Sabtu, 19 Oktober 2019

Sweet Escape Diaries #1 - Catatan Pertemuan ke-3

Sudah setahun proses healing saya berjalan dan rasanya sangat bersyukur semakin ke sini merasa semakin banyak orang yang menyayangi saya, semakin banyak cinta yang dilimpahkan kepada saya. Salah satunya, Allah hadirkan para mentor yang selalu ada dalam setiap proses decision making saya selanjutnya, terutama tentang hidup. Ah, andai saja Allah hadirkan mereka sebelum tahun 2014. Atau wisdom saya saat ini sudah saya miliki sebelum tahun 2014. Tapi ternyata Allah hendak mengajarkan sesuatu pada saya. That's part of life. Pasti selalu ada rahasia baik, dari setiap kejadian yang dihadirkan Allah dalam hidup kita.

Jadi awal pertemuan kami dulu adalah ketika saya sedang berada di titik terbawah hidup saya akhir tahun kemarin, tiba-tiba ada ajakan untuk travel. Ah iya, saat itu saya sedang merindukan perjalanan dengan kereta ke daerah barat Jawa. Gayung pun bersambut. Tapi, karena lain dan suatu hal, pada akhirnya arah perjalanan kami ubah ke arah timur. Kami bertiga terbang ke Bali yang dimaksudkan untuk menepi. Saat itu di pesawat keberangkatan sekitar pukul 09.00 WIB tanggal 1 Februari 2019. Saya hanya bisa menangis di cabin pesawat dengan sodoran tisu dari mereka setelah melihat sebuah pesan masuk tentang kenangan 1 Februari di jam itu. Ada hati yang harus segera beranjak move on.

Hingga pesawat tinggal landas dan mendarat di Kuta, Bali. Satu cup cokelat hangat dari seorang kakak untuk mengobati gerimis saya, sementara mobil Mas Stefan sudah menunggu di luar kemudian melaju ke daerah Ubud sejenak menikmati suasana padang bunga edelweiss di ketinggian dengan satu kotak beng-beng dan setoples kopiko sponsor dari PT MAYORA (hahaha :D). Kemudian kami menyapa para peziarah pura untuk kemudian berakhir di lembah Gunung Batur menjelang senja. Sore itu di ujung danau Allah seperti memberi sebuah hadiah untuk mengukir lengkungan senyum kepada kami. Pelangi di ujung Bali. Sore semakin mendekati senja dan kabut turun perlahan. Musim hujan dan daerah pegunungan, tentu kami harus belajar menyesuaikan diri dengan cuaca dingin dan malam yang berkabut di sana.

Selama tiga hari di Bali, kami banyak membahas tentang bagaimana memberi cinta kepada orang di sekitar kita. Intinya sih bagaimana menjadi lebih bahagia. Kemudian hingga sekarang obrolan itu berlanjut mengenai topik-topik kesehatan mental. Kami berlatih untuk lebih mindful, menjaga kesehatan jiwa dan raga, berlatih yoga, dst. Satu per satu seperti ditunjukkan oleh Allah tentang wisdom apa yang seharusnya saya miliki dalam hidup.

Nah, malam tadi kami berkumpul kembali. Sebelumnya saya sempat mendapatkan sebuah pe-er untuk memaknai jatuh cinta dari pesan yang ingin Allah sampaikan melalui dua kenangan masa lalu saya yang cukup dekat dan masih membekas. Entah mengapa sedikit demi sedikit jawaban itu terbuka. Saya sempat memiliki anxiety di masa lalu tentang jatuh cinta hingga kemudian Allah hadirkan pesan langsung melalui kehilangan satu "significant person" dalam hidup saya tahun lalu.

Persis sekali saat kemarin mendapati satu feed post di Instagram Mas Adjie Silarus: "Sudah cukup jadi bucin, mengorbankan diri karena takut kehilangan. Sudah cukup pula jadi pembenci jatuh cinta, enggan menjalin cinta karena takut patah hati. Sudah saatnya urusan cinta dihadapi dengan berani. Berani kehilangan, berani patah hati. Itulah cinta yang sebenarnya."

Seringkali ketakutan-ketakutan kita itu mencegah kita untuk terbuka dan rileks menerima kebaikan orang lain, sehingga malah yang menjadi kenyataan adalah apa-apa yang terlalu kita khawatirkan dan takutkan. Saya sempat membaca juga tentang ini, dari The Secret, juga dari beberapa sesi sharing dengan guru yoga saya. Tentang Law of Attraction. Apa-apa yang paling banyak muncul di pikiran kita, bisa jadi dibaca oleh semesta untuk menuju ke bayangan yang ada di pikiran kita. Apalagi mereka yang memiliki intuisi tajam perlu sangat berhati-hati dalam mengelola pikirannya. Ah ini sebenarnya pembahasan yang cukup panjang tapi barangkali bisa saya rekomendasikan tulisan-tulisan dari guru saya, Ibu Amalina.

Beberapa hari yang lalu saya juga mendapatkan sebuah insight dari kelas Bapak Suwardjono mengenai penggunaan Bahasa Indonesia dalam tata bahasa tulisan ilmiah. Salah satu insight yang saya dapat tentang bagaimana sikap kita terhadap istilah/bahasa baru yang terkesan "aneh" di telinga. Apakah kita skeptis atau malah penasaran dan berusaha memahaminya? Pemikiran skeptis dan memberikan judgement di awal justru lebih banyak mencegah kita dari belajar dan memahami perspektif berbeda. Akibatnya orang akan cenderung berkacamata kuda, hanya berpikiran sempit dalam memandang dunia. Akan tetapi jika kita memberi ruang pada diri kita untuk belajar memahami tanpa memberikan judgement di awal, wisdom itu akan terbuka. Ibarat ketika berada di dalam aliran sungai, mereka yang panik dan merasa ketakutan akan tenggalam justru akan tenggelam. Sedangkan mereka yang rileks, akan memberikan ruang bagi dirinya untuk mengambil strategi dan belajar berenang ke tepi atau tujuan yang diinginkan. (Catatan: maaf jika masih menggunakan tata bahasa campuran meski sudah habis dapat pelajaran di kelas beliau. Ternyata menyesuaikan Bahasa Indonesia itu sulit juga. hehe) 

Begitu juga dengan hidup. Kepanikan, ketakutan yang hanya akan memapah kita pada pemikiran sempit dan satu arah, bisa jadi akan memapah arah hidup kita juga ke tempat yang kita takutkan itu.

Satu hal yang sedang berusaha saya latih sekarang adalah merilekskan pikiran, hati, dan harap. Men-tawakal-kan penuh kepada Allah dengan prasangka baik yang benar-benar mindful. Memaafkan masa lalu dan bahagia dengan apa adanya sekarang. Entah kejutan baik apa lagi yang Allah akan hadirkan, tenang, rileks, serahkan biar Allah yang mengatur. Berikan respect terhadap diri sendiri dengan menunaikan haknya untuk menjadi lebih baik. Self-respect.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar