DISCLAIMER: Kalau tidak mau pusing, langsung loncat ke paragraf ke-8 untuk bahasan utamanya. Tapi kalau mau menikmati alur soliloquy saya, yuk mari, selamat membaca dari awal. Semoga tidak mual. Hahaha
Sepertinya bahasan saya belakangan ini tidak jauh-jauh dari ini. Well, saya pernah berada di satu kondisi di mana pandangan saya terhadap feminismus itu negatif dan benar-benar mengikuti alur berpikir itu hingga berwujud nyata. Setelah saya renungi lebih jauh, dan saya berada di posisi sekarang, yes, I used to think "the other way" yang pada saat ini saya pikir itu bodoh. Tapi saya tidak ingin menyalahkan diri saya di masa lalu. Saya berada di wisdom saya yang sekarang ya karena saya pernah berada di masa lalu yang seperti itu.
Oke, apa sih masa lalu dan masa sekarang saya? Tentu saja tidak akan saya bicarakan di sini. Gila apa.
Enggak sih, tetap saja saya akan membicarakannya (dengan cara yang lain).
Yes, saya senang dengan pemikiran saya sekarang untuk menjadi seorang feminist. Uwuw, dulu saya dengar ada orang mengklaim dirinya sebagai seorang feminist saja sudah mengernyitkan dahi. Bahkan sekarang saya bahagia dengan adanya pemikiran ini. Oh my God! Kemana saja saya selama ini? Iya itu tadi, kurang baca. See? Sometimes you will know the beautiful things only if you slow down. Eh, tapi saya juga harus berhati-hati sih untuk mengklaim diri sebagai seorang feminist jika laku dan pikiran saya belum sepenuhnya mencerminkan hal yang sebenarnya. Sama juga seperti ketika dulu pernah diskusi dengan seorang kolega waktu acara di Solo (sebut saja Bang Edo bageur, katanya :D) tentang penghapusan kolom agama di KTP. Apakah kamu bisa mengklaim dirimu sendiri seorang muslim? Saat itu saya menimpali ya, kita sebagai seorang yang bersyahadat harus bangga dong dengan keIslaman kita. Menunjukkan identitas bahwa kita seorang muslim itu perlu. Misal sebagai manusia kita berhak dong ya ketika kita nanti meninggal, disemayamkan dengan cara yang selayaknya agama kita anut. So, what's the point of not to mention your religion or religious view?
Sampai sekarang saya masih memikirkan hal tersebut. Ini menurut saya lebih ke pemahaman sufi sih. Gini, apakah kita benar-benar tahu bahwa Allah dan Rasulullah menerima kita sebagai seorang umatnya Rasulullah? Damn, menurut saya ini lebih dari sekedar pengakuan identitas di KTP sih. Ini lebih ke penghambaan. Sejauh apa sih sebenarnya kita sudah mengamalkan agama yang kita anut secara kaffah? Apakah kita yakin amal-amal kita diterima? Bagaimana kalau kita menjadi golongan orang yang di akhirat nanti seperti yang ada di hadist, dengan membawa amalam yang segunung, kemudian ditolak mentah-mentah sama Allah. "Kamu berdusta!" Itu se-broken-broken-nya patah hati.
Ah lagi-lagi saya suka gini, untuk menuju ke inti dari apa yang sebenarnya mau ditulis, saya menggiring pembaca berbelok dulu ke yang lain. Baik, kembali ke feminism. Jadi, saya tidak jadi mengklaim diri sebagai feminist lho ya, tapi saya sedang belajar dan menemukan hal yang membuat saya ber-wow-wow tentang itu. Sama halnya dengan salah seorang kolega lain yang kemarin bertanya-tanya apa sih sebenarnya "economist" atau ekonom itu? Kriteria apa yang yang disematkan pada seseorang sehingga layak disebut sebagai seorang ekonom? Apakah tanpa mengambil economics degree juga bisa disebut ekonom? Nah, ini bahasan lain lagi. Hahaha. Intinya what's the matter of claiming the identity? Iya, betul, to some extent diperlukan, tapi jika kita return to the meaning, acts speak louder. Dan satu lagi: innamal a'malu binniyat. (Serius saya pernah hapal hadist pertama kumpulan Imam An Nawawi ini. Klaim yang tidak penting.) Ini kenapa jadi bahas identity woy.
Baik, sekarang benar-benar bahas sesuai judulnya. Jadi itu kemarin sempat chit-chat dengan beberapa kolega lain membahas postingan teman mengenai emotional works (domestic works) dalam pandangan syariat Islam. Bahasan ini semakin santer setelah adanya pandemik yang mengharuskan hampir semua orang untuk tinggal di rumah saja. Jadi kan banyak tuh mencuat bahasan mengenai gender imbalance of domestic works. Bersamaan dengan bulan Stop Discrimination Maret lalu. Pokoknya Maret adalah bulan kesetaraan untuk semua lah.
Teman saya (Fahmi) kemarin juga bahas tentang ini di IG Stories-nya (Uh, senangnya semakin banyak laki-laki yang berpandangan feminist). Saya ceritakan singkat saja, dia juga mengutip salah satu perkataan Asy-Syirazi dalam Al Muhadzdzab yang di-syarahkan Imam An Nawawi:
"Tidak wajib atas istri berkhidmat untuk membuat roti, memasak, mencuci, dan bentuk khidmat lainnya..." (Asy-Syirazi, al-Muhadzadzab, jilid 15, hal 581).
Juga kutipan yang lain ketika dia mempertanyakan, mengenai adat dan kebiasaan masyarakat yang sudah melekatkan urusan domestik berdasarkan gender tertentu:
Menurut Al Bujairimi yang menjelaskan dalam Hasyiyah-nya ketika ada pertanyaan, "Apakah suami wajib memberi tahu bahwa istrinya tidak wajib berkhidmat, seperti memasak dan menyapu sebagaimana yang berlaku pada adat?" "Kami menjawab zahirnya yang pertama, yaitu suami wajib memberitahu, sang istri akan menyangka khidmat tersebut sebagai kewajiban."
Pas juga sih saya sedang baca bukunya Gemma Hartley judulnya FED UP yang belum kelar-kelar juga. Di sana juga banyak membahas mengenai emotional labor. Apa lagi itu emotional labor? Lihat wikipedia:
Emotional labor is the process of managing feelings and expressions to fulfill the emotional requirements of a job.
Bahasa singkatnya untuk konteks ini, sependek yang saya pahami, adalah pekerjaan domestik kaitannya dengan taking care yang selama ini disematkan pada identitas gender tertentu, atau "female work". Nah, dalam chit-chat itu kami sedikit berkesimpulan bahwa penyematan identitas gender pada pekerjaan domestik itu sesungguhnya adalah konstruksi budaya, bukan dari pengamalan syariat. Barangkali banyak yang mengernyitkan dahi ini. Ah, pemikiran kami terlalu liberal.
Yes, memang dalam sebuah hadist disebutkan mengenai pahala seorang istri yang menghidangkan segelas air minum untuk suaminya seperti beribadah umroh. Begitu juga dengan kewajiban seorang istri untuk patuh pada ajakan suami. Barangkali akan ada juga yang membenturkan derajat perkataan ulama dengan hadist. Tapi bukan kapasitas saya untuk itu ya...saya hanya bercerita tentang apa yang saya dan teman-teman saya bahas kemarin. Bisa benar, bisa salah.
Sebenarnya perlu tidak sih division of labor based on gender? Itu sih inti yang ingin saya bahas di sini. Ini opini saya lho ya, sependek yang saya baca juga, saya kurang sepakat dengan penisbatan suatu pekerjaan terhadap gender tertentu. Misal, tugas masak adalah tugas istri. Tugas mengurus rumah tangga dan anak-anak adalah tugas istri. Dalihnya adalah kemelekatan otak dan hormon perempuan yang cenderung lebih detail daripada laki-laki. Secara realitas yang selama ini terjadi barangkali itu bisa benar. Tapi jauh sebelum itu terjadi, saya pikir kita tidak bisa mengkotak-kotakan suatu pekerjaan rumah tangga hanya baik jika dilakukan oleh gender tertentu. Misal membenarkan genteng yang bocor adalah pekerjaan laki-laki. Pekerjaan perempuan adalah memasak, menjahit, dan apa-apa yang selama ini kita lekatkan padanya. Hipotesis saya adalah, itu berakar dari konstruksi budaya yang dibina dari pembiasaan di keluarga. Coba kalau anak laki-laki kita juga dibiasakan untuk memasak sendiri makanannya, tentu tidak ada lagi yang memberikan pemakluman "maklum, masakan lelaki". It's simply about duration. Jam terbang. Pembiasaan. Bahkan Rasulullah pun menjahit sendiri pakaiannya yang robek.
Hal menarik yang saya baca dari bukunya Gemma Hartley adalah bagaimana konstruksi budaya itu telah membuat suatu standar ganda pada perempuan. Salah satu hal yang dia ilustrasikan di dalam bukunya adalah ketika ia meminta suaminya menjaga anak-anaknya di rumah sementara dia harus menghadiri undangan makan bersama teman-temannya. Teman-temannya bertanya-tanya di mana anak-anak? Mengapa tidak dibawa sementara yang lainnya membawa anak-anaknya? Dia menjawab bahwa anak-anak sedang bersama suaminya di rumah. Seketika pujian ditujukan pada suaminya. Wow, kamu memiliki suami yang hebat karena bersedia berbagi peran. Atau di kesempatan lain ketika suaminya mendapatkan jadwal untuk berbelanja kebutuhan rumah bersama anaknya saja tanpa didampingi istri, orang-orang kemudian membuat pujian kepadanya. Sekarang jika dibalik, si istri melakukan hal yang sama, apakah pujian yang sama akan berlaku kepada istrinya?
Saya ingat sebuah perkataan dari seorang narasumber Lalita Project beberapa waktu lalu, bahwa seseorang ketika sudah tidak lagi dipuji atas pekerjaannya, itu menandakan sudah konsisten dan lamanya ia melakukan pekerjaan itu. Nampaknya jika kita kaitkan dengan kasus di atas bisa jadi benar. Ya, kita kebanyakan dipuji atas hal-hal yang tidak biasa, bukan?
Padahal...seharusnya pekerjaan taking care bisa dilakukan oleh keduanya dengan baik. Memang tidak masalah dengan seorang istri yang memilih untuk mengambil alih semua pekerjaan domestik agar suami bisa fokus bekerja mencari nafkah. It's really fine, jika memang didasarkan atas keputusan sadar dan bebas. Freedom to choose. Dan salah satu inti dari tujuan dari pembangunan yang saya pelajari dari Amartya Sen adalah tentang kebebasan dalam memilih. Daripada karena keharusan, keterpaksaan. Keharusan berarti memang tidak ada pilihan lain yang bisa dipilih. Yang saya titik beratkan di sini adalah pada konstruksi sosial yang bisa berimplikasi pada insecurity seorang istri ketika melakukan tektok dengan suaminya mengenai division of domestic labor. Ketika istri tidak melakukan pekerjaan tertentu maka dia termasuk seorang istri yang pemalas, tidak bisa melayani suami, dll. Wow, padahal jika balik lagi ke syariatnya, justru kewajiban memberi nafkah lahir dan batin itu suami lho. Istri hanya membantu. Nafkah tidak selalu dalam bentuk uang belanja yang secara tidak langsung harus diterjemahkan oleh seorang istri untuk dibelanjakan dan disulap menjadi kebutuhan sehari-hari keluarga berupa masakan yang siap dihidangkan di meja. Boleh juga lho nafkah itu diwujudkan langsung dalam bentuk makanan yang dihidangkan di meja untuk istri atau lansung disuapkan ke mulut istri dan anak-anaknya. Tapi saya tidak ingin juga meletakkan kewajiban sepenuhnya pada sosok suami. Kasihan juga sih. Ya gimana lagi tanggung jawab kalian berat bung. Dunia akhirat. Makanya kami sebagai istri harus patuh.
Tapi, instead of membicarakan pembebanan kewajiban pada suami apa, pada istri apa, saya pikir akan lebih nyaman jika konstruksi itu berakar dari sebuah tanggung jawab yang setara. Equality. Bahwa selain mengandung dan menyusui, semua aktifitas pekerjaan rumah tangga juga bisa dilakukan oleh suami. Begitu juga istri. Semua punya tanggung jawab yang sama dalam berjalannya suatu rumah menjadi nyaman untuk penghuninya atau tidak. Dan itu simply adalah masalah skill. Basic skill yang kemampuannya bisa diasah dari pembiasaan dan juga berakar dari pendidikan di keluarga masing-masing.
Yang mau saya tekannya di sini adalah untuk tidak perlu lagi seorang istri merasa insecure atau merasa bersalah ketika belum memasak makan malam untuk keluarga karena belum sempat. Karena merasa itu adalah tanggung jawab dia. Sebagaimana yang berlaku di society untuk kata "seharusnya". Sementara suami tidak merasa bersalah dengan kondisi yang sama. Saya pikir kita bisa saling berbagi peran dengan lebih fleksibel tanpa mempermasalahkan gender sesuai dengan konstruksi sosial selama ini. Saya pikir tidak melulu karena otak perempuan yang lebih detail sehingga ia lebih mudah noticed ketika ada hal yang perlu dilakukan dengan urusan domestik, misal lantai kotor, cucian, dll. Bahwa laki-laki pun bisa menjadi detail untuk urusan yang memang ia gandrungi. Misal ketika terjadi kerusakan mesin mobil yang akan noticed duluan biasanya laki-laki kan. Begitu juga jika kita memiliki pemahaman yang sama mengenai tanggung jawab domestik, yang terjadi adalah berlomba-lomba dalam kebaikan. Berlomba-lomba untuk saling melayani dan membahagiakan. Intead of protes ini kewajibanmu, itu kewajibanku. It's not my job, it's your job. Bahwa motivasi melakukan pekerjaan taking care adalah kepedulian, karena memang care. Dan lebih bagus lagi karena taking care each other itu berpahala. Semoga bisa dipahami dengan baik.
Bahwa setiap kita, apapun gendernya, punya peluang untuk melakukan pilihan-pilihan atas apa yang kita kerjakan, dengan bebas, dan bertanggung jawab. Bahwa kita punya peluang yang sama untuk melakukan yang terbaik dalam hidup. Based on skill. Not gender. Bahwa kita punya peluang yang sama untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.