Kamis, 13 November 2014

Mempertanyakan Janji Bhisma

Setiap niat baik akan diuji kemurniannya. Setiap keputusan yang diambil akan diuji keteguhannya.

 Kemarin malam, saat Kurusetra berkecamuk dalam perang
Saat para Pandhawa panik dengan pasukan yang jauh berkurang
Saat kemudian Kresna dan Bhisma saling beradu murka
Seketika waktu berhenti. Kuruserta hening
Hanya ada mereka berdua yang berunding wicara
Bhisma...untuk siapa sumpahmu? 


Anu, saya sedang bingung mau nulis apa. Tadinya mau dibuat serius tapi kehilangan kata-kata begitu saja. Saya hanya teringat dengan percakapan Bhisma dan Kresna di Kurusetra kemarin malam. Kresna benar-benar marah pada Bhisma. Ia mempersalahkan Bhisma karena sumpahnya dulu yang membuat peperangan itu terjadi dan ada orang-orang yang terlukai.
Saat itu Kresna menuduh Bhisma terlalu egois dengan sumpah wadatnya. Dia tidak memikirkan akibat yang mungkin terjadi jika sumpah itu diambil dulu. Ia hanya memikirkan kebahagiaan untuk ayahnya. Keegoisannya untuk menolak jabatan sebagai seorang raja. Sementara Bhisma tidak mengerti apa yang dipermasalahkan oleh Kresna karena selama ini dia merasa telah berbuat sebenar-benarnya. Tak peduli bahwa ia telah menumpahkan banyak darah dan kesengsaraan untuk banyak orang karena sumpah yang telah ia ambil.
Saya jadi berpikir bahwa keduanya memang salah. Kresna yang padahal dia adalah seorang titisan dewa sangat mengherankan saya karena dia sendiri tidak bisa menerima takdir. Dia memprotes hal-hal yang sudah terjadi. Dia dalam kondisi ini seperti orang yang selalu mencari kambing hitam dari setiap kejadian. Tapi kemudian dia cukup gentle dengan memberi tawaran dua alternatif penyelesaian. Bhisma mengakui kesalahannya atau dia harus mati sebagai penebus kesalahannya.
Bhisma juga terlalu naif dengan dirinya. Dalam hal ini saya sedikit mengikuti pola pikir Kresna bahwa dia adalah orang yang tidak bisa menentukan prioritas dalam hidupnya. Prioritas pengorbanan. Maka apakah pengorbanan besar yang telah ia lakukan itu sia-sia? Tentu tidak ada yang bisa menjawabnya dengan pasti. Semua tergantung dari sudut pandang mana orang menilai. Memang benar ia meniatkan itu untuk tujuan yang mulia. Tapi apakah cara itu bisa dibenarkan dan apakah tujuan yang mulia itu memang benar-benar kebaikan dan kebenaran? Apakah bisa dibenarkan juga membenarkan sesuatu dengan mengorbankan sesuatu yang lebih besar? Kondisinya adalah saat itu Bhisma tidak tahu akibat yang akan terjadi di kemudian hari. Itulah takdir yang harus ia tempuh. Ya, itulah takdir yang sudah terjadi dalam kehidupannya.
Bisa jadi saat Amba menyapa kehidupannya, ia anggap itu sebagai ujian untuk keteguhannya akan keputusan yang telah ia ambil. Bahkan kemudian itu menjadi ujian keteguhan sepanjang hidupnya.
Maka kemudian kita akan kembali mengingat satu sosok wanita lagi, yang dijuluki Dewi Roro Amis. Ya. Dia yang mensyaratkan sesuatu yang berat untuk Bhisma dan ayahnya. Wanita. Betapa signifikan perannya dalam menentukan masa depan peradaban dunia. Maka kemudian Bhisma mengambil sumpah itu dengan dalih untuk berbakti kepada ayahnya. Saya lagi-lagi berpikiran ala Kresna, apakah baktinya itu berada dalam kebenaran? Adakah ia tidak memperhatikan keinginan ayahnya dulu bahwa dialah yang akan meneruskan tahtanya. Mungkin saat itu jabatan sebagai raja adalah sesuatu yang melenakan bagi Bhisma maka ia memilih untuk menempuh jalan yang menjauhinya.
Ah, saya jadi teringat dulu ketika diminta untuk mengambil tanggungjawab sebagai pucuk pimpinan suatu organisasim saya juga berpikiran bahwa itu adalah jabatan yang berat dan melenakan dan saya merasa tidak pantas untuk itu. Adakah Bhisma juga berpikir demikian? Saya hanya berpikiran bahwa mungkin dengan diamanahkan ke orang lain, semuanya akan jadi lebih baik. Adakah Bhisma juga berpikir demikian? Maka kemudian saya dan Bhisma telah memutus satu deretan nasab dalam sejarah dan itu telah menjadi takdir yang harus kami lalui.. (maaf, saya agak lebay ya? hehe)
Tinta telah kering, pena telah diangkat.
Semua akibat telah terjalani dari sebab yang telah diambil. Mempertanyakan sesuatu yang telah terjadi bisa jadi sebuah kesiaan. Maka hal selanjutnya yang dapat dilakukan adalah menerima segala akibat yang telah terjadi dan merancang penyelesaian terbaik dari akibat yang ada. Akibat baik maupun buruk. Bagaimana membuat akibat buruk tidak terjadi dan bagaimana agar akibat baik itu yang terlestarikan.
Dari sini kita belajar bahwa tidak akan ada yang tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Sekuat apapun sesuatu itu telah kita usahakan. Pada akhirnya Allah Yang menentukan akibat yang akan terjadi. Maka Dialah sebaik-baik perencana. Akan indah sekali jika dulu Bhisma shalat istikharah sebelum mengambil sumpah itu kali ya...hahaha
Memang benar adanya, segala keputusan dan niat akan ada ujiannya. Seperti yang saya alami ketika memutuskan untuk berhenti bekerja demi berbakti kepada orangtua, seketika tawaran kerja bertubi-tubi berdatangan (curcol). Benarlah kemudian Allah akan mempertanyakan niat dan kesungguhan kita. Ya, begitulah.
Yang bisa kita lakukan adalah selalu berharap pada-Nya untuk selalu dituntun niat dan jalannya. Apapun. Apapun yang terjadi, semuanya Allah Yang Menghendaki. Maka sudut pandang terindah sebagai seorang hamba adalah bahwa apapun yang terjadi adalah wujud kasih sayang-Nya.

sumber gambar_muhasabah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar