Rabu, 08 Agustus 2012

Ruang Inspirasi

Saat-saat seperti ini, waktu-waktu tanpa teman, rasanya jadi rindu dengan suasana di ruang insipirasi saya. Saya menyebutnya ruang inspirasi karena mereka selalu menawarkan sisi yang berbeda dari kehidupan rutinitas keseharian. Mereka selalu memantik berbagai macam inspirasi di alam pikiran saya. Setiap kali datang ke tempat-tempat itu, saya seperti kembali lagi ke masa-masa hidup yang tanpa tendensi (entah itu kapan). Ada suatu yang murni dan jujur yang keluar dari sana dan membuat saya ingin selalu kembali lagi ke sana.
Ruang inspirasi pertama ada di Taman Budaya Yogyakarta yang selalu menawarkan nuansa berbeda saat saya ke sana untuk melihat seni pertunjukkan entah itu teater, ketoprak, opera, atau deklamasi puisi. Saya melihat ada sesuatu yang lain di sana. Kehidupan yang bukan rutinitas kita. Saya sadar, kalau ke sana seringkali bisa sampai malam hanya untuk menikmati pemutaran film documenter atau menikmati pertunjukan ketoprak. Saya harus pulang sendirian malam-malam yang itu bisa membahayakan diri saya. Jujur, saya tidak terlalu peduli dengan aturan batas jam9 malam. Saya tahu itu maksudnya baik. Tapi aturan itu tetap saya langgar demi menempati “ruang inspirasi” ini. Ah, biarlah berjalan dulu seperti ini.
Ruang ini saya kunjungi untuk meladeni kecintaan saya kepada sastra. Cita-cita terpendam saya yang hingga sekarang tidak pernah ada usaha untuk mencapainya adalah menjadi seorang sutradara. Dulu saya juga hobi menulis puisi dan sesekali menulis cerpen picisan (namanya juga remaja yang sedang puber:D). Ketika menyaksikan pemutaran film hasil karya anak negeri rasanya bangga sekali dengan perkembangan industri kreatif di negeri ini. Sebenarnya banyak sekali orang-orang kreatif di sekeliling kita. Saya iri pada mereka yang benar-benar telah terjun menjadi sineas-sineas muda dengan karyanya masing-masing. Mereka juga mengorganisasi diri mereka dalam suatu komunitas untuk mempertunjukkan karyanya pada dunia. Dalam sebuah film kita bisa melihat apa yang sedang dipikirkan oleh sang sutradara. Ah, entahlah. Tapi suatu saat nanti saya tetap ingin melakukannya.
Apalagi dengan pertunjukkan drama langsung dalam sebuah teater, ketoprak, atau opera. Semua berjalan sesuai dengan alurnya. Kita seakan menyaksikan diri kita yang sedang bersandiwara dalam kehidupan kita. Saya jadi ingat bagaimana susahnya menghapalkan naskah drama saat saya dulu memerankan tokoh Hana dalam sebuah drama yang disutradarai oleh almarhumah teman saya, Candu Putrisari untuk sebuah ajang perlombaan di Jogja dulu. Meskipun tidak menang, tapi kami cukup puas dengan pertunjukkan kami. Rasanya sudah senang ketika kita sudah menunjukkan karya kita pada orang lain apalagi jika orang lain itu merasa puas dengan hasil karya kita. Rasa lelah terbayar sudah. Teater hamper-hampir mirip dengan opera. Tapi untuk opera ini saya belum pernah melihatnya secara langsung. Satu hal yang saya sukai dari pertunjukkan teater adalah teknik panggungnya, dari efek pencahayaan, music, gerak tubuh, setting tempat, dan lain-lain. Saya sungguh terpukau dengan totalitas mereka (panitia pertunjukkan) dalam menyiapkan the whole package dari suatu pertunjukkan untuk membuat orang lain senang dan dapat mengambil pelajaran dari sana. Mereka sangat mendetail dan rapi. Agak berbeda dengan seminar-seminar atau kajian-kajian yang seringkali disiapkan dengan seadanya. Memang tidak semuanya, tapi sebagian saja yang saya jumpai.
Untuk ketoprak, ini adalah salah satu yang unik menurut saya. Dari kecil dulu saat saya masih tinggal di desa Wonorejo bersama dengan nenek ketika ada pertunjukkan ketoprak kami berbondong-bondong bersama para tetangga berjalan kaki menelusuri jalan-jalan setapak, melewati persawahan, dan kuburan di kegelapan malam dengan hanya berbekal senter di tangan dan baju hangat untuk menahan udara dingin malam hari menuju sebuah lapangan yang seringkali menjadi tempat pertunjukkan setiap kali ada perayaan ada yang namanya rasulan. Lapangan itu adalah lapangan di desa Ngunut dengan pohon-pohon cemara di sekelilingnya. Perayaan itu biasanya ditutup dengan pertunjukkan ketoprak di malam hari. Para warga desa bahkan rela meninggalkan rumahnya kosong hanya untuk menyaksikannya. Lakon yang sering ditampilkan adalah rakyat kecil dan majikan. Bagian yang paling disukai oleh warga adalah saat ada percakapan yang terjadi antara “rakyat kecil” dengan guyonannya yang oleh kebanyakan warga sering disebut dengan “ludruk”. Sayang sekali,ketoprak modern sekarang sudah jarang yang membawakan cerita pewayangan. Seringkali yang ditampilkan adalah cerita tentang percintaan atau cerita rakyat yang sudah dibubuhi dengan cerita lain-lain. Saya menyukai latar cerita kolosal kerjaan-kerajaan tua di Indonesia. Cita-cita yang belum kesampaian adalah nonton Sendratari Ramayana di Candi Prambanan. Cita-cita yang hampir kesampaian ini sempat kandas karena saya harus memilih agenda lain beberapa waktu lalu. Semoga suatu saat nanti akan ada teman yang bersedia menemani saya nonton.
Ruang inspirasi kedua adalah saat saya makan dua bungkus nasi kucing dengan kepala ayam dan dua tahu bacem ditemani dengan susu jahe hangat di angkringan depan rumah Siyono sambil mendengarkan suara merdu gamelan dari “uyon-uyon” yang diputar dari radio kotak jadul dengan dua buah baterai ABC-nya. Saya lebih suka jika saya sendiri yang menguasai tempat itu saat saya makan karena saya bisa bebas makan dan tidak malu-malu kalau mau nambah. Hehe…^_^
Obrolan dengan mbak Ida, sang penjual angkringan, pun bisa saya sabotase sendirian. Dari mulai curhat tentang rutinitas di kampus, rencana-rencana ke depan, dan mendengarkan update-nya tentang perkembangan terbaru di dusun yang jarang sekali saya pulang ke sana akhir-akhir ini. Saya sudah tidak mendengar lagi perkembangan terbaru kegiatan remaja masjid di kampong sejak saya kuliah di Jogja. Itu yang membuat saya terkadang merasa bersalah karena terlalu egois dengan diri sendiri dan melupakan pengabdian saya pada masyarakat yang nyata ada di depan saya. Makanya Bapak selalu mewanti-wanti kalau mau KKN atau program pengabdian kepada masyarakat mbok ya di daerah sendiri, bukan malah ke daerah lain. Tapi saya selalu bandel tentang hal ini. Karena bagi saya masalah pengabdian itu tidak mengenal tempat. Bahkan kita bisa melihat budaya yang berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain. Ini adalah salah satu ruang inspirasi saya yang lain, yaitu dalam perjalanan ke luar kota yang tidak akan cukup saya ceritakan di sini dalam satu episode. Semoga saya masih punya kesempatan untuk menuliskannya di sini dalam episode lain tentang cerita-cerita perjalanan-perjalanan ke luar kota. Selalu saja memberikan pelajaran tersendiri dari setiap perjalanan. Pengalaman baru, orang-orang baru, suasana baru.
Kembali ke angkringan. Ini yang membuat saya bersyukur dilahirkan sebagai warga Yogyakarta yang tinggal di Yogyakarta yang setiap hari bisa melihat tenda-tenda angkringan bercahaya neon kecil atau lampu badai. Di angkringan ini kita bisa melihat dunia dan update-update berita terkini dari sisi rakyat kecil. Kita bisa mendengar keluhan-keluhan murni mereka tentang kenaikan harga sembako, tentang dunia perpolitikan, dan lain-lain. Kita seperti sedang menyaksikan siaran berita langsung dari sumbernya. Tidak jarang juga tempat ini menjadi favorit para mahasiswa berkantong pas-pasan. Menu khas nasi kucing, gorengan, dan wedang jahe. Hmmm….
Di setiap ruang inspirasi itu ada pelajaran kehidupan yang bisa kita petik untuk menjalani rutinitas kehidupan di hadapan kita. Di ruang-ruang itu kita bisa melepas kelelahan kita pada rutinitas dan beranjak kembali dari tempat peristirahatan dengan pandangan dan semangat baru. Ada hal-hal yang sungguh berbeda dari apa yang ada di alam pikiran kita selama ini, dari teori-teori kita selama ini. Ada realitas lain dari yang kita lihat selama ini. Other’s take a different view dan terkadang kita harus memandang dari sisi mereka untuk bisa mengetuk kejujuran hati dan pikiran kita.
Ruang inspirasi itu sebenarnya ada di setiap tempat yang kita singgahi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar