Kamis, 26 Juli 2012

Jogja-Jakarta-Karawang-Ciamis di Bulan Juli

Bulan ini adalah bulan di mana saya melewati ulang tahunnya yang ke-23 di sebuah kereta menuju Jakarta dengan dinyanyikan lagu "wer-ewer-ewer" oleh seorang waria yang tiba-tiba datang di dekatnya. Sore itu sawah-sawah telah menguning dengan warna senja di ujung barat.
Sebenarnya keberangkatan saya ke Jakarta juga sebagai penghilang "sedikit kekesalan" yang berkecamuk di hati. Biarlah, perjalanan yang melepas kesedihan itu. Satu motif lain lagi selain tujuan utama perjalanan adalah karena saya ingin secara random bertemu dengan seseorang yang sedang sangat ingin saya temui saat itu. Mengucapkan kata, "Hi, long time no see" or just smile. Setidaknya dengan kepergian saya itu saya mendapatkan 1% probabilitas itu. Mungkin kurang. What I really want to say to "him/her" is "thank you so much!".
Nyatanya memang saya tidak bertemu kemarin. Tapi saya menemukan banyak hal-hal baru. Terutama tentang kegentingan orang-orang Jakarta. Tentang perjalanan dengan sekelompok orang tak dikenal dan berbicara dengan bahasa yang tidak saya pahami sama sekali, tapi mereka kelihatan bahagia.
Malam itu saya berada di sebuah mobil menuju Ciamis, tepatnya Rajadesa. Saya beserta dua orang teman duduk di jok paling belakang. Di jok tengah ada dua orang pemuda kira-kira berumur 20an tahun. Di jok paling depan ada seorang sopir dan seorang temannya sopir yang mirip seperti salah seorang artis komedi Indonesia. :P
Saya dijemput di sebuah mushola di depan Stasiun Jatinegara usai maghrib. Dua orang teman saya, sebut saja De dan Phun sudah berada di mobil. Kali ini kami akan dibawa dulu ke Grogol. Sepanjang perjalanan saya mengawasi pemandangan kota Jakarta yang mewah itu. Rasanya seperti orang udik yang baru melihat Jakarta. hahaha... Lampu-lampu di jalan dan gedung bermain-main di mata saya. Ini seperti sebuah pertunjukan kembang api yang dipuisikan. Dalam hati saya menyenandungkan salah satu lagu favorit, "You Belong to Me"-nya Jason Wade. Apakah suatu saat ada orang yang akan menyanyikan lagu itu untuk saya saat saya sedang melakukan perjalanan jauh?
Jika orang-orang bilang bahwa LDR itu sulit dan sakit. Justru saya sangat ingin merasakan hal itu untuk beberapa saat. Saya ingin merasakan kerinduan yang amat sangat pada orang yang dicintai yang berada di tempat yang jauh dari kita. Dan pertemuan itu akan berakhir dengan happy ending. Hehe
Kembali ke mobil van menuju Grogol tadi. Saya mulai terkantuk-kantuk di mobil itu. Setelah saya bangun tiba-tiba kami sudah berada di suatu daerah yang disebut slum area yang mungkin masih di pinggiran Jakarta. Tiba-tiba lagi kami sudah berada di perumahan padat di pinggiran rel kereta api. Beberapa lama kemudian kami sudah berada di perumahan lain. Saya berusaha melihat jam tangan yang tidak kelihatan karena gelap. Ternyata sudah menunjukkan pukul 12 malam. Phun bertanya pada sopir,
"Pak, masih jemput berapa orang lagi?"
"Masih 6 lagi neng. tambah motor juga."
APAAA???? Ini sudah larut malam! Masih juga jemputin orang??? Dan itu 6 orang! Di mobil sudah ada 6 orang! Saya mulai memperkirakan posisi duduk kami masing-masing. Hanya ada dua jok lagi yang tersisa untuk orang bisa duduk secara manusiawi. Tapi ini 6 orang??? Tambah motor pula! Pikiran buruk mulai menyeruak di alam pikiranku. Jangan-jangan kami mau diculik. Karena dari tadi yang dijemput adalah orang laki-laki semua. Hanya kami bertiga yang perempuan sendiri di mobil itu. Saya mulai memikirkan jurus-jurus untuk melarikan diri jika saat menegangkan itu tiba. Saat dimana kami disekap, kemudian dibuang atau dimusnahkan atau...ah, khayalan menyeramkan mulai bermunculan di otak. Tapi rasanya kewaspadaan itu segera dikalahkan oleh rasa kantuk dan lelah yang teramat sangat. Lelah karena harus duduk berdempetan setelah ketambahan satu orang laki-laki di jok kami. Saya duduk di tengah kedua teman saya yang sama-sama menyandarkan kepalanya di bahu saya (kanan dan kiri). Mau bergerak saja susah sekali. Mau mencari posisi tidur yang nyaman hampir mustahil. Akhirnya saya tertidur juga dengan posisi kepala tanpa sandaran dan kadang kerkantuk-kantuk ke jok depan membuat kepala yang sedang migran tambah sakit. Rasa lapar karena belum makan malam harus kami tahan dan berharap mobil ini akan berhenti di rumah makan. What the journey...
Pukul 2.15 dini hari. Kami sudah berada di daerah Karawang. Ah, ini mengingatkanku pada puisi Chairil Anwar "Karawang Bekasi".


KARAWANG BEKASI

Oleh: Chairil Anwar

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garsi batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
(Yang Terempas dan Yang Putus, Pustaka Rakyat, 1949)


Ya, rasanya mereka yang terbaring di antara Karawang-Bekasi itu berbicara kepada saya dalam malam hening itu. Angin dari luar jendela menerpa wajah yang telah bangun sambil mengucap syukur bahwa kami telah berada di Karawang dan seketika melupakan fantasi kejadian penculikan itu. Kami memasuki perkampungan padat di sekitar sungai yang diapit oleh dua badan jalan. Kemudian berhenti di depan rumah bercat pink-hijau yang ternyata sudah ada seorang wanita paruh baya menunggu di sana. Ia mengenakan daster tidurnya sambil tangan kanannya mengapit seputung rokok yang menyala. Sebentar-sebentar ia hisap rokok itu. Tiba-tiba pikiran jahat menyeruak lagi. Apalagi mereka berbicara dengan bahasa Sunda. Tidak satupun dari kami bertiga yang paham akan bahasa itu. Jangan-jangan mereka merencanakan sesuatu... Dalam hati saya berbisik, waduh, jangan-jangan kami mau diculik untuk dijual melalui wanita ini kemudian kami dijadikan pelacur...haaah...???
Saya berusaha untuk bersikap sewajar mungkin dengan tetap waspada. Mobil sepertinya akan berhenti agak lama. Maka saya turun sebentar dari mobil sambil meregangkan otot-otot dan menghirup udara luar. Saya mengambil duduk di pinggir jalan sempit itu. Beberapa wanita lain sudah mulai bermunculan dari rumah itu. Mereka semua masih muda. Bercelana pendek dan kaos ketat pendek menampilkan lekuk-lekuk tubuh mereka yang ramping. Juga seorang anak kecil yang muncul di sela-sela mereka. Saya hanya melihat pemandangan bagaimana para lelaki di mobil itu saling bahu-membahu berusaha untuk memasukkan motor ke dalam mobil. Gila! Saya semula memprediksi bahwa pintu belakang mobil tidak akan bisa titutup rapat karenanya. Ternyata setelah dengan berbagai uji-coba posisi, mereka bisa! Motor berhasil dinaikkan dengan sempurna. Selanjutnya si bapak sopir menyuruh saya masuk ke mobil lagi dengan bahasa Sunda yang kurang lebih saya tahu artinya bahwa saya harus masuk mobil lagi. Saya pun harus kembali menghadapi "siksaan mobil" itu. Di luar ibu paruh baya itu berpamitan dengan para gadis muda yang berada di balik pagar. Sementara si anak kecil itu menangis sekeras-kerasnya. Ternyata ia harus berpisah dengan para gadis muda itu yang ia panggil sebagai "kakak". Anak itu terus menangis sambil berteriak, "kakaak...kakak...". Jok depan telah dikosongkan. Ternyata jok depan itu diperuntukkan untuk ibu dan anak itu dan seorang pemuda yang kelihatan masih remaja kira-kira usia SMP-SMA plus sopir. Di jok tengah kini sudah ada empat orang laki-laki muda. Di jok belakang ada kami bertiga dan seorang laki-laki di samping Phun dengan kaos merahnya dan rambut gondrongnya. Sementara dua orang laki-laki berada di bak belakang untuk menjaga motor. Mereka duduk lesehan. Lengkap sudah susunan penumpang mobil van yang kemudian kami bertiga sebut dengan van mikrolet karena semua-muanya bisa dimasukkan di sana.
Pukul 2.45 perjalanan ke Ciamis baru saja dimulai. Saya terlelap lagi sepanjang perjalanan.
Pukul 4.30 kami tiba di Bandung. Berhenti di sebuah rumah makan untuk makan (pagi atau malam?) dan shalat subuh. Pagi itu seluruh penumpang kelihatan sangat kuyu, termasuk diri saya.
Kira-kira 45 menit kemudian kami berangkat lagi. Kali ini saya tidak tidur dan hanya memakan camilan yang telah saya beli di rumah makan tadi. Kenangan Kota Bandung mulai muncul lagi di benak. Kenangan akan stasiun yang menurut ssaya bagus, juga kenangan akan perjalanan yang "kurang mengasyikkan" jika tidak bisa disebut annoying. Beberapa jam kemudian kami telah berada di Tasik Malaya. Saya berusaha mengetahui posisi kami dengan melihat plakat-plakat di sepanjang pinggir jalan. Atap mobil yang pendek membuatku harus menunduk untuk melihat keluar. Rasanya mobil ini melaju dengan kencang karena saya seringkali harus terbata-bata membaca tulisan di plakat tidak sampai selesai karena mobil sudah melaju ke depan lagi. Nuansa persawahan yang menghijau di pagi hari yang dingin memenuhi mata saya. Kedua teman saya masih tidur. Sementara para penumpang di depan bercakap-cakap dengan serunya sambil tertawa-tawa. Saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan karena mereka menggunakan bahasa mereka sendiri (Sunda). Saya tersenyum melihat pemandangan itu. Mereka kelihatan seperti satu keluarga. Seketika suasana lelah dan suntuk tadi malam berganti dengan kecairan yang menenangkan pagi itu. Ternyata sejak wanita itu berada di mobil, suasana mobil jadi hidup.
Oya, ada hal yang sangat saya herankan dari penumpang di mobil itu. Hampir di setiap tempat yang dilewati, mereka menyapa orang dengan teriakan akrab seperti teman sendiri. Seperti yang dilakukan oleh wanita itu yang menyapa beberapa pemuda di pinggir jalan masih di Karawang dini hari. Ia sapa dengan bahasa Sunda yang terkesan akrab. Kemudian Pak Sopir menyapa beberapa orang di Tasik Malaya saat melewati pasar yang agak padat. "Woi! #$%@&&*&%@!^%...dst" entahlah pokoknya pakai bahasa Sunda juga. Ini kami sedang berada di dunia manakah? Mengapa mereka berteman dengan siapa saja dan menyapa siapa saja? We were in a very strange world...
Tempat yang kami lalui mulai menunjukkan daerah pedesaan seperti di daerah Tegal. Jalan mulai berkelok-kelok. Pemandangan mulai dipenuhi dengan sawah, bukit, dan hutan. Rumah-rumah yang ada tampak seperti rumah adat. Saya seketika berucap syukur saat menemukan sebuah plakat di pinggir jalan bertuliskan Ciamis. Finally...
Jalan yang dilalui semakin sempit dan primitif. Semakin banyak pula orang yang disapa oleh pak sopir.
Sampai di tempat tujuan, kami disambut oleh seorang bapak yang kemudian mengantarkan kami ke sebuah rumah di tepian sawah dengan berjalan kaki. Di rumah itu seorang ibu shalihah yang begitu ramah menyambut kami. Ia kemudian mempersilakan kami untuk istirahat di kamar yang telah di sediakan di bagian belakang. Sebuah kasur lebar menyapa kami dengan begitu manisnya. Udara sejuk di pinggiran sawah dan kasur empuk. What the heaven...
Siang hari kami sudah harus berangkat lagi untuk mengejar angkutan yang bisa membawa kami sampai terminal terdekat. Dengan jalan kaki kurang lebih 1,5 km di jalanan berbatu, akhirnya kami mencapai jalan raya. Tidak ada halte, kami duduk di pinggir jalan menunggu kedatangan angkutan. Kata orang sekitar kira-kira 45 menit lagi ada angkutan. Perut keroncongan, saya isi dengan semangkuk bakso yang berada di seberang jalan sambil menunggu angkutan datang. Posisi duduk di pinggir jalan itu persis seperti gelandangan yang membutuhkan santunan! hahaha...
Satu mobil sebenarnya pernah menghampiri kami dengan plat AB menawarkan tumpangan. Tapi entah mengapa dengan begitu bodohnya secara spontanitas orang Jogja, saya menolak halus tawaran itu dengan alasan mau menunggu angkutan saja. Dua orang teman saya tercengang melihat saya. Hahaha...
Karena lama menunggu, kami sempat berinisiatif jika ada truk yang lewat kami akan naik truk itu! Sempat ada satu truk lewat, tapi tidak mau berhenti karena penuh muatan. Mungkin sopir truk itu berpikir, mau ditaruh di mana kalian, mau naik gimana caranya, pakai rok gitu...
Akhirnya angkutan yang dinanti tiba juga tepat waktu. Mobil sudah agak hampir penuh. Tapi masih muat untuk kami bertiga. Penumpang lain juga banyak yang membawa bawaan khas pasar. Sebagian besar penumpangnya adalah wanita. Dan hampir semuanya berkerudung. Hanya satu orang yang tidak. Kami melewati jalan yang sama dengan tadi pagi. Kali ini dengan mobil dan orang-orang yang berbeda. Sempat terbersit keinginan suatu saat bisa tinggal di sini.
Sampai di terminal Ciamis yang sederhana. Kami bergegas menuju agen bus ke Jogja. Ternyata bus ke Jogja berangkat jam 7 malam. Saat itu baru jam 4 sore. Untungnya agen itu menyediakan tempat duduk bekas jok bus yang nyaman untuk para calon penumpang yang sedang menunggu bus.
Hari kemudian mulai berganti senja. Silih berganti orang datang dan pergi dari kios agen itu. Kami bertiga menghabiskan waktu dengan nyemil, baca buku, ngobrol, dan sesekali tidur. Menjelang maghrib tiba-tiba ada sekelompok anak kecil bermain-main di depan kios. Mereka berlari dan bergulat satu sama lain. Mulai datang pula seorang anak kecil perempuan bersama seorang kakaknya. Nama mereka Fatimah dan Sayidah. Phun akhirnya mulai akrab dengan mereka dan mengajak mereka bermain bersama. Orang-orang di kios hanya tersenyum melihat pemandangan itu. Itu seperti saat kami berada di masjid melihat orang ngajar TPA. Hihihi...
Pukul 7 akhirnya bus yang dinantikan datang. Saatnya kembali ke Jogja...
Angin dingin di Ciamis telah menyapu kenangan perjalanan kami.