Rabu, 08 Agustus 2012

Does Pollution Haven Exist in Indonesia?

oleh. Wulan Wiyat Wuri dan Zulfa Utami Adiputri

“With laissez-faire and price atomic, ecology’s uneconomic. But with another kind of logic, economy’s unecologic.” [Kenneth E. Boulding, dalam Frank F. Darling and John P. Milton, eds., Future Environments of North America, 1996]
    Kaitan antara pertumbuhan ekonomi dan lingkungan hidup selalu menarik untuk diperbincangkan. Tak ada satu pun negara di dunia yang tidak menginginkan pertumbuhan ekonomi yang identik dengan perbaikan kesejahteraan. Usaha untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tersebut seringkali dihubungkan dengan degradasi lingkungan. Sedangkan lingkungan itu sendiri terkait erat dengan keberlanjutan suatu pembangunan. Kesejahteraan yang dituju dari pembangunan yang dilakukan tidak akan tercapai tanpa adanya pembangunan yang berlanjutan (sustainable development). Pembangunan tanpa keberlanjutan tidak lebih dari perolehan atas angka-angka statistik pertumbuhan namun nir-kesejahteraan.
Sebagian besar negara-negara di dunia terutama negara berkembang yang sebagian besar merupakan negara industri baru mengalami dilema antara ekspansi pertumbuhan ekonomi dan upaya penyelamatan lingkungan. Begitu juga Indonesia yang tengah menjalani euforia pertumbuhan ekonomi yang cukup menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang selalu berada di atas 5% sejak tahun 2004 (Year on Year based). Bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara G20, Indonesia memiliki perubahan pangsa PDB dunia yang positif. Pangsa PDB Indonesia di dunia sendiri meningkat dari 0,82% pada tahun 2005 menjadi  1,21% pada tahun 2009.
Pertumbuhan ekonomi yang positif tersebut menumbuhkan gairah tersendiri bagi para pelaku pasar untuk meningkatkan investasinya di Indonesia. hal ini tercermin dari meningkatnya investasi di Indonesia terutama dalam bentuk Foreign Direct Investment (FDI) . Realisasi FDI di kuartal pertama tahun 2009 yang sebesar US$ 453 juta menjadi US$ 2.289 juta di kuartal kedua tahun 2010. Tahun 2010 menjadi awal diberlakukannya kesepakatan ACFTA dengan pemberlakuan tariff 0% untuk kategori barang-barang normal track. Hal ini membuka keran perdagangan di antara negara-negara di ASEAN maupun dengan China. Dengan semakin terbukanya perekonomian Indonesia terhadap dunia, semakin banyak pula investor yang mengincar Indonesia sebagai pangsa pasar yang sangat potensial untuk mereka jajaki.
Sejak pemberlakuan ACFTA di Indonesia, aliran deras modal mulai masuk, baik berupa relokasi pabrik, investasi properti, dan lain-lain. Bahkan kini mulai banyak investor China yang tertarik untuk berinvestasi di Indonesia dengan tiga sektor yang diminati, yaitu (i) sektor infrastruktur, terutama transportasi, (ii) sektor yang terkait dengan manufaktur, dan (iii) sektor energi, termasuk pembangkit tenaga listrik terbarukan. Selain itu, investasi yang cukup prospektif adalah dalam sektor kendaraan roda dua di mana Indonesia diprediksikan pada beberapa tahun mendatang akan menjadi pasar terbesar ketiga di dunia . Selanjutnya, setelah empat perusahaan menanamkan investasinya di sektor alas kaki di Indonesia dengan potensi investasi sekitar US$ 200 juta, kini ada dua investor yang berasal dari Korea sedang menjajaki investasi di Indonesia untuk memindahkan pabriknya dari China ke Indonesia dengan potensi investasi senilai US$ 100 juta. Sejak tahun 2009 telah ada sekitar 22 investor asal China dan Taiwan yang berminat berinvestasi pada sektor alas kaki dan industri komponennya di Indonesia. Investasi yang masuk diharapkan dapat menyerap tenaga kerja dan mendorong perbaikan perekonomian.
Namun rupanya derasnya FDI yang masuk ke Indonesia mendapat tudingan bahwa semua itu tak lain adalah upaya pengalihan dirty industry dari negara maju kepada negara berkembang.
Mengapa demikian? Negara-negara maju mulai gencar melakukan relokasi pabrik dan pusat-pusat industrinya ke negara-negara berkembang terutama di negara yang memiliki labor abundant sehingga mereka akan mendapatkan labor dengan upah yang lebih rendah dari negara origin-nya. Alasan lain dari relokasi tersebut adalah untuk mendapatkan pangsa pasar yang lebih besar. Seperti yang terjadi di Indonesia. Indonesia yang memiliki jumlah penduduk besar menjadi sasaran empuk bagi pelaku pasar di dunia. Dan kebanyakan dari relokasi tersebut merupakan relokasi sektor-sektor yang menghasilkan tingkat polusi yang cukup tinggi (dirty industry). Dengan demikian, FDI yang masuk ke negara berkembang menjadi sarana untuk peralihan konsentrasi polusi di negara maju ke negara berkembang seperti Indonesia.
 Pollution haven hypothesis yang mencoba menjelaskan fenomena ini memperoleh dukungan dari hasil studi Walkirdch dan Gopinath (2008) dalam makalahnya mengenai FDI di Mexico. Studi tersebut menyimpulkan bahwa kenaikan aliran FDI yang mengejutkan selama dekade terakhir dari negara maju kepada negara berkembang terkait erat dengan lemahnya kebijakan lingkungan di negara tujuan FDI. Lebih jauh lagi, ditemukan adanya hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang dan keterbukaan perdagangan dengan tiga kunci utama deforestasi: kemiskinan, ekspansi agrikultural dan pembangunan jalan (Lopez dan Galinato, 2004).
Terkait dengan polusi, diketahui bahwa emisi udara dan air meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi pada tingkat pendapatan tertentu (Colle, Elliot, dan Zhang, 2010). Total output share yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan dari Hong Kong, Macau dan Taiwan memiliki pengaruh positif pada emisi meskipun efek tersebut hanya signifikan pada tiga emisi cair industri. Total output share yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan dari negara asing  dapat menguntungkan, merugikan, atau netral, bergantung pada jenis polutan.
Bukti Lain yang Memberi Harapan
Di antara demikian banyak studi yang menunjukkan trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan lingkungan, sebuah survei terhadap data lingkungan hidup menunjukkan kaitan positif antara pertumbuhan ekonomi dan membaiknya kualitas air dan udara pada tingkat PDB $ 10.000 (Grossman dan Krueger, 1994). World Development Report tahun 1992 melaporkan bahwa pengaruh peningkatan kesejahteraan terhadap kerusakan lingkungan menyerupai kurva U terbalik di mana titik balik terjadi pada tingkat pendapatan per kapita $ 8.000. Pada tingkat pendapatan setelahnya, peningkatan kesejahteraan akan beriringan dengan turunnya tingkat polusi. Saat ini PDB per kapita Indonesia berada pada kisara $ 2.270. Meski masih cukup jauh dari tingkat PDB per kapita pada titik balik, selalu ada harapan untuk mencapainya. Bahkan, besarnya FDI yang masuk ke Indonesia menjadi peluang khusus untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang lebih cepat. Dengan demikian, FDI tidak lagi menjadi momok bagi lingkungan dengan asumsi adanya peningkatan PDB per kapita yang signifikan untuk mengejar tingkat polusi yang rendah.
FDI yang masuk ke Indonesia sebagian di antaranya merupakan relokasi perusahaan asing. Terdapat kekhawatiran akan terjadi fenomena pollution haven, yakni relokasi polusi ke indonesia, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun, Garcia, Afsah, Sterner (2008) yang melakukan studi mengenai PROPER Program  di Indonesia mendapati bahwa perusahaan-perusahaan asing di Inndonesia cenderung merespon environmental rating scheme dari PROPER Program dengan lebih baik dibanding dengan perusahaan swasta lokal. Lebih jauh lagi, studi Wheeler (2000) dalam Norberg (2001) menemukan bahwa perusahaan asing yang merelokasi pusat produksi mereka ke negara-negara berkembang adalah lebih ramah lingkungan daripada perusahaan lokal. Mereka berusaha mengikuti UU mengenai lingkungan hidup, sebab bagaimanapun mereka harus memperhatikan citra merk produk mereka. Di Indonesia hanya 30% dari total perusahaan yang ada yang menaati peraturan lingkungan hidup, dan 80% di antaranya merupakan perusahaan multinasional. Bahkan, satu dari sepuluh perusahaan asing menerapkan standar yang leibh tinggi daripada yang tertera dalam peraturan.
Bahwa FDI memungkinkan kehidupan lingkungan yang lebih baik –yang berarti hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dan perbaikan lingkungan hidup, kini kian jelas. Namun begitu, konsekuensi agar hal ini dapat tercapai adalah kejelasan aturan main dan penegakan hukum oleh pemerintah. Upaya pemerintah berupa penetapan peraturan lingkungan terkait dengan kegiatan ekonomi telah dilakukan . Sayangnya, masih banyak terjadi pelanggaran yang ironisnya tidak mampu diusut hingga selesai. Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Permana (2010) ditemukan adanya diskriminasi penegakkan hukum dalam kasus pembalakkan liar. Sejumlah kasus lingkungan juga menggantung hingga sekarang, bahkan kasus setenar lumpur Lapindo tak kunjung rampung. Dapat disimpulkan, permasalahan utama yang terjadi dalam hubungan pertumbuhan ekonomi –dalam kasus ini adalah FDI- dan lingkungan terkait dengan proses penegakkan hukum.
Mengupayakan Perbaikan ke Depan
    Bagaimanapun juga pemerintah adalah institusi yang bertanggung jawab langsung dalam penegakkan hukum. Ada sejumlah langkah yang dapat dilakukan pemerintah untuk memperbaiki situasi ini. Yang pertama, terkait dengan upaya transparansi laporan keuangan perusahaan baik domestik maupun multinasional  dengan menerapkan green accounting –sistem pembukuan yang memasukkan biaya lingkungan ke dalam laporan keuangan. Melalui publikasi laporan keuangan dengan metode green accounting, perusahaan diharapkan lebih awas dan peka pada lingkungan mengingat citra perusahaan yang akan langsung terbaca melalui publikasi: berapa banyak realisasi CSR lingkungan, berapa besar biaya eksplisit untuk pengurangan emisi.  Di sini perusahaan-perusahaan multinasional menjadi role model bagi perusahaan lokal. Lebih jauh lagi, pemerintah perlu menetapkan penggunaan green accounting dalam peraturan formal. Tentu saja diperlukan sosialisasi terlebih dahulu untuk mencapai keberhasilan aplikasi green accounting.  Selanjutnya, transparansi yang sama juga perlu dilakukan pada state-level di mana pemerintah pun menerbitkan laporan pertanggungjawaban dan laporan realisasi proyek dengan metode green accounting.
    Kedua, optimalisasi PROPER Program –lebih dikenal dengan PROPER PROKASIH di Indonesia. PROPER Program terbukti memberikan dampak signifikan terhadap perbaikan kualitas lingkungan hidup, sesuai dengan tujuan program ini yakni untuk mendorong peningkatan informasi kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan. Peningkatan kinerja penaatan dapat terjadi melalui efek insentif dan disinsentif reputasi yang timbul akibat pengumuman peringkat kinerja PROPER kepada publik . Hanya saja, dari sekitar 8.000 perusahaan di Indonesia, baru 700 di antaranya mengikuti program ini. Untuk memperluas cakupan peserta PROPER, pemerintah hendaknya melakukan kampanye yang lebih masif agar PROPER program tidak hanya dikenal oleh kalangan terbatas, namun juga masyarakat luas. Kampanye-kampanye kreatif melalui media cetak dan elektronik dan pengadaan kegiatan terkait PROPER dapat dilakukan.
Bukan mustahil. Itulah kesimpulan dari tulisan ini. Bukan mustahil bagi ekonomi untuk tumbuh bersama lingkungan. Bukan mustahil bagi Indonesia untuk menjadi negara yang tumbuh dalam green growth. Tentu saja, upaya yang dilakukan tak cukup dari pemerintah saja. Selalu diingatkan dalam banyak tulisan, seluruh komponen masyarakat adalah penting untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik.
Justru dengan menarik FDI ke dalam negeri dapat mempercepat pencapaian pertumbuhan ekonomi dan tingkat PDB per kapita yang mampu memberikan dampak positif terhadap lingkungan. Memang belum ada studi yang membuktikan secara khusus apakah pollution haven terjadi di Indonesia khususnya sejak diberlakukannya ACFTA. Namun penulis berharap, tulisan ini setidaknya dapat menjadi inspirasi bagi para peneliti untuk melakukan studi lebih jauh mengenai dampak dari keterbukaan ekonomi terhadap konsetrasi polusi di Indonesia.
“With laissez-faire and price atomic, ecology’s uneconomic. But with another kind of logic, economy’s unecologic.”
Kutipan ini seharusnya dapat dibantah dengan studi-studi yang membuktikan bahwa ekonomi dapat sejalan dengan lingkungan. Terlepas dari logika –atau sistem- macam apa yang digunakan untuk mengusahakan pertumbuhan ekonomi. Manusia dapat memperbaiki kesejahteraan tanpa melepaskan cintanya pada bumi tempat ia hidup dan dilahirkan. Dan itulah yang tengah kita kerjakan sekarang untuk Indonesia dan dunia.

DAFTAR REFERENSI:
Afsah S, et al. 2009. Which Firms are More Sensitive to Public Disclosure Schemes for Pullution Control? Evidence from Indonesia’s PROPER Program. J Environment Resource Econ 42: 151-168
Asian Development Bank. 2010. Asian Development Outlook Macroeconomic Management Beyond the Crisis
Cole M, et al. 2010. Growth, Foreign Direct Investment and the Environment: Evidence from Chinese Cities. Journal of Regional Science 11 Juni 2010
HMI News. 2010. http://hminews.com/news/indonesia-surga-bagi-investor-asing-kata-imf/ diakses pada 20 September 2010
Norberg J. 2001. Membela Kapitalisme Global. Jakarta: The Freedom Institute
Permana YH. 2010. Application of Rule of Law by Jurisdiction System on Illegal Logging Case in Indonesia 2002-2008. Yogyakarta: JEBI
Waldkrich A, Gopinath M. 2008. Pollution Control and Foreign Direct Investment in Mexico: An Industry-Level Analysis. Springer Science Business Media B.V.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar