuningan, dan tradisi khas Bali lainnya. Tak heran jika desa ini oleh pemerintah kabupaten dijadikan sebagai salah satu desa wisata yang menjadi daya tarik pariwisata di Pulau Belitung.
Ya, sore itu saya akhirnya bisa menginjakkan kaki lagi di pulau cantik ini setelah kurang lebih 45 menit perjalanan dengan Batavia airlines dari Bandara Soekarno-Hatta didampingi dengan seorang bapak-bapak yang menjadi teman cerita saya sepanjang perjalanan. Ia adalah orang asli Belitung yang "menginterogasi" saya seputar buku yang sedang saya baca di perjalanan dan tujuan perjalanan saya ke Belitung. Novel Yin Galema karya Ian Sanchin menjadi teman perjalanan saya mengenal bumi Belitung ini. Novel inilah yang kemudian menginspirasi saya untuk bisa menulis novel sejarah yang sedang saya riset dan belum saya mulai. (-_-')
Pukul 16.15 Bandara  HAS Hanandjoeddin telah ramai dengan para penunggu koper dan barang kiriman. Mereka berebut tempat untuk segera mendapatkan barang kiriman. Bapak-bapak dengan tampang sangar dan berseragam segera membelakangi saya yang dengan kalemnya menatap pemandangan serba ruwet tersebut. Ah, biarlah...saya nunggu belakangan aja daripada berebut (orang Jogja banget). Saya sendiri masih was-was karena sampai sekarang belum ada kabar apa-apa dari teman-teman yang menjemput di bandara.
Setelah menunggu cukup lama akhirnya saya dapatkan koper saya! fyuh...
Di seberang kaca sudah ada bapak-bapak berseragam travel agent yang memegang papan dengan nama "Ms Wulandari". Apa? Nama saya bukan Wulandari. Itu nama teman saya yang datang juga hari ini dari Jakarta tapi sudah duluan. Apa Bapak ini salah? Saya segera mendatangi bapak itu.
"Pak, saya Wulan, tapi bukan Wulandari. Sama-sama mahasiswa KKN."
"Oh, mobilnya ada di sebelah sana mbak, mari kopernya saya bawakan."
Mobil kijang itupun akhirnya membawa kami meninggalkan bandara. Di sepanjang perjalanan bapak itu bercerita tentang Belitung dan sedikit mengajarkan saya beberapa kosakata bahasa daerah. Kebetulan waktu itu kami melewati jalan shortcut dari bandara menuju Kecamatan Sijuk yang dibuat oleh Tommy Soeharto yang juga memiliki salah satu penginapan mewah di Kecamatan Sijuk. Di sepanjang jalan tersebut saya menyaksikan berhektar-hektar perkebunan kelapa sawit milik PT..... Kondisi jalannya pun sudah rusak parah dan bergelombang karena setiap hari dilalui oleh truk-truk yang mengangkut hasil panen. Tidak jarang pula di tengah dan tepi badan jalan kami menjumpai biawak yang telah mati karena terlindas kendaraan. Lebih tepatnya saat itu kami seperti sedang offroad di sebuah sungai kering yang lebar. :P
Sampai di Desa Sungai Padang teman-teman sudah menunggu di depan pondokan. Inilah seutas senyum sambutan kali pertama kami di desa ini untuk kemudian selama dua bulan kami mengabdi. Masa-masa yang di kemudian hari akan sangat kami rindukan. Dan perjalanan pengabdian itupun dimulai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar