Rabu, 02 Januari 2013

Orang Darat dan Orang Laut



Masih tentang perjalanan dan sejarah.
Sebuah petikan menarik dari George Makdisi dalam The Rise of Colleges:
"Seseorang yang terpelajar adalah mulia di mana pun atau dalam kondisi apa pun ia mungkin berada, selalu bertemu dengan orang-orang yang menguntungkan dirinya, yang mendekat kepadanya dan mencari persahabatannya, mereka terhormat karena berada deka dengannya." -- 'Abd al Latief al Baghdadi
Ini mengingatkan saya pada perbincangan saya dengan seorang umahat yang patut diteladani pendidikan keluarganya. Bisa dibilang beliau adalah pakar Islamic Parenting di Jogja. Beliau menceritakan mengenai anak-anaknya yang sudah bersekolah di luar negeri dan berkelana ke mana-mana. Satu hal yang membuat beliau tetap yakin adalah bahwa orang baik akan selalu ditemukan dengan orang-orang baik. Ia tidak khawatir anak-anaknya akan salah pergaulan. Ia hanya membekali anak-anaknya dengan pengetahuan agama yang cukup, selebihnya biarkan mereka mencari sendiri. Allah yang akan menjaga mereka sepanjang waktu. 
Saya baru menyelesaikan pengantar buku Ibn Batuta yang ditulis oleh Rose E. Dunn. Sekilas saya melihat perbedaan antara Marco Polo dan Ibn Batuta. Sama-sama musafir hebat, tapi mereka punya kepentingan yang berbeda dalam setiap perjalanannya. Kebanyakan pengembara muslim jaman dahulu mengarungi lautan dan berkelana tanpa mengenal batas negara, suku, budaya, dan bahasa, yang ingin dilakukan adalah menyebarkan ajaran Islam dan belajar dari orang-orang alim yang ditemuinya di setiap persinggahan. Syiar Islam dan ilmu. Dengan niat tersebut tidak jarang Ibn Batuta selalu dikelilingi oleh orang-orang alim dan terpelajar di sekitarnya. Ia bisa belajar dan mengajarkan. Pengelana muslim tidak mengenal batas sekat negara, mereka hanya mengetahui keuniversalan ajaran Islam. Inilah yang kemudian mereka kenal sebagai Dar Al-Islam. 
Secara jujur Rose E. Dunn di sini juga membahas mengenai periode keemasan masa kekhalifahan Abbasiyah yang kemudian disusul dengan penurunan bertahap namun pasti hingga sejarah dunia membelokkan perhatiannya ke dunia barat dengan masa Renaissance-nya. Sejarawan terus menerus menafsirkan kejadian ini dengan kesalahan umat Islam sendiri yang tidak mau mewarisi pendahulunya dalam bidang ilmu. Sementara dinasti barat mulai bangkit dengan perkembangan penemuannya dengan mencatut apa yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan muslim sebelumnya. Pada saat ini kemudian umat Islam tidak bisa memberontak bahwa itu dulu punya kita. Orang barat akan beralibi salah sendiri tidak mau mewarisi.
Satu hal yang saya pelajari dari Ibn Batuta adalah bahwa semangat pengelana muslim adalah syiar dan ilmu. Bahkan saat ia mengalami kecelakaan dalam pelayarannya ke Mongol di Cina, ia akhirnya singgal di pantai barat laut India selama bertahun-tahun tanpa pekerjaan. Namun tersebut tidak menyurutkan langkahnya untuk menunaikan amanah sang raja untuk bergerak ke Cina. Beberapa tahun kemudian ia berinisiatif berlayar ke Cina untuk menunaikan tugasnya yang sempat tertunda. 
Jakarta tempo dulu (http://tatasumitra.com/?p=2244)
Dalam catatan perjalanannya yang ia sebut dengan rihla, Ibn Batuta tidak pernah menyebutkan dirinya sebagai penduduk masyarakat tertentu sekalipun ia adalah pegawai kehakiman di Maroko dan lahir di sana. Ia hanya menyebut dirinya orang kota. Tentang ini saya jadi teringat dengan film Tamra the Island mengenai penduduk desa di Pulau Jeju yang tidak bisa keluar pulau seumur hidup mereka dengan orang-orang yang seumur hidup mereka didedikasikan untuk perjalanan laut. Mereka bergabung dalam suatu kongsi dagang atau hanya sekedar pengembara. Mereka hanya punya kampung halaman tapi tidak pasti kewarganegaraannya. Ini pula yang mengingatkan saya pada orang-orang darat dan orang laut di Pulau Belitong. Pada jaman dulu masih dikenal pembedaan tersebut. Orang-orang yang tinggal di daerah pantai, mereka hidup dari laut meski tidak mengembara jauh. Orang-orang darat adalah mereka yang hidup jauh dari pantai dan berocok tanam. Pada jaman dahulu kota dimulai dari daerah dermaga laut yang mana kapal-kapal lokal dan asing singgah di sana untuk melakukan transaksi perdagangan ataupun hanya sekedar mengisi perbekalan. Kemudian jauh di darat sana tumbuh sebuah pusat pemerintahan yang mereka sebut sebagai kota.
Entah ini tampak berbeda atau sedikit sama dengan masa sekarang. Jika ditarik ke masa kini, orang mana kita jika di masa lalu? Kadang saya merindukan masa dulu di mana orang hanya mengetahui kabar dari tempat lain melalui perantara para musafir yang singgah. Mereka hanya bisa menerka dari hasil pembicaraan dan catatan, atau mereka bertandang ke sana sendiri. Jika hidup di masa lalu, mungkin saya adalah seorang gadis desa yang bercocok tanam dan sudah menikah dengan seorang pemuda. Hahaha...(kalo yang ini beda konteks bahasan ya). 
Jogja tempo dulu
Seketika ingatan saya tertuju pada pementasan teatrikal Jawa di TBY beberapa waktu yang lalu sebelum saya menjejakkan kaki ke Bumi Kaulan. Pemuda dengan baju khas pendekar jaman dahulu melagukan tembang Jawa dengan begitu mempesona. Ia kemudian menggerakkan tangannya yang kekar membuat lukisan abstrak di sebuah kanvas yang berbuat dari kaca dengan balutan tarian dan tembang yang menawan. Itu pertama kalinya saya benar-benar jatuh cinta pada budaya Jawa dan kesenian tradisional, serta hal-hal yang berbau sejarah. Saya benar-benar merindukan masa-masa seperti yang digambarkan di pementasan ketoprak-ketoprak itu. Ndeso lan njawani. Kemudian setiap hari saya akan mendengar ayah berkisah mengenai cerita wayang mahabarata dan perang baratayuda. Para pemuda merayu para gadis dengan tembang-tembang asmaradananya. Seperti para pemuda-pemudi di Belitong tempo dulu yang saling bertukar pantun untuk saling menarik perhatian. 

Sekar asmaradana pun mengalun lembut dari laptop saya:
pratikele wong ngakrami
dudu brana dudu warna
....

*tiba-tiba kangen sama slenthem >,< (lhoh?), terus ngepoin para penari peran Arjuna (padahal lagi sebel sama Arjuna karena mengalahkan Ekalaya dengan tidak adil).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar