Untuk mengawali hari 1, saya coba tuliskan rencana tema yang ingin ditulis dulu ya. Akhir-akhir ini saya tidak bisa fokus di depan laptop untuk membaca dan menulis karena terlalu banyak distraksi angka-angka dan peristiwa yang mengharuskan lebih banyak bekerja di luar ruangan dan berhubungan dengan banyak orang. Di kepala saya masih kosong konsep.Sebenarnya ingin lebih banyak bicara pada isu-isu gender. Saya mengakui sebuah pernyataan bahwa semakin banyak bicara mengenai kesetaraan gender, semakin jauh justru kita berada pada konsep kesetaraan yang sebenarnya. Tapi ternyata agenda belum selesai. Kenapanya nanti kita bahas di sesi-sesi selanjutnya lah ya.
Tahun 2020 kemarin bacaan saya memang lebih banyak tentang itu. Dan agaknya saya perlu membuat tulisan-tulisan mengenai konsep kesetaraan yang saya pahami untuk barangkali bisa sedikit membantu meluruskan pandangan dengan kernyitan dahi orang-orang pada umumnya.
Saya sedang merampungkan proyek besar juga mengenai isu ini. Jadi ya mau nggak mau isi otak saya adalah itu meski sebenarnya masih banyak yang perlu digali lebih dalam lagi.
Ini tentang pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul di kepala. Mengapa sih di jaman modern ini masih membutuhkan bahasan yang terdengar sudah basi ini? Bukankah tingkat pendidikan perempuan sudah jauh lebih tinggi? Agenda apa sih yang belum selesai? Kesetaraan macam apa lagi yang mau dicapai?
Semoga besok tulisan itu sudah mengalir kembali.
Selamat menyambut tahun baru. Semoga lebih baik.
Note:
Saya berusaha sekali untuk tidak menulis hal-hal sentimentil dulu di sini. Kecuali kalau sudah mentok. Hahaha 😂
#30haribercerita
Sebenarnya bingung bahasannya mau mulai dari mana. Kenapa sih isu equality masih masuk dalam agenda pembangunan dunia? Mengapa masih saja pengarusutamaan perempuan, padahal setara kan harusnya tidak hanya perempuan kan?
Kita kembali lagi ke tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan level dan kualitas hidup masyarakat. Wellbeing.
Adapun standar wellbeing itu juga sampai sekarang masih dikaji. Dari pengukuran kuantitatif ekonomi negara dengan GDP, hingga ukuran-ukuran lain seperti kemiskinan, ketimpangan, indeks pembangunan manusia, juga indeks kesetaraan gender.
Lagi-lagi kenapa sih kesetaraan gender? Meskipun secara kuantitas populasi dunia laki-laki dan perempuan itu hampir sama (separo separo lah, mendekati), tapi UN sendiri masih mencatat adanya deprivasi akses pemenuhan kebutuhan dasar dari perempuan dibandingkan laki-laki di beberapa negara, khususnya di bidang kesehatan dan pendidikan.
Memang paling enak jika kita bicara langsung contoh konkretnya ya. Dan ini adalah contoh kasus, jadi bukan generalisasi.
Misal dalam suatu rumah tangga, ada yang cenderung lebih anak laki-laki daripada perempuan dalam hal akses pendidikan ketika budget mereka untuk pendidikan anak terbatas. Jadi, prioritasnya di sini bukan berdasarkan kemauan dan kemampuan yang bersangkutan tapi berdasarkan gender. Karena anak laki-laki dianggap lebih berperan dalam pencari nafkah di kemudian hari saat mereka beranjak dewasa. Anak perempuan dianggap akan menjadi tanggung jawab bagi laki-laki, sehingga tidak apa-apa untuk tidak bersekolah tinggi.
Pada kenyataannya, perekonomian dunia berkembang. Membatasi peran berdasarkan gender tidak selalu hal yang bijak untuk dilakukan. Bagaimana jika dalam satu rumah tangga tersebut tidak asa laki-laki yang bisa menafkahi mereka? Misal kepala rumah tangga adalah perempuan. Pencari nafkah utama adalah perempuan. Dan karena akses pendidikan mereka dibatasi, rata-rata pendapatan mereka lebih rendah dari pada rata-rata pendapatan laki-laki. Data juga berbicara demikian. Masih ada gap pendapatan antara laki-laki dan perempuan.
Contoh lainnya, ketika perempuan bekerja kemudian memutuskan untuk berhenti bekerja karena pernikahan. Entah itu mengikuti suami ke tempat bekerja suami, sehingga tidak bisa melanjutkan pekerjaan di tempat sebelumnya atau karena ingin fokus mengurus rumah tangga dan anak-anak. Pendapataan mereka akan menjadi nol dan sepenuhnya bergantung pada pendapatan suami.
Beruntung jika mendapatkan pernikahan yang bahagia sakinah mawaddah warahmah. Bagaimana jika tidak? Berapa banyak yang kemudian menjadi janda karena bercerai atau suami meninggal dengan mereka tidak memiliki mata pencaharian sendiri? Mereka akan menjadi kelompok yang paling rentan ketika terjadi guncangan. Guncangan pada istri yang tidak bekerja akan cenderung lebih besar daripada guncangan pada suami sebagai pencari nafkah ketika terjadi perpisahan.
Beberapa studi juga menunjukkan (bukan tulisan ilmiah jadi nggak pakai sitasi gk papa ya 😅), bargaining power perempuan dalam rumah tangga cenderung lebih tinggi ketika perempuan itu berpenghasilan. Ini bisa jadi menunjukkan kita pd hipotesis bahwa perempuan yang tidak bekerja tentu tingkat ketergantungannya lebih tinggi kan, sehingga bargaining power mereka lebih rendah dalam pengambilan keputusan.
Bargaining power yang rendah itu menunjukkan apa? Less representation. Adanya deprivasi kesempatan mereka utk berperan. Kesempatan untuk hidup lebih berdaya. Kalau istilahnya Amartya Sen, "to function in society".
Bahwa hak setiap individu untuk hidup secara bermartabat itu perlu dipastikan tetap ada untuk siapapun, apapun gender dan kebutuhan khusus mereka.Dari contoh kasus di sesi-sesi sebelumnya paling tidak bisa kita lihat adanya deprivasi kesempatan seseorang untuk mencurahkan potensi penuh mereka. Menjadi versi terbaik dari diri mereka. Beda kan mereka yang mendapat kesempatan bersekolah lebih tinggi, kesempatan untuk memaksimalkan potensi mereka lebih beragam daripada yang tidak. Berapa banyak yang karena kesempatan itu tidak ada, harus menjalani satu pilihan hidup untuk bertahan hidup dengan pendapatan yang lebih rendah.
Intinya adalah menggandakan pilihan dengan memberikan kesempatan.
Dari contoh kasus perempuan menikah yang kemudian menjadi kepala rumah tangga, kita bisa melihat sulitnya mereka untuk kembali ke pasar tenaga kerja dan bersaing kembali untuk mendapatkan penghidupan yang layak.
Belum lagi stigma yang harus mereka hadapi. Laki-laki bercerai atau istrinya meninggal, cenderung memiliki kesempatan menikah lagi yang lebih tinggi daripada his counterparts. Apalagi jika dipandang lebih mapan, status duda bukan lagi menjadi persoalan. Bagaimana dengan status janda? Wow, barriernya lebih berlapis. Oh berarti sudah bukan perawan ya. Oh pernah gagal ya. Oh kalau menikah lagi tidak setia dong dg almarhum suami. Dll dst
Bisa lihat perbedaannya?
Meskipun kita bisa mengklaim bahwa perempuan sekarang sudah jauh lebih berdaya dari sebelumnya. Tapi masih banyak pekerjaan rumah.
Oke, kita lanjut lagi. Ketrigger sm obrolan perkoncoan duniawi @romihartarto dan @kanetasya di twitter. Nanggepin twit mbak-mbak ituh ttg women empowerment. Sbenernya mau bahas ini agak akhir2, tp gk papa disinggung sdikit di awal. Nanti pengin sedikit bahas juga ttg empowerment index dan poverty line. Ini bisa jadi bahan penelitian baru kalau mau.Agak rempong jg ya trnyata bikin kerangka berpikir ttg isu2 ini. Banyak banget soalnya topiknya.
Satu hal yang perlu kita garisbawahi di sini ya...
Spektrum dari pemikiran orang itu luas. Bukan berarti ketika seseorang setuju pada pendapat orang di poin tertentu, dia akan setuju pada pendapat orang tersebut di poin lainnya. Makanya ketika bicara isu gender lebih aman menurut saya sih bicara pada tataran kasus. Salah satunya konteks keterwakilan kuantitas perempuan di bidang tertentu. To some extent saya oke dengan ini, tapi ada satu sisi di mana kontribusi bermakna itu jauh lebih penting daripada sekedar jumlah daftar hadir.
Nah, bicara equality, tentu harus dari both side dong ya...nggak bisa sisi perempuan aja. Makanya bener, semakin bicara kuantitas proporsi by gender, semakin jauh sebenarnya dari equality itu. Atau kita memang baru di level awal dari pencapaian equality itu sendiri.
Nah, jan jane sejauh mana sih kita memaknai equality itu?
Ini sebenarnya pengin saya bahas tersendiri. Dari pembahasan standar ganda, invisible labor yg dibahas Gemma Hartley dalam bukunya, patriarki, gender based violence, toxic masculinity dll...
Tapi kembali dulu ke bahasan makna yang ingin dicapai dari gender equality. Seringkali kita membuat batasan diri bahwa sebagai perempuan, harusnya tuh lemat lembut, dll. Begitu juga dg laki-laki, harusnya tuh sangar 🤣, gk boleh nangis, dll. Punya pengalaman juga nih dulu ketika diminta utk memimpin suatu organisasi, seringnya nolak dg alasan kalau bisa yang cowok dulu aja. Berpikiran bahwa saya sebagai perempuan masih butuh dibimbing. Padahal barangkali di antara yang lain kita dianggap lebih capable untuk memimpin saat itu. Hal ini yang secara unconcious terbentuk dalam diri kita karena pengaruh juga dari society. Begitu juga dengan pelabelan jenis pekerjaan tertentu dengan gender tertentu. Kenapa ya fakultas psikologi kebanyakan mahasiswanya cewek. Kenapa ya anak teknik kebanyakan cowok. Ada nggak sih yang dari awal memilih jurusan sudah memikirkan oh ini jurusan cowok, ini jurusan cewek. Kemudian pelabelan itu berlanjut ke ranah profesi. Sehingga minoritas gender yang berada di profesi tersebut dianggap sebagai outlier.
Jadi, masih perlu nggak sih menuntut jumlah proporsi tertentu untuk keterlibatan perempuan di suatu bidang? Well, nggak sepenuhnya jelek juga sih. Tapi jauh sebelum menuntut proporsi kuantitas itu, gimana caranya pelabelan itu diminimalisir dulu deh kalau belum bisa ditiadakan.
Sebenarnya analoginya sama dengan pelabelan disabilitas dan non-disabilitas. Oh mereka yang disabilitas dinilai tidak bisa melakukan pekerjaan tertentu dibandingkan yang non-disabilitas. Atau pengkotak-kotakan disabilitas berdasarkan hambatannya sehingga melabelkan suatu hambatan pada kecocokan pekerjaan tertentu.Padahal, kita tidak pernah bisa mengeneralisir kemampuan seseorang atas dasar disabilitas maupun non-disabilitas, laki-laki dan perempuan, dll. Setiap orang memiliki kapasitas dan keunikan yang berbeda-beda.
Kadangkala dan sering juga sih, pengkotak-kotakan label itu hanya membatasi ruang kita secara sadar maupun tidak sadar pada kesempatan untuk berkembang lebih.
Teman-teman penyandang disabilitas (tanpa memberikan mereka pelabelan), bisa lebih berkembang sesuai dengan kemampuan terbaiknya ketika memang diberikan fasilitas untuk meniadakan hambatan mereka. Begitu juga dengan gender apapun. Laki-laki tetap bisa berperan dalam mengorganisir warna dan busana anak, misalnya, yang seringkali dipandang sebagai pekerjaan perempuan. Atau mereka bisa memasak untuk istrinya juga. Begitu juga dengan perempuan, jika dia mampu memperbaiki kran rusak, tidak masalah juga jika dia melakukan pekerjaan itu.
Balik lagi ke bahasan peran antar gender dalam sebuah rumah tangga. Saya sendiri setuju pada pandangan bahwa selain hamil dan menyusui, segala pekerjaan rumah tangga bisa dilakukan oleh kedua belah pihak (laki-laki maupun perempuan). Bisa dengan pembagian sesuai kesepakatan, atau mekanisme lainnya yang sama-sama menyenangkan untuk kedua belah pihak. Jadi semangatnya bukan lagi dikotomi pemenuhan kewajiban, ini kewajibanku itu kewajibanmu, tetapi lebih ke semangat untuk saling melayani. Dan itu tentunya harus seimbang. Keduanya harus punya semangat yang sama. Bukan lagi karena itu kewajibanmu, maka di sini aku hanya membantu ya...Tetapi lebih pada karena ini tanggung jawab bersama, maka kita handel bersama. Aku bagus di bidang ini, kamu bagus di bidang itu, mari lakukan yang terbaik bersama.
Ya...barangkali ini terdengar terlalu klise atau gimana ya...hahaha. tapi beneran ada lhoo
Jadi gitu ya...
Terus kalau yang ingin dicapai endingnya nanti tidak perlu ada pelabelan, kenapa masih bahas gender equality? Masuk di SDGs nomor 3 lagi. Yang diklaim sebagai enabler dari pencapaian hasil-hasil pembangunan lainnya.
Kondisi saat ini, kita ternyata belum sampai ke sana.
:D