Jumat, 25 Oktober 2019

Today's Yoga Session: Let's Talk About Relationship

Sebelum feeling menulis ini tertumpuk oleh hal lain dan menjadi lebih sulit untuk memanggilnya kembali, mari sini sejenak untuk sharing tentang apa yang saya dapatkan hari ini dari sesi yoga. Hari ini temanya cukup spesial dan barangkali sebagian dari kita akan sedikit malu-malu untuk membahas ini, termasuk juga saya. Mengapa tema kali ini cukup spesial bagi saya, karena sangat dekat dengan apa yang saya alami tahun kemarin hingga membutuhkan proses penyembuhan yang cukup panjang selama setahun ini.

Cukup relates juga dengan dua tulisan saya sebelum ini. Mari kita mulai merangkai puzzle itu. Saya sendiri juga masih dalam proses merangkai puzzle saya sendiri untuk melihat gambaran besar tentang diri saya dan apa yang harus saya lakukan selanjutnya agar menjadi lebih baik dan pola lama tidak terulang lagi.

Bahwa sejatinya hidup kita itu sendiri adalah relationship atau barangkali jika saya terjemahkan lebih ke keterhubungan atau koneksi, rather than menerjemahkannya secara bahasa dengan "hubungan" meskipun sebenarnya bisa juga sih. Hubungan kita dengan diri kita sendiri, dengan Tuhan, dengan alam, dengan benda di sekitar kita, dengan makanan yang kita makan, dengan orang-orang di sekitar kita, dengan orang asing yang kita temui di perjalanan, dan seterusnya. Semua saling terhubung dan sempurna. Semua sudah baik adanya. Semua dirangkai dengan sangat baik oleh leissez faire. Ada tangan tak terlihat yang mengatur itu, jika dalam bahasa ekonomi. Atau jika kita ambil konsep spiritualitas, semua sudah sempurna diatur oleh Tuhan.

Lalu, mengapa ada yang tidak berjalan sempurna seperti apa yang kita harapkan? Atau jika kita ambil teori Keynesian, mengapa ada kegagalan pasar? Mengapa ada resesi dan mengapa pasar tidak mampu pulih dengan sendirinya dari resesi itu? Lalu apa yang dikatakan oleh Keynesian? Perlu adanya intervensi dari pemerintah untuk mempercepat pasar kembali ke kondisi equilibrium-nya, kembali ke keseimbangannya.

Yah, mengapa semua yang sempurna itu menjadi tidak sempurna di mata kita?

Ya karena kita memikirkan hal itu tidak sempurna. Kita merasa kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Kita merasa hubungan kita dengan orang lain hancur berantakan. Ya memang kenyataannya seperti itu. Dan kenyataan terjadi dengan sempurna.

Nah, pola apa yang kita lihat dari "ketidaksempurnaan kenyataan" itu? Apa yang kita alami saat ini? Apa yang kita rasakan dari pengalaman kita itu?

Mari kita kupas satu per satu dalam diri kita sebelum menyalahkan orang lain atas tragedi yang terjadi pada hidup kita. Misal, ketika menghadapi sakitnya patah hati karena harus mengakhiri sebuah hubungan dengan salah satu significant person dalam hidup kita, apa yang kamu rasakan dan pikirkan pada orang tersebut? Apakah saya merasa dia tidak mencintai saya? Atau sebaliknya, apakah saya tidak bisa menumbuhkan cinta pada dirinya karena hal-hal yang membuat saya illfeel padanya? Apakah saya merasa saya tidak pantas untuk dicintai? Atau dia menyakiti hati saya dan terus menerus membuat saya merasa tidak berharga dan pantas hidup di dunia lagi?

Catat perasaan-perasaan yang hadir itu. Beri tiga highlight dari orang tersebut. Kemudian mari kita balikkan pada diri kita sendiri. Apakah saya pernah melakukan hal yang sama pada orang lain? Apakah pola tersebut juga ada pada diri kita? Lihat pola yang muncul dari setiap aksi dan reaksi kita pada sekitar selama ini. Tentang apa yang kita pikirkan dan rasakan.

Kemudian mari kita kembali pada masa kanak kita. Masa-masa golden age di bawah 5 tahun yang secara tidak sadar tertangkap oleh memori bawah sadar tentang apa yang terjadi pada orang-orang dewasa di sekitar kita saat itu. Tentang kejadian apa yang menimpa mereka dan bagaimana mereka bereaksi. Tentang bagaimana mereka bersikap pada kita di masa kanak-kanak itu. Ingatan apa yang terekam dan perasaan apa yang terekam saat itu oleh kita hingga membentuk pola kita yang saat ini.

Jika itu pola yang baik, berterima kasihlah pada mereka. Jika itu buruk, do not blame them. Blaming hanya merupakan tindakan yang sia-sia dan membuat kita tidak akan pernah beranjak dari tempat duduk kita sekarang. Apa yang kita alami di waktu kecil bisa jadi akan berpola juga ke bagaimana kita memperlakukan orang lain di masa sekarang bahkan ke anak-anak kita. Atau pola yang sama akan terjadi pada anak kita. Mengapa saat ini saya seperti sekarang ini, barangkali juga terjadi pada orangtua kita di masa mudanya yang merupakan pola dari orangtuanya, dan seterusnya semakin ke atas. Maka jika itu berpola, sesuatu yang tidak baik, harus dihentikan dan diputus mata rantainya dari kita saat ini.

Seperti mengupas bawang, kita buka satu per satu layer-nya hingga menemukan sumber dan intinya. Setelah menemukan inti itu, baru kita bisa perbaiki dari sana. Hingga nanti pola yang akan tumbuh sudah dengan pola baru. Layer yang akan tumbuh sudah merupakan layer baru yang lebih baik.

Sebenarnya banyak tools yang bisa kita gunakan untuk proses ini. Salah satu tools yang bisa digunakan untuk penyembuhan ini adalah mirror work. Kali ini kami dibimbing untuk menyelami lagi ke dalam diri dan menjalin hubungan yang lebih harmonis dengan diri sendiri. Mirror work memungkinkan kita untuk secara jujur melihat inner child yang ada dalam diri kita. Menyapa dia melalui kontak mata yang benar-benar bicara secara jujur. Apa yang sedang ia rasakan saat kita menyapa dia dan mengatakan rasa cinta kita padanya?

Saya teringat beberapa waktu lalu ketika berkunjung ke Artjog 2019, ada satu karya yang paling memantik hati saya. Mohon maaf saya lupa dengan judul dan senimannya. Tapi dalam caption penggambaran karyanya yang paling menyentuh adalah "focal point of heart: eye". Karya ini seperti tumpukan kayu yang kait-mengkait satu sama lain dan membuat sebuah lingkaran berlapis seperti angin tornado, dan di jika kita masuk ke lorongnya hingga ke bagian intinya, kita akan menemukan satu titik lampu dengan pohon kecil di dalamnya. Ini karya paling berkesan sih bagi saya. Benar sekali ketika saya masuk ke dalamnya dan memandangi satu titik pohon itu dari luar, ada ketenangan di dalamnya.

lorong menuju inti

focal point of heart: eye

Ah, saya sangat ingin mengapresiasi karya seni ini. Jika ada yang tahu judul dan siapa yang menciptakan karya ini, mohon beri komentar di bawah ya. Terima kasih sekali.

Seperti halnya hati kita. Pohon kecil itu bisa tumbuh. Sejauh apa kita merawat dia selama ini? Apa yang kita keluhkan tentang pertumbuhannya? Sejauh apa kita menjalin hubungan baik dengan diri sendiri dan melimpahinya dengan kasih sayang yang seharusnya kita berikan untuk dirinya? 

Ambil cermin, sapa dia melalui matanya. Lihat baik-baik apa yang mata itu katakan dan emosi apa yang ia rasakan saat kita bilang cinta padanya. Katakan padanya bahwa saya ingin berubah dan mencintainya dengan lebih baik.

Tentang keyakinan kita, pola pikir kita, pola sikap kita, apa yang perlu diubah? Break the negative pattern, fix it. Be honest, but do not to be perfect. Cinta tidak akan datang ketika kita meminta atau hunting. Jika ada yang datang, maka itu bukan cinta yang sebenarnya kita inginkan. Trust me, ini benar-benar saya alami. We only attract the main concern of our thinking. Ini bukan tentang memaksakan positive thinking, tapi lebih pada jujur dan membuat reaksi yang positif tentangnya. Lebih pada membiasakan pola. 

Yes, you're always enough to be loved. 



Rabu, 23 Oktober 2019

"The Feeling of Going Somewhere and Discovering New Things"

Penggalan akhir kalimat dari buku "Simple Life" karya Desi Anwar (hal. 152, bagian Travel):
"The feeling of going somewhere and discovering new things."
Saya sedang dalam proses menyelesaikan buku ini. Buku yang easy reading dan seperti judulnya, simpel, tapi bisa menjadi teman hangat untuk bercengkerama dengan diri sendiri. Saya berhenti sejenak setelah menyelesaikan bagian Travel ini ketika tiba-tiba ada pop-up di kepala untuk menuliskan ini.

Hmm... Rasanya sudah agak lama saya tidak merasakan perjalanan yang benar-benar deep untuk diri saya. Dalam artian, waktu di mana kita benar-benar menikmati proses perjalanan itu sendiri. Misal ketika berada di sebuah kereta atau bandara dan pesawat, bertemu singkat dengan orang yang benar-benar baru. Melakukan percakapan basa-basi dengan mereka kemudian tenggelam dalam pikiran masing-masing, entah bersama handphone, buku, atau lamunan. Biasanya saya dapatkan momen ini ketika dulu sering melakukan duty trip sendirian keluar kota. Ah, sudah lama ya ternyata...

Agaknya sesekali kita perlu melakukan perjalanan itu seorang diri, di mana kita benar-benar bisa membuat keputusan-keputusan mandiri selama perjalanan kita tentang apa yang akan kita lakukan, tentang apa yang kita pikirkan, tentang apa yang kita renungkan, dst. Atau sekedar memberi sapa hangat pada anak kecil yang melihat kita terheran-heran, kemudian kita penasaran dengan apa yang dipikirkan oleh wajah innocent mereka yang lucu tentang kita.

Saat itu barangkali bisa menjadi momen untuk melihat ke dalam diri kita, tentang siapa sebenarnya kita jika tidak ada orang yang mengenal kita. Menguji bagaimana akhlak kita ketika berinteraksi dengan orang-orang yang benar-benar baru dan asing tanpa kekhawatiran pada penilaian-penilaian.

Saat ini saya sedang tertarik untuk hal-hal yang saya temui secara random. Salah satunya ketika bertemu dengan teman baru di sebuah pameran seni rupa beberapa waktu lalu. Ternyata mengasyikan juga bisa menemukan teman baru secara tidak sengaja kemudian bisa berlanjut ke pertemuan-pertemuan selanjutnya untuk menghadiri pameran-pameran yang lain. Seperti mendapat kejutan-kejutan menarik dalam hidup.

Begitu juga dengan sebuah perjalanan di mana kita bisa banyak menemukan hal-hal baru dan kekaguman-kekaguman tentang suatu hal yang baru kita ketahui. Membiarkan diri kita sibuk "ber-wow-wow" dan merasakan antusiasme.

Agaknya perasaan "wow" itu bagus juga jika kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Menikmati perasaan antusias dalam setiap aktifitas yang dikerjakan. Mengasyikan ya.

Ah, iya. Beberapa waktu lalu saya sempat membahas secara singkat mengenai satu drama korea dan satu film pendek yang bercerita tentang pertemuan dengan orang asing di dalam suatu perjalanan kemudian jatuh cinta. Seperti film-film trilogi "Before...". Drama korea yang pernah saya tonton judulnya "Encounter" dengan 16 episode, dan film pendeknya merupakan iklan dari Angkasa Pura berjudul "Purnama di Terminal 3" garapan sutradara Adhiyat Mika dengan durasi sekitar 16 menit.

Film-film dan drama di atas sedikit banyak memberi gambaran setidaknya bagi saya tentang bagaimana menjadi orang yang "easy going", dan tidak kaku. Tidak perlu jauh-jauh dulu untuk klik dengan orang baru yang ditemui dan mengalami jatuh cinta. Paling tidak dari interaksi tiba-tiba itu ada pengalaman "kejutan" atau "wow moment" yang dapat kita temui. Selalu ada kebijaksanaan yang dapat kita ambil dari setiap orang yang kita temui, terlepas dari siapapun orangnya. Paling tidak kita bisa sejenak melepaskan diri untuk berinteraksi secara jujur tanpa kekhawatiran dan melepaskan diri dari bias penilaian baik dan buruk atau normatif pada orang lain.

Saya sendiri belum bisa seterbuka itu sih  ketika bertemu "stranger" dalam perjalanan. Bertemu dengan teman baru saat di pameran lukisan kemarin itulah pertama kali saya merasa mudah sekali klik dengan orang baru dan bisa santai sekali membuka diri dengannya. Sebelumnya saya lebih banyak mudah curiga dan cenderung lebih berhati-hati pada orang baru. Sedikit menyambung juga sih dengan post saya sebelumnya, tentang hasil perbincangan saya dengan para mentor dan perenungan saya tentang apa yang telah saya lewati selama ini. Ini lebih tentang bagaimana kita bisa membuka diri pada pengetahuan baru dengan tidak mudah memberikan penilaian pada orang lain di awal atau sesuatu yang baru. Tidak ada salahnya jika sesekali bisa sejenak membiarkan isi gelas kita kosong dan bersiap menerima pelajaran baru dari orang baru yang kita temui.

Jadi, siapkah untuk "jatuh cinta" pada wisdom baru dari perjalanan dan "orang baru"?




Sabtu, 19 Oktober 2019

Sweet Escape Diaries #1 - Catatan Pertemuan ke-3

Sudah setahun proses healing saya berjalan dan rasanya sangat bersyukur semakin ke sini merasa semakin banyak orang yang menyayangi saya, semakin banyak cinta yang dilimpahkan kepada saya. Salah satunya, Allah hadirkan para mentor yang selalu ada dalam setiap proses decision making saya selanjutnya, terutama tentang hidup. Ah, andai saja Allah hadirkan mereka sebelum tahun 2014. Atau wisdom saya saat ini sudah saya miliki sebelum tahun 2014. Tapi ternyata Allah hendak mengajarkan sesuatu pada saya. That's part of life. Pasti selalu ada rahasia baik, dari setiap kejadian yang dihadirkan Allah dalam hidup kita.

Jadi awal pertemuan kami dulu adalah ketika saya sedang berada di titik terbawah hidup saya akhir tahun kemarin, tiba-tiba ada ajakan untuk travel. Ah iya, saat itu saya sedang merindukan perjalanan dengan kereta ke daerah barat Jawa. Gayung pun bersambut. Tapi, karena lain dan suatu hal, pada akhirnya arah perjalanan kami ubah ke arah timur. Kami bertiga terbang ke Bali yang dimaksudkan untuk menepi. Saat itu di pesawat keberangkatan sekitar pukul 09.00 WIB tanggal 1 Februari 2019. Saya hanya bisa menangis di cabin pesawat dengan sodoran tisu dari mereka setelah melihat sebuah pesan masuk tentang kenangan 1 Februari di jam itu. Ada hati yang harus segera beranjak move on.

Hingga pesawat tinggal landas dan mendarat di Kuta, Bali. Satu cup cokelat hangat dari seorang kakak untuk mengobati gerimis saya, sementara mobil Mas Stefan sudah menunggu di luar kemudian melaju ke daerah Ubud sejenak menikmati suasana padang bunga edelweiss di ketinggian dengan satu kotak beng-beng dan setoples kopiko sponsor dari PT MAYORA (hahaha :D). Kemudian kami menyapa para peziarah pura untuk kemudian berakhir di lembah Gunung Batur menjelang senja. Sore itu di ujung danau Allah seperti memberi sebuah hadiah untuk mengukir lengkungan senyum kepada kami. Pelangi di ujung Bali. Sore semakin mendekati senja dan kabut turun perlahan. Musim hujan dan daerah pegunungan, tentu kami harus belajar menyesuaikan diri dengan cuaca dingin dan malam yang berkabut di sana.

Selama tiga hari di Bali, kami banyak membahas tentang bagaimana memberi cinta kepada orang di sekitar kita. Intinya sih bagaimana menjadi lebih bahagia. Kemudian hingga sekarang obrolan itu berlanjut mengenai topik-topik kesehatan mental. Kami berlatih untuk lebih mindful, menjaga kesehatan jiwa dan raga, berlatih yoga, dst. Satu per satu seperti ditunjukkan oleh Allah tentang wisdom apa yang seharusnya saya miliki dalam hidup.

Nah, malam tadi kami berkumpul kembali. Sebelumnya saya sempat mendapatkan sebuah pe-er untuk memaknai jatuh cinta dari pesan yang ingin Allah sampaikan melalui dua kenangan masa lalu saya yang cukup dekat dan masih membekas. Entah mengapa sedikit demi sedikit jawaban itu terbuka. Saya sempat memiliki anxiety di masa lalu tentang jatuh cinta hingga kemudian Allah hadirkan pesan langsung melalui kehilangan satu "significant person" dalam hidup saya tahun lalu.

Persis sekali saat kemarin mendapati satu feed post di Instagram Mas Adjie Silarus: "Sudah cukup jadi bucin, mengorbankan diri karena takut kehilangan. Sudah cukup pula jadi pembenci jatuh cinta, enggan menjalin cinta karena takut patah hati. Sudah saatnya urusan cinta dihadapi dengan berani. Berani kehilangan, berani patah hati. Itulah cinta yang sebenarnya."

Seringkali ketakutan-ketakutan kita itu mencegah kita untuk terbuka dan rileks menerima kebaikan orang lain, sehingga malah yang menjadi kenyataan adalah apa-apa yang terlalu kita khawatirkan dan takutkan. Saya sempat membaca juga tentang ini, dari The Secret, juga dari beberapa sesi sharing dengan guru yoga saya. Tentang Law of Attraction. Apa-apa yang paling banyak muncul di pikiran kita, bisa jadi dibaca oleh semesta untuk menuju ke bayangan yang ada di pikiran kita. Apalagi mereka yang memiliki intuisi tajam perlu sangat berhati-hati dalam mengelola pikirannya. Ah ini sebenarnya pembahasan yang cukup panjang tapi barangkali bisa saya rekomendasikan tulisan-tulisan dari guru saya, Ibu Amalina.

Beberapa hari yang lalu saya juga mendapatkan sebuah insight dari kelas Bapak Suwardjono mengenai penggunaan Bahasa Indonesia dalam tata bahasa tulisan ilmiah. Salah satu insight yang saya dapat tentang bagaimana sikap kita terhadap istilah/bahasa baru yang terkesan "aneh" di telinga. Apakah kita skeptis atau malah penasaran dan berusaha memahaminya? Pemikiran skeptis dan memberikan judgement di awal justru lebih banyak mencegah kita dari belajar dan memahami perspektif berbeda. Akibatnya orang akan cenderung berkacamata kuda, hanya berpikiran sempit dalam memandang dunia. Akan tetapi jika kita memberi ruang pada diri kita untuk belajar memahami tanpa memberikan judgement di awal, wisdom itu akan terbuka. Ibarat ketika berada di dalam aliran sungai, mereka yang panik dan merasa ketakutan akan tenggalam justru akan tenggelam. Sedangkan mereka yang rileks, akan memberikan ruang bagi dirinya untuk mengambil strategi dan belajar berenang ke tepi atau tujuan yang diinginkan. (Catatan: maaf jika masih menggunakan tata bahasa campuran meski sudah habis dapat pelajaran di kelas beliau. Ternyata menyesuaikan Bahasa Indonesia itu sulit juga. hehe) 

Begitu juga dengan hidup. Kepanikan, ketakutan yang hanya akan memapah kita pada pemikiran sempit dan satu arah, bisa jadi akan memapah arah hidup kita juga ke tempat yang kita takutkan itu.

Satu hal yang sedang berusaha saya latih sekarang adalah merilekskan pikiran, hati, dan harap. Men-tawakal-kan penuh kepada Allah dengan prasangka baik yang benar-benar mindful. Memaafkan masa lalu dan bahagia dengan apa adanya sekarang. Entah kejutan baik apa lagi yang Allah akan hadirkan, tenang, rileks, serahkan biar Allah yang mengatur. Berikan respect terhadap diri sendiri dengan menunaikan haknya untuk menjadi lebih baik. Self-respect.

Kamis, 17 Oktober 2019

Morning Glimpse

Berlatih mindfulness dari sebuah momen sarapan di pagi hari
Sebuah kumpulan pagi hari




Sebenarnya ingin menulis lebih banyak lagi tentang ini. Semoga lain waktu ada kesempatan lebih baik untuk mengalirkannya dalam tulisan di blog ini. 😊

Senin, 14 Oktober 2019

Family Business: Catatan Diskusi Hari Ini

Kami berempat berkumpul dalam ketertarikan kami pada dunia family business yang belum banyak dibahas di Indonesia secara gamblang dari sisi akademis. Meskipun background saya bukan dari manajemen yang lebih banyak membahas sisi praktis dan konsepsi perusahaan di level mikro, tetapi paling tidak saya sendiri menjadi salah satu aktor dari family business (in practice). Bukankah ke depan akan lebih banyak penelitian-penelitian kolaboratif antar disiplin ilmu?

Kembali ke masalah family business. Mengapa sih hal ini menarik untuk dibahas? Apa yang membedakannya dengan bisnis yang lainnya?

Pertama mari kita telaah dulu isi otak kita ketika mempersepsikan "bisnis keluarga" sebagai bisnis yang dijalankan oleh keluarga dan kerabat-saudara yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Faktor dari kekerabatan ini menjadi unsur penting bagi keberlanjutan bisnis yang jika kita tarik ke kacamata ilmu ekonomi juga berpengaruh terhadap livelihood keluarga antar generasi dengan akumulasi modal, aset, dan sumber daya ekonomi lainnya.

Lalu, seperti apa saja tipenya? Barangkali ada yang sifatnya hanya sebatas kepemilikan perusahaan tanpa ada campur tangan keluarga sama sekali, atau keluarga mengambil bagian dalam manajemen perusahaan dengan berbaur juga bersama tenaga profesional lainnya untuk menjalankan bisnis perusahaan, atau bahkan seluruh manajemen perusahaan dikendalikan oleh anggota keluarga.

Sisi yang paling banyak disoroti dalam bisnis keluarga ini adalah mengenai keberlanjutan perusahaan itu sendiri. Permasalahan profesionalitas dan gap antar generasi, baik itu mengenai figuritas dan orisinalitas nilai hingga permasalahan inovasi.

Collapse-nya satu perusahaan keluarga bisa berimplikasi pada collapse-nya ekonomi/livelihood satu keluarga bahkan untuk generasi selanjutnya jika bisnis itu menjadi lahan utama bagi keluarga. Barangkali kita bisa lihat perusahaan besar seperti Nyonya Meneer yang pada akhirnya harus gulung tikar. Perlu kita telisik juga isu-isu mengenai manajemen bisnis dalam keluarga di dalamnya. Apakah karena perusahaan gagal melakukan inovasi untuk menjawab tantangan pasar? Selayaknya Blue Birds yang hampir saja collapse karena terjangan Gojek, Grab, dan platform transportasi online lainnya. Jika ia terlambat melakukan inovasi barangkali nasibnya akan sama dengan Nyonya Meneer.

Itu mengenai inovasi. Bagaimana dengan bisnis kuliner yang pasar saat ini ingin kembali ke orisinalitas. Di mana dunia saat ini menuju era yang dapat dinamakan sebagai "experience economics", pasar menengah ke atas kini ingin mencari sesuatu yang dapat mereka experienced. Maka dari itulah kini berkembang industri pariwisata. Bahkan banyak bisnis kuliner di Jogja seperti Gudeg Yu Djum, SGPC, dll yang tetap menjaga orisinalitasnya namun tetap bisa bertahan di pasar. Lalu seberapa jauh inovasi dan orisinalitas dapat berdampingan untuk menjawab tantangan pasar?

Isu yang lainnya dan barangkali paling penting adalah mengenai suksesi perusahaan yang mana anak-anak mereka akan menjadi penerus bagi keberlanjutan bisnis keluarga di masa mendatang. Seberapa jauh suksesi penanaman nilai dasar perusahaan itu dapat diturunkan? Faktor apa saja yang dapat mempengaruhi keberlangsungan perusahaan hingga dalam jangka panjang? Siapa saja pemain utama bisnis keluarga di Indonesia yang sudah bertahan hingga tiga generasi? Bagaimana gap antar generasi dapat mempengaruhi kelangsungan bisnis dan berbagai isu-isu emosional lainnya.

Saya masih kesulitan membahasakan ide dengan kata-kata manajemen. Tapi ini bagian dari latihan permulaan saya.

Saya kok kepikiran ke depan bisa membangun network untuk para family business successors.

Ini hanya sekedar catatan pemantik bagi saya.

Catatan Malas: Kota dan Warung Kopi (Sebuah Daftar Pertanyaan untuk Dibahas 'Nanti-Nanti')

Agak terusik untuk menulis saja setelah membaca bahan diskusi "Etnografi Warung Kopi" dari postingan feed klub seri buku di Instagram. Tentang masyarakat kota yang hidupnya seakan nyaris tanpa jeda untuk bersosialisasi sehingga seperti perkataan Karl Marx bahwa kapitalisme telah mencerabut manusia dari dunia kemanusiaannya. Lagi-lagi biang keladinya adalah kapitalisme. Atas nama kapitalisme itu manusia kota mengejar "kecukupan materi" bernama pencarian jati diri melalui pekerjaannya. Kota, diidentikan dengan ritme kerja dan kapitalisme (tentang kapitalisme ini sendiri tentu banyak hal yang perlu dibahas di ruang tersendiri).

Saya sendiri agak tergelitik dengan asosiasi tentang orang-orang kota ini. Saya hanya ingin memunculkan beberapa pertanyaan yang agaknya malas saya jawab secara langsung di sini.

Apakah semua orang kota kehilangan jeda kemanusiaannya untuk bersosialisasi sehingga muncullah warung-warung kopi modern berbentuk kopi untuk menyuguhkan nuansa nostalgia ruang bersosialisasi? Agaknya sekarang ruang sosialisasi itu telah bergeser. 

Pertanyaan kedua adalah, apakah kita hanya akan menyalahkan orang-orang kota dan "kota" atas tergusurnya nuansa tradisional dan konvensional di masyarakat?

Tapi jika boleh memilih, saya lebih memilih menjadi orang kota dengan definisi 'pekerja'nya dan memiliki tempat kembali di desa yang memiliki asosiasi kelokalan, kearifan, rumah, tenang, dan waktu luang untuk bersosialisasi.

Saya tidak ingin memilih menghabiskan seluruh waktu hidup saya untuk menjadi orang desa dalam konteks sekarang. Tapi jika bisa menjadi "orang kota" yang tinggal di desa tentu itu juga menyenangkan.

Mohon untuk tidak ditafsirkan secara terburu-buru atas pertanyaan-pertanyaan dan kalimat-kalimat penjelas yang menggantung di atas. Biarlah menggantung.

Bukankah saat ini telah banyak gerakan-gerakan ekonomi di desa? Pemuda-pemuda inspiratif yang mampu menggerakkan masyarakat lokal  untuk bekerja dengan konteks kelokalan menjadi bernilai global. Mereka berusaha mendobrak sekat-sekat perdesaaan dan perkotaan.

Mari kita bayangkan 20-30 tahun kemudian di mana generasi yang memimpin telah berganti. Preferensi antar generasi tentu berbeda. Apakah budaya-budaya desa-kota ini masih akan ada?

Ingat, saya hanya ingin memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepala.

Apa yang saya asosiasikan sebagai orang kota dan orang desa sekarang adalah sampai saat ini saya masih mengasosiasikan orang desa sebagai generasi yang mendekati retirement mereka dengan pola pekerjaan yang kurang produktif (dari sudut pandang ekonomi) dan paradigma konservatif. Sedangkan orang kota saya asosiasikan dengan kelompok masyarakat yang bekerja di sektor formal dengan taraf pendidikan yang lebih tinggi dan paradigma yang lebih terbuka.
Tidak bermaksud mengkotak-kotakkan, karena saya sendiri juga yakin bahwa tidak semua masyarakat yang tinggal di desa maupun di kota seperti yang saya asosiasikan di atas. Ini hanya bayangan melekat di otak saya yang terbentuk karena pengalaman berinteraksi dengan mereka.

Maka saat ini, barangkali bisa saya sebut sebagai generasi pembaharu, sedang mencoba mendobrak itu semua. Kita hilangkan kesan masyarakat desa yang bodoh dan terbelakang dengan tingkat ekonomi yang rendah dan pemikiran yang kolot. Kita hilangkan juga kesan bahwa masyarakat kota itu anti-sosial, borjuis, dan tidak down-to-earth.

Pertanyaannya lagi adalah, apakah para pembaharu itu saat ini sudah ada di seluruh lapisan masyarakat dan bersiap untuk melakukan perubahan yang lebih baik? Apakah semua generasi phi, adalah orang yang well-educated dan berpikiran terbuka, sehingga mereka berkapasitas untuk mengubah atau hanya akan meneruskan dan mewarisi apa yang ada saja dari generasi sebelumnya dan sekedar melanjutkan hidup.

Karena pola pikir akan membentuk cara berperilaku yang nanti akan menjadi pola perilaku dan kebiasaan dan pada akhirnya akan menjadi sistem.


Minggu, 29 September 2019

Menyapa Kembali Sasikirana

Hai, apa kabar?
Sudah lama ya tidak saling bertukar kabar. Pasti banyak sekali cerita yang sudah kamu lalui. Apakah itu sedih? Apakah itu bahagia? Pasti dua-duanya.

Kalau begitu, kamu mau mulai cerita dari mana?
Mari sini aku seduhkan kopi.