Selasa, 19 November 2013

Living Under Uncertainty

“As far as the laws of mathematics refer to reality, they are not certain; and as far as they are certain, they do not refer to reality.” ― Albert Einstein
The truth is that every single one of us lives in uncertainty. No one knows what’s going to happen next. We just occasionally like to pretend we do because it allows us to feel safe. (source)

Allah knows, Allah knows...
The one of certainty is death.

Why I post these quotes? Because currently I'm living in the uncertainty about conditions where I need to decide. Decide about something. We are uncertain about what will happen tomorrow. But Allah knows...and Allah will always guide us. Why we often careless, avoid Allah's guidance? It is so irrational, isn't it? How could we're being so stupid like that?

Ingin, Butuh, atau Pantas?

Mohon maaf untuk teman-teman yang sudah lama menanti share kajian Ustadz Syatori tentang tema ini ke dalam tulisan. Baru bisa menuliskan sekarang. ^^V Maaf juga ya, kalau terlalu panjang dan mungkin rangkaiannya masih keputus-putus. Semoga bisa nangkep intinya.
Intinya adalah apa yang menjadi dasar kita menikah? Apakah itu ingin, butuh, atau karena kita memang sudah pantas? Mari kita bahas di sini.
Pertama, menikah karena ingin. Ini adalah menikahnya orang yang susah dalam kesendirian. Ia membayangkan jika berdua ada kesenangan, kegembiraan, dan keceriaan. Maka yang ia kejar dari pernikahan adalah kesenangannya. Sejatinya kawan, menikah karena ingin itu seperti merokok. Merokok kelihatannya nikmat, padahal nyatanya tidaklah demikian. Merokok (menghisap asap) itu pahit dan merusak kesehatan bukan? Toh, kalau sudah habis kita akan membuangnya. Maka tidak ada lagi kenikmatan merokok yang ada di awal. Jadi, menikah dengan bermodal keinginan itu seperti menyulut bom waktu. Suatu saat ia akan menemui ketidakpuasan-ketidakpuasan di dalam pernikahannya.
Kedua, menikah karena butuh. Ini adalah menikahnya orang yang merasa harus menjaga diri. Biasanya ini dimiliki oleh orang yang merasa sudah punya kemampuan secara lahir dan takut terjerumus dalam dosa. Alasan ini terlihat rasional. Seharusnya menikah bisa jadi solusi untuknya, tapi karena kemampuan al ba’ah yang lebih, maka bisa tetap terjadi perselingkuhan. Al ba’ah dia adalah kaya financial tapi miskin secara spiritual, sehingga di kemudian hari muncullah ketidakpantasan-ketidakpantasan dalam dirinya.
Ketiga, menikah karena pantas. Ini adalah menikahnya orang yang sangat kaya spiritual, meski bisa jadi belum terlalu kaya secara material. Al ba’ah menurut Rasulullah sendiri tidak sekedar material, tapi juga spiritual.
Yang manakah kita? Mari kita telusuri lehih jauh lagi manusia seperti apakah diri kita sebenarnya saat ini?
Apakah kita manusia nafsu?
Apakah kita manusia akal?
Atau apakah kita manusia hati?
Siapakah mereka ini?
Nah, mereka yang menikah karena ingin inilah manusia nafsu itu. Ia adalah manusia yang tidak ingin dan memang tidak tertarik pada kebaikan karena sejatinya ia telah kehilangan jati dirinya sebagai manusia. Misal, tertarik karena kecantikan saja, bukan sebagai manusia. Sedangkan mereka yang menikah karena butuh adalah manusia akal. Ia adalah manusia yang menginginkan kebaikan tapi dirinya sendiri belum ada ketertarikan pada kebaikan. Karena menikah tidak hanya tergantung pada kekuatan akal. Hum…agak susah sih menjelaskannya. Kita ambil contoh mengenai konsep sabar. Jika ditanya, “Apakah kamu mau bersabar?” Ia menjawab, “Ya, saya mau.” Tapi kemudian ditanya lagi, “Apakah sabar itu enak?” Kemudian ia menjawab, “Sabar itu tidak enak.” Nah, ini adalah pernyataan orang yang tidak tertarik pada kesabaran, meskipun ia ingin. Seringkali orang logis (akal) itu menjadi sangat tidak logis. Ia menginginkan sabar, tapi ia menganggap bahwa sabar itu tidak enak. Nah, dengan anggapan seperti itu ia berarti telah membantah keinginannya. Tidak logis bukan, orang menginginkan sesuatu yang tidak mengenakkan? Ia menginginkan sabar yang menurut dia nggak menyenangkan gitu lho…seperti halnya menginginkan makanan yang tidak enak. Nah loh… Menurut akal yang lurus, seharusnya ia menganggap sabar itu enak. Tapi apakah sabar itu gampang?
O.O Humm….masih bingung?
Mari kita coba contoh kedua, tentang konsep “ikhlas”.
Apakah ikhlas itu baik? à mayoritas menjawab “ya”.
Inginkah kita menjadi orang yang ikhlas? à for sure, yes.
Misal contoh kasus gini, barang kita dipinjam orang dan ia kembali dalam keadaan rusak. Ikhlaskah kita menerimanya? Sebagian dari kita mungkin masih nggak rela. Kita ingin ikhlas, tapi saat itu ada kesempatan kita masih menggerutu. Logiskah kita pada keinginan kita untuk ikhlas?
Atau misal saat kita lagi kedatangan tamu yang nggak penting di saat kita lagi ada urusan yang sangat penting. Ikhlas nggak menerima dan menjamunya? Hehe…
Sekarang dibalik. Misal kita lagi laper banget, terus tiba-tiba ada orang ngasih makanan gratis, enak pula. Apakah kita logis jika kita malah menggerutu karenanya?
Nah…saya sendiri pas ustadz menyampaikan sampai di sini saya speechless…#makjlebjleb
Allah Maha Tahu kalau kita itu ingin bisa ikhlas, dan Allah ingin membantu kita dengan menghadirkan kejadian-kejadian itu tadi. Tapi seringkali kita menolak bantuan-Nya.
Ikhlas itu kaitannya dengan pengertian akan sebuah kejadian. Misal, pas beli buah, kita dapatnya malah kepasan yang udah kecut atau jelek. Orang yang ikhlas akan menjawab, “Alhamdulillah, untung jeruk kecut ini ada di saya, bukan orang lain.” Karena ia merasa bahwa dengan ia mendapatkan jeruk kecut itu ia telah menyelamatkan orang lain dari mendapatkan jeruk yang kecut, dengan orang lain itu tidak tahu kalau sedang dibantu.
Ketika kita mendapatkan kesenangan tapi dengan senang itu tidak ada keuntungannya untuk orang lain, maka kita telah berbuat zalim terhadap kesenangan kita itu. Bukankah orang yang ikhlas itu bahagia dengan kebahagiaan orang lain?
Hummm…oke, sekarang gini. Kita kepengin pahala yang besar nggak? Terus, manakah yang lebih besar pahalanya: senyum pada orang yang senyum, atau senyum pada orang yang manyun? Hehe…
Nah, kita tidak ingin masuk neraka bukan? Neraka itu tempat untuk orang yang berbuat dosa dan maksiat. Nah, apakah dosa dan maksiat itu sendiri sudah menjadi sesuatu yang sangat tidak menarik bagi kita? Atau justru kita masih menikmati dosa dan maksiat? Astaghfirullah…:’(
Oke, kita kembali ke masalah pernikahan.
Ijab Kabul itu sendiri adalah janji untuk menjadikan suami/istri menjadi satu-satunya laki-laki/wanita yang paling menarik untuk dirinya. Sedangkan manusia akal itu sendiri adalah ia yang tidak tertarik pada yang diinginkan, tapi tertarik pada yang tidak diinginkan. Karena itu manusia akal adalah manusia yang tengah berada pada kondisi yang tidak ideal atau sakit. Orang sakit meskipun lapar ia tidak enak makan bukan? Maka seringkali karena ketertarikannya melenceng dari janjinya, banyak manusia akal kemudian melanggar janji ijab kabul mereka.
Selanjutnya, mari kita lihat siapakah manusia hati itu?
Manusia hati adalah mereka yang menginginkan kebaikan dan memang tertarik pada kebaikan itu. Inilah manusia yang sudah pantas untuk menikah. Manusia yang perjalanan hidupnya telah sampai ke hati, karena sejatinya perjalanan hidup adalah perjalanan kita ke dalam, yaitu hati.
Kalaupun kita seringkali masih merasa pedih ketika bersedekah atau berbuat kebaikan untuk orang lain tapi yang kita dapat justru keburukan dari orang yang dibantu itu. Pedih di hati yang dirasakan itu adalah disebabkan oleh dosa-dosa kita. Dan saat itulah, selama kita tidak mengucapkan kepedihan itu/tetap memendam saja kepedihan itu di dalam hati, itulah indikasi Allah sedang menghapus dosa-dosa kita. . Kebaikan itu sendiri merupakan hal yang tidak berhenti pada satu kejadian saja, tapi ia punya sifat yang mengalir.
Perihnya menahan, tidak mengungkapkannya pada orang lain dan diterima saja kekecewaan itu, kemudian Allah akan menggantinya dengan kelapangan hati.
Sabar itu sendiri merupakan akibat dari beningnya hati, akibat dari lurusnya pikiran yang ada di hati kita, akibat dari kemampuan kita untuk bertahan lebih lama menghadapi masalah, untuk bertahan lebih lama dari masalah yang terjadi. Karena masalah dalam hidup ini tidak pernah lama, karena ia dating dari Allah Ar Rahman.
Adapun tujuan dari menikah itu adalah kesediaan untuk saling:
  1. Saling mengerti. Mereka yang sudah berlomba-lomba untuk menyalahkan diri sendiri, bukan saling menyalahkan. Karena ada saatnya yang benar itu tidak harus dijelaskan. Ia terkadang bisa dijelaskan melalui kesantunan dalam bersikap.
  2. Saling mendengar pikiran-pikiran pasangan hidup. Mereka yang sudah saling mengerti, tafahum, tidak diucapkan pun mereka sudah paham.
  3. Saling memperhatikan impian-impian pasangan hidupnya.
  4. Saling menyediakan diri sebagai “sayap” yang menerbangtinggikan pasangan hidupnya.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar Rum: 21)
Lalu, kapan kita akan menjadi pantas untuk menikah? Ikhlas itu sendiri adalah sebuah proses bukan? Bagaimana kita bisa ikhlas jika tidak menjalani prosesnya? Begitu juga dengan menikah. Semua adalah proses yang dijalaniKepantasan itu sendiri adalah hal yang abstrak. Ia akan menemukan bentuk aslinya ketika sudah melakukannya.
Menikah, minimal kita sudah punya bakat kepantasan itu, tinggal temukan latihannya. Sedangkan latihan mengelola hati yang paling efektif adalah dengan menikah. Ini bisa menjadi pembuktian bahwa keinginan kita pada orang lain adalah selalu mengandung kebaikan untuk orang tersebut. Jadikan keinginan kita adalah untuk kebaikan orang lain dan buktikan bahwa itu memang baik melalui diri sendiri (teladan). Misal kita menginginkan agar pasangan kita bisa rajin shalat sunnah karena kita yakin itu baik untuk dirinya. Maka kita buktikan dengan diri kita rajin shalat sunnah dan bahwa itu baik untuk diri kita sendiri.
Jika ingin pasangan yang baik, jadikan diri kita baik dengan kekuatan yang lebih, dengan siapapun jodoh yang ditakdirkan nanti. Karena kebaikan itu sendiri adalah proses. Sejatinya persoalan menikah itu bukan dengan siapa kita akan menikah, melainkan dengan siapa saat kita sudah menikah. Ngerti nggak maksudnya? Coba didalami lagi…
Bisa jadi ada orang baik dapatnya jodoh yang kurang baik. Maka usaha dia adalah dengan mengusahakan dirinya sendiri lebih baik dengan kekuatan lebih dibandingkan  dengan mengusahakan pasangan agar lebih baik. Hum…ambigu kalimatnya. Maksudnya gini, sembari mengusahakan pasangan agar lebih baik, usaha untuk menjadikan diri sendiri lebih baik itu lebih keras gitu lho.

Oke, masuk ke konsep SAMARA
SAKINAH, itu ada dalam diri kita, karena ia adalah ketenangan. Keluarga sakinah berarti keluarga yang tidak menjadikan kesenangan dunia menjadi tujuannya. Tidak silau oleh gemerlap kesenangan dunia. Orientasi keluarga sakinah adalah kebahagiaan dunia dan akhirat. Ini berarti meletakkan kepentingan akhirat di atas kepentingan dunia. Misal, keluarga sakinah adalah yang menganggap perkara terlambat bangun subuh itu merupakan bencana yang lebih besar dibandingkan dengan perkara kehilangan mobil seharga jutaan. Simple kan? Karena urusan pertama adalah urusan akhirat dan yang kedua hanyalah urusan duniawi.
Keluarga sakinah menjadikan dunia sebagai jembatan menuju akhirat. Apapun selalu bernilai akhirat. Meletakkan pengertian-pengertian akhirat di atas pengertian dunia. Memahami bahwa susah itu menyenangkan: “Tiadalah seorang hamba yang sedang diuji Allah terhadap kesusahan melainkan dia sedang direncanakan oleh Allah untuk menjadi pribadi yang besar.” Ia tidak menyimpan kebencian sekecil apapun kepada sesame dan menganggap biasa segala yang biasa dan menganggap luar biasa segala yang memang luar biasa. Yang biasa itu dunia, dan yang luar biasa itu akhirat. Maka ia akan ringan mengatasi segala urusan dunia, dan akan tetap bisa mempertahankan ketertarikan kepada pasangannya saja. Sedangkan yang luar biasa itu urusan akhirat, urusan apa saja yang menimbulkan akibat untuk hidup sesudah mati. Keluarga sakinah itu sendiri tidak mudah terusik oleh urusan-urusan dunia. Pribadi sakinah memandang apapun sebagai jalan untuk ke surge.
MAWADDAH, melambangkan cinta ke langit. Cinta yang membuat kita dan yang kita cintai semakin mencintai Allah ta’ala. Gunakan apapun yang kita cintai untuk mengejar surga.
RAHMAH, mengasihi tanpa berharap dikasihi. Bahagia kita terasa pada saat kita bisa membahagiakan orang lain. Kita tidak mungkin bahagia sendirian karena bahagia sendirian itu aneh. Kenapa? Gini, kita nggak mungkin kan bahagia tanpa dibahagiakan? Nah, Kita juga tidak mungkin kan dibahagiakan sama orang yang belum bahagia? Maka sejatinya bahagia adalah membahagiakan orang lain.

Hosh…Alhamdulillah selesai. Semoga bisa paham dan bermanfaat.  ^_^

Jumat, 15 November 2013

"Uang Transportasi"

Ternyata emang gitu ya wartawan ecek-ecek itu?
Ya...nggak semuanya sih...tapi ternyata emang ada bener wartawan ecek-ecek itu.

Bilangnya sih minta uang transportasi, tapi "memeras" calon pembeli.
Hey, ini saya tidak sedang membicarakan jilbab hitam atau bunda putri.
Saya sedang membicarakan apa yang saya alami sendiri.
Bahwa mereka, yang ngaku kuli tinta, meminta suap dan saya terpaksa beri.

Walhasil?
Pemberitaan ditulis dengan seadanya.
Jika kemarin tidak kukasih, apa iya mereka masih mau memuatnya?
Begitukah jual-beli media?
Jijik gua...

Iya sih,
Berita yang disebarkan bukan perkara korupsi atau binatang najis ajnabi
Iya sih,
Beritanya tentang hal-hal positif yang memang seharusnya publik layak konsumsi
Tapi?
Saya hanya nggak suka sama proses mereka mencari bahan publikasi
Bukankah mereka seharusnya telah diberi code of conduct sebagai seorang kuli?

Uang transportasi
Hah, saya benci dengan diri sendiri karena saya sendiri yang bertransaksi
Uang transportasi
Ternyata sudah membudaya di negeri ini

Ya!
Semua itu dianggap biasa
Bahkan dianggap tidak sopan jika tidak memberi mereka
Bahkan sudah dianggarkan di setiap instansi-instansi pemerintahan
Bahkan transaksinya resmi tercatat di pembukuan

Uang transportasi
Praktek korupsi yang dilegalkan
Menyedihkan!

Yogyakarta, 15 November 2013
#sajak_status