Jika kemarin saya mengkritik analisis mengenai dampak pandemik ini berpeluang menjadi krisis seperti kasus 1997/1998, kali ini secara riil saya mulai menghadapinya. Karyawan mulai mengeluhkan setoran yang minus dan bersedia dirumahkan daripada menjadi beban. Kenapa masih bersikeras buka sementara beberapa pengusaha lain sudah tutup. Atau mencari alternatif marketing atau usaha. Setoran pajak bulan ini barangkali tidak bisa dilakukan. Alih-alih pemerintah daerah melakukan penghapusan seperti di daerah lainya, di daerah kami hanya berupa pengurangan. Ditambah dengan harga bahan baku yang mulai meroket. Agaknya benar juga usulan salah satu rekan saya kemarin saat mengobrol via chat, mengapa tidak diberlakukan kebijakan ceiling-price atau floor-price untuk komoditas-komoditas tertentu yang vital.
Pertama, saat ini adalah musim panen bagi petani. Mereka menggantungkan pendapatan tahunan mereka di sini untuk menutupi biaya bibit, tanam, hingga pupuk.
Kedua, ada komoditas yang memiliki permintaan tinggi namun di sisi penawaran menghadapi scarcity.
Berapa lama masyarakat bisa bertahan? Yes, people face trade-off. Dan kali ini mempertahankan ekonomi bukan pilihan untuk menanggalkan upaya keselamatan dan kesehatan. Semua ini benar-benar tergantung pada keberhasilan menanggulangi dan menekan penyebaran virus, at all cost. Hanya itu pilihan satu-satunya. Ekonomi tidak hanya bicara tentang profit making, tetapi lebih esensial pada welfare. Inilah mengapa saya belajar economics instead of business.
Maka tolong, bantu kami dengan mematuhi protokol kesehatan yang dianjurkan. Sebentar saja. Agar usaha kami tidak larut dalam ketidakpastian lebih lama.
Baik, kita memang sudah pernah mengalami krisis di tahun 1997/1998 yang kemudian dunia memuja-muji sektor riil sebagai penyelamat. Tapi kali ini berbeda. Semoga saja tidak sampai jatuh pada kondisi resesi hingga depresi. Kali ini mereka yang berada di sektor formal dengan jaminan gaji bulanan yang better-off. Paling tidak ini mengajari kita pentingnya saving dan investasi. Menyediakan dana mitigasi. Insurance. Pentingnya kelembagaan untuk meminimalisir uncertainty.
Saya belajar dari bapak, dalam berbisnis beliau kadang bukan hanya sekedar bicara tentang strategi bisnis atau persaingan, tetapi bagaimana juga agar bisnis bisa menolong saudara-saudara yang membutuhkan. Kami berkaca dari pengalaman krisis 1997/1998 saat PHK besar-besaran mulai terjadi, satu per satu kerabat pulang ke kampung tanpa pesangon. Kasus kriminal merebak di mana-mana. Sampai masih ingat waktu warung kami hampir setiap malam didatangi preman yang menghabiskan uang dagangan. Saya dan kakak hanya bersembunyi di kamar mendengar bagaimana bapak dan ibu menghadapi mereka. Dan kali ini pun, dari cerita pedagang sayur, beberapa dari mereka sudah mengalami kasus kemalingan.
Jika melihat bisa sampai sejauh ini, bersyukur. Kami masih bertahan. Hanya saja kali ini saya harus ikut andil dalam pengambilan keputusan.
Untuk urusan bisnis, barangkali saya bukan orang yang berjiwa kompetitif untuk berkecimpung di sana. Ibarat ketiban sampur, mau tidak mau tetap harus dilanjutkan.
Sebenarnya, dalam dunia nyata (non-akademis), saya bersyukur ketika ibu bercerita tentang karyawan-karyawan baru yang bergabung dengan segala background mereka. Dan akhir-akhir ini saya cukup trenyuh dengan beberapa kasus korban perceraian di usia muda. Immature marriage. Menjadi janda di usia muda bukanlah hal yang mudah. Someday I hope I could stand up for them. Bahkan ada yang memang menjadi korban KDRT. Ini yang sebenarnya ingin saya angkat dalam penelitian ber-isu tentang gender. Yes, I should stand up for them. Being a marginal group of society is not always fine.
Ya Allah, jika boleh, saya ingin tetap bisa melakukan keduanya. Tetap menjalankan usaha di sektor riil, di sisi yang lain saya juga ingin berkontribusi di bidang keilmuan. Allah, let me do it...
Saya sangat merasa berarti ketika menulis skripsi saya dulu hingga bisa mencicipi belajar langsung di dapur pembuat kebijakan negara. Saya sangat merasa berarti ketika ternyata hasil skripsi saya masih dipakai sampai sekarang sebagai dasar mengapa menjaga harga beras di tingkat petani maupun di tingkat konsumen itu penting.
Yes, I want to do both. Semangat!