Ini adalah istilah Jawa yang menggambarkan orang yang terlanjur mendapat kalungan selendang dari sang penari mau tidak mau dia harus ikut menari. Yap, kurang akhir tahun kemarin diskusi tentang ini dengan seorang dosen dan beberapa kolega dalam lingkaran kami. Lagi-lagi tentang family business. Pernah saya tulis juga di blog beberapa waktu lalu.
Menjadi keturunan dari orang orangtua yang memiliki bisnis biasanya dianggap sebagai sebuah good fortune karena memiliki privilege lebih dari yang lainnya ketika bisnis keluarganya berhasil. Sebagai anak dari pemilik bisnis, biasanya akan diwarisi untuk meneruskan bisnis tersebut apalagi jika sudah memiliki nama besar. Jangan salah juga, kontribusi bisnis keluarga dalam perekonomian ternyata cukup besar. Kita bisa lihat Astra, Gudang Garam, dll. Meskipun sudah melantai di bursa, kepemilikan saham terbesar tetap dipegang oleh keluarga besar. Tidak sedikit pula pemilik bisnis juga berlaku sebagai pemangku manajemen. Jika bicara pada tataran bisnis besar, tentu itu adalah good fortune, meskipun tidak dipungkiri juga usaha pribadi tetap berperan di sana.
Bagaimana dengan bisnis keluarga yang berada dalam ranah UMKM?
Jika boleh berpendapat, tidak semua keturunan bisnis keluarga mendapatkan good fortune bagi dirinya. Bisnis keluarga bisa menjadi bisnis yang berkembang jika dikelola secara profesional. Mereka bisa melibatkan tenaga berkompeten untuk menjalankan bisnis mereka. Bisa pula mereka terjebak dalam lingkaran manajemen yang tidak profesional karena campur aduk kepentingan keluarga dan kepentingan bisnis secara profesional.
Studi Delloite Private menunjukkan hanya 13% dari total bisnis keluarga di Indonesia yang bisa bertahan hingga generasi ketiga. Biasanya generasi pertama yang membangun hingga berada di atas. Generasi kedua mengembangkan, dan generasi ketiga akan terjadi penurunan. Wow, this too scary. And there's no such thing as too big too fail. Let's see Nyonya Meneer.
Kembali ke fortune. Bagaimana jika orang yang terlanjur mendapat selendang penari itu sebenarnya tidak ingin ikut menari dan terpaksa menari?
Yes, sebagai orang yang "ketiban sampur" itu, barangkali saya merasa bersyukur di satu sisi karena usaha keluarga saya bisa menghidupi saya sejauh ini. Di lain sisi saya tidak ingin ikut menari tapi terpaksa menari. Ada beban tersendiri memang ketika kita ingin mengembangkan bisnis keluarga hingga bisa outopilot dan lebih profesional, tetapi terkendala pada sistem lama yang sulit dirubah. Curcol ini, kadang merindukan juga suasana keluarga yang tidak membahas bisnis dan pekerjaan. It feels like there is no home. Apalagi ketika tidak bisa dibedakan kapan berkumpul melepas penat bersama keluarga dan kapan berbincang tentang bisnis.
Seperti di film-film itu ya ternyata. Ah, kalau pernah nonton Crash Landing On You, teringat pada sosok Yoon Se Ri yang berasal dari keluarga pemilik bisnis. Konflik terjadi ketika ada kompetisi dari anak-anak pemilik bisnis tersebut. Kemudian salah satu akan memilih keluar dan membangun karirnya sendiri seperti Yoon Se Ri. Ahahaha. Kebanyakan drama.
Sempat kepikiran sebenarnya untuk membuat komunitas untuk para successor bisnis keluarga. Barangkali suatu saat kita bisa saling bertukar pikiran dan berbagi keluh kesah antar successor yang harus membawa nama besar keluarga mereka sepanjang hidup mereka. Wondering aja sih how they deal with personal expectation dan tuntutan keluarga.
It's not about how you get settled in your life. More than that, it's about how you create a good and greater impact. To have a meaningful life. To live meaningfully.
For the sake of my lifetime goal: Ph.D.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar