Minggu, 25 Desember 2011

" Sajak Matahari "

karya: Arieyoko Bodjonegoro

Sajak kita adalah sajak peperangan
mengasah pisau dan parang
membabat hati dan semua persinggahan.

Sajak kita adalah sajak pancuran,
bening bergemricik, lindap dan wangi
menyeberangi hari waktu kisah juga embun
mencatat manusia yang lumat
diterjang nafsi-nafsi
digempur mimpi.

Sajak kita bukan sajak hati
yang hanya bicara cinta, suka-suka atawa
kesemrawutan welas asih yang telah berupa wujud
sebagai tanda-tanda matinya keluhuran
pada jiwamu
bukan jiwaku.

Sajak kita memang beda
dan memang tak perlu sama,
sebab sorga kita juga
yang menatahnya.

Jonegoro,
10 Muharam 2011
 Beliau adalah salah satu sastrawan favorit saya. Senang rasanya bisa di-tag langsung oleh beliau di fb untuk sajak ini. Kemudian saya bertanya-tanya pada diri sendiri, "kapan mau nulis lagi?" Sudah lama ide-ide saya mengendap tanpa dituliskan. Kegamangan antara menulis fiksi dulu atau non-fiksi dulu harus segera diakhiri. Saya sudah lama sekali tidak menulis fiksi. Untuk itu saya sedang memaksa diri untuk membenturkan ide-ide saya dengan hal-hal yang berbau dengan karya-karya fiksi. Mengapa seringkali kalau menulis cerpen selalu berhenti di tengah-tengah?

Kamis, 22 Desember 2011

Menjelang Berpisah

Ini belum selesai. Entah saya harus senang atau sedih meninggalkan tempat ini. Malam tadi anak-anak berkumpul di halaman kantor desa untuk menerima pembagian hadiah dari panitia lomba 17 Agustus. Wajah-wajah yang bersemangat itu mendatangi kami satu per satu seraya menanyakan kapan kami akan pulang. Maka saya menjawab, besok Senin pulang, dua hari lagi. Dan saya melihat ada ekspresi kecewa di wajah mereka. Melihat ekspresi wajah-wajah itu, hati saya yang berbunga-bunga karena akan segera pulang ke kampong halaman berubah menjadi sedih.
Ah, rasanya belum banyak yang saya lakukan di sini. Entah apakah kami kemari datang sebagai pahlawan atau hanya sebagai mahasiswa yang KKN. Tapi apapun yang kami lakukan di sini semoga memberikan arti bagi mereka. Suatu kenangan indah mengenai life changing experience.
32 jam menuju kepulangan saya duduk di sofa ruang tamu pondokan dengan notebook di hadapan. Mungkin sudut ini suatu saat akan sangat saya rindukan. Sudut di mana anak-anak sering datang berkunjung untuk sekedar melihat aktifitas kami di depan layar notebook atau sekedar bermain bersama kami. Sudut di mana teman-teman KKN makan bersama dan tidur di sofa ini. Sudut di mana kami bercengkerama dan bernyanyi bersama dengan para pemuda desa. Sudut di mana saya bisa melihat ke halaman depan secara langsung.
Pagi ini beberapa teman masih berkutat juga dengan LPK dan menekuri layar notebook dengan ekspresi wajah serius agak frustasi. Hahaha.
Saya masih ingat beberapa bulan yang lalu saat malam-malam di dalam taksi menuju Stasiun Pasar Senen dari kampus UI saya menerima sebuah sms dari salah satu classmate yang menawari KKN di Belitung. Pada saat itu saya masih galau menunggu tawaran KKN ke luar Jawa terutama yang ke daerah timur. Namun tanpa berpikir panjang saya pun langsung membalasnya dengan kata setuju untuk bergabung. Maka sejak itulah perjalanan menuju pulau seribu pelangi ini pun dimulai.
Pertemuan pertama dengan tim saya tidak dapat hadir karena masih dalam perjalanan ke Yogyakarta dan keesokan harinya harus langsung berangkat ke Solo untuk presentasi karya tulis (lagi). Dan pertemuan kedua saya bertemu dengan wajah-wajah lama satu kampus yang sudah saya kenal sebelumnya. Pada saat itu kami masih buntu harus melakukan apa. Akan tetapi perjuangan harus tetap berlanjut. Setelah pertemuan kedua tersebut kami mulai sibuk berburu informasi tentang Belitung, prosedur pengajuan proposal ke LPPM, pengalaman dari kakak-kakak yang telah KKN di luar Jawa, dan merekrut anggota baru. Tiap minggunya pun kami bertemu dengan wajah-wajah yang sama dan kebuntuan yang sama. Wajah-wajah yang frustasi namun tetap optimis. Hingga hari-hari berikutnya satu per satu wajah-wajah baru dan ide-ide baru pun mulai bermunculan.
Januari 2011, beberapa dari kami kemudian berangkat untuk yang pertama kalinya ke pulau ini. Perjalanan dengan kapal yang sangat melelahkan namun begitu experiencing bagi saya yang baru pertama kali melakukan perjalanan jauh dengan kapal. Pelangi di tengah lautan, perahu kecil penumpang, teater deck 6, dan hal-hal baru lainnya saya temui di sini. Pertama kali menginjakkan kaki di pulau ini senyum bahagia terukir di wajah kusut saya. Akhirnya sampai juga setelah 18 jam perjalanan!
Sambutan hangat dari bupati membuat kami semakin tertarik pada pulau ini untuk dijelajahi lebih dalam. Hingga akhirnya kami sampai pada keputusan untuk mengambil Desa Sungai Padang sebagai salah satu sasaran program KKN kami. Sebelumnya hampir saja teman-teman memutuskan untuk  mengambil Desa Sijuk saja. Perdebatan yang alot pada malam itu dengan teman-teman untuk memutuskan tempat KKN akhirnya membuahkan hasil. Saya yang pada waktu itu mendapatkan kesempatan terakhir memberikan pendapat, adalah satu-satunya yang membuka sebuah argument untuk mengambil kedua desa tersebut menjadi sasaran KKN. Dan pada akhirnya takdir membawa kami ke dua desa tersebut. Dan takdir pulalah yang membawa tim subunit kami ke Sungai Padang. Tujuh orang dengan harapan untuk bisa mengabdi dan belajar banyak dari masyarakat Belitung.
Yah, mungkin kami akan begitu merindukan tempat ini, orang-orang yang setiap hari mendatangi pondok kami, orang-orang yang setiap hari menyapa nama kami, dan orang-orang yang ketika bertanya kepada kami pulang kapan mereka akan memasang ekspresi yang sedih karena pertemuan yang singkat.
Tinggal beberapa menit lagi kami menginjakkan kaki terakhir di desa ini, seluruh pemuda datang ke pondokan untuk melepas kepergian kami. Mata-mata yang sayu dan sandiwara pertukaran barang kenang-kenangan mewarnai pagi itu. Pondokan tiba-tiba berubah menjadi tempat yang begitu ramai dan sibuk. Pagi itu pula saya menyempatkan diri untuk berkeliling ke tetangga-tetangga untuk mengucapkan kata pamit. Entah apa perasaan saya waktu itu…tapi saya tidak mampu mendeskripsikan perasaan saya waktu itu. Setiap kali melihat Pak Kades, hati saya selalu ingin menangis sedih karena pada akhirnya kami harus meninggalkan beliau berjuang sendirian kembali membangun desa ini. Karena pada akhirnya kami belum mampu mengubah apa-apa dari desa ini. Beliau adalah ayah kami saat berada di sini.
Sekitar pukul 10.00 barang-barang kami sudah dimasukkan ke dalam mobil. Semua sudah siap untuk berangkat. Teman-teman sudah menunggu di luar. Saat saya menatap ke luar pintu, ternyata puluhan anak-anak SD sudah berada di luar untuk melepas kepergian kami. Itulah pertama kalinya saya pada akhirnya menitikkan air mata menjelang kepergian. Satu per satu teman-teman menyalami tangan-tangan kecil mereka. Para tetangga dan teman-teman pemuda Sungai Padang mulai menitikkan air mata. Sungguh pemandangan yang mengharukan. Seumur-umur belum pernah kami dilepas dengan begitu indahnya seperti ini. 


Siang itu, lambaian tangan anak-anak mengiringi kepergian kami menuju bandara…selamat tinggal Sungai Padang yang manis. Semoga apa yang telah kami lakukan di sana bisa memberi arti. Koperasi Tunas Mekar, bapak-bapak nelayan budidaya rumput laut, bapak-bapak kelompok pembuat terasi belacan, kawan-kawan pemuda, dan anak-anak yang manis. Apa lagi yang bisa saya ucapkan selain terima kasih? Terima kasih atas kesempatan indah ini. Terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada kami untuk setidaknya merasa berarti. Terima kasih…
            

Transaksi Pagi di Pelabuhan Munsang


Catatan 3 Agustus 2011
Pagi ini saya dan TS mengunjungi Pelabuhan Munsang yang berada di ujung barat laut Desa Sungai Padang. Rencananya kami ingin merekam aktifitas nelayan di pagi hari saat mereka baru saja berlabuh di pelabuhan selepas mencari ikan semalam suntuk di laut. Pukul 5.45 kami sampai di Pelabuhan yang sudah ada beberapa nelayan yang melabuhkan sampannya di dermaga. Tampak juga beberapa motor dengan dua keranjang di jok belakangnya untuk mengangkut sebagian hasil tangkapan yang tidak dijual ke tengkulak atau sekedar untuk meletakkan peralatan memancing. Hasil tangkapan nelayan di Pelabuhan Munsang selanjutnya langsung dijual kepada para penadah yang sudah standby di tempat dengan mobil pick-up, bak-bak besar berisi es, dan timbangan yang digantungkan di batang kayu yang telah disusun membentuk tiang gantungan.
Kami menemui pasangan suami istri penadah yang sedang menunggu para nelayan menyetorkan hasil tangkapannya. Si Bapak tugasnya adalah mengangkat hasil tangkapan nelayan untuk dipindahkan di keranjang timbangan dan selanjutnya mengamati timbangan dengan seksama. Sedangkan si ibu dengan tas pinggang sibuk menghitung segepok uang di tangannya.
Pagi itu sebagian besar nelayan hanya menjual hasil tangkapan berupa cumi-cumi karena pada saat itu memang sedang musimnya. Ada yang mendapatkan 16,5 kg, ada yang mendapatkan 10 kg, ada yang 12 kg. Tiap kilogram cumi-cumi segar dijual kepada penadah dengan harga Rp 24.000,00. Ini berarti rata-rata per hari nelayan bisa mengantongi uang dari hasil tangkapan sekitar Rp 300.000,00. Selanjutnya penadah tersebut menjualnya kembali kepada agen di kota Tanjung Pandan dengan harga Rp 26.000,00 setelah ditimbang dengan dikurangi berat air. Bapak dan ibu penadah bercerita kepada kami bahwa ketika sudah sampai di agen, ikan-ikan yang dijual timbangannya bisa berkurang banyak dari sebelumnya. Hari kemarin mereka mendapatkan total 400 kg cumi-cumi dari para nelayan yang ditimbang di tempat agen dengan dipilah-pilah berdasarkan ukuran dan berat bersih dari air sehingga ukuran berat bisa berkurang. Jika dihitung-hitung, sehari mereka akan mengantongi keuntungan bersih minimal sekitar Rp 600.000,00 setelah dikurangi dengan perkiraan pengurangan timbangan. Transaksi yang terjadi di pelabuhan minimal senilai Rp 9.000.000,00 per harinya.
Selain penadah dengan skala besar seperti pasangan suami istri di atas, ada juga penjual lain yang menerima hasil tangkapan dalam skala lebih kecil dan lebih banyak menerima hasil tangkapan berupa ikan candang dengan harga jual sebesar Rp 20.000,00 per kg. Para penjual kecil ini selanjutnya menjual ikan keliling desa dengan sepeda motornya. Setiap pagi menjelang siang mereka akan berteriak-teriak di jalanan desa menawarkan ikannya, “Iiiiiiikan, ikaaaan, iiiiiikan, ikaaan…”.
Di setiap dermaga, umumnya dikuasai oleh satu agen penadah yang sudah melakukan konsolidasi semacam “pembagian wilayah”. Kebetulan kedua suami-istri tersebut tidak berasal dari Desa Sungai Padang, melainkan Air Seruk. Mereka bercerita bahwa Pelabuhan Sungai Padang dikuasi oleh seorang penadah yaitu Yanto. Selanjutnya di Tanjung Bingah banyak pula nelayan yang mengggunakan perahu besar dengan membawa perlengkapan bak besar dan es untuk menyimpan ikan hasil tangkapan. Dengan komposisi tangkapan yang cukup besar, mereka melakukan pelayaran selama berhari-hari hingga seminggu lebih. Hasil tangkapan mereka kemudian langsung dijual kepada penadah besar di kota.
Sekitar pukul 06.19 para nelayan sampan sudah mulai pulang. Sebagian yang lain masih sibuk membersihkan peralatan pancingnya dan melakukan perawatan perahu. Ada pula nelayan yang mengecat perahu sampannya dengan menyuluh lapisan luar sampannya dengan nyala api dari bakaran daun kelapa yang orang jawa sebut dengan “blarak”.
Sementara itu pasangan suami istri penadah tersebut masih menunggu nelayan dengan perahu boat yang biasanya baru datang sekitar pukul 07.00. Nelayan dengan perahu boat umumnya akan menghasilkan tangkapan dalam jumlah yang lebih besar daripada nelayan sampan. Nelayan sampan hanya bisa melakukan pelayaran seorang diri agar lebih leluasa untuk melakukan aktifitasnya. Sedangkan nelayan dengan perahu boat dapat membawa rekan pelayaran untuk membantunya menangkap ikan di laut, sehingga dengan hasil yang lebih besar dan modal pelayaran yang lebih besar, mereka harus berbagi keuntungan dengan rekan pelayarannya.
Karena baterai kamera dan handycam kami sudah mulai redup, pagi itu sekitar pukul 07.30 kami memutuskan untuk pulang meski sebenarnya kami ingin melanjutkan pengambilan gambar hingga semua perahu boat datang dan para tengkulak mulai pergi. Satu kilogram ikan candang kami beli dari seorang bapak penjual ikan dengan motornya di tepi pelabuhan untuk kami bawa pulang untuk hidangan berbuka kami dengan teman-teman di pondokan.
Pagi yang menginspirasi. Di sepanjang perjalanan pulang, saya terus berpikir bagaimana jika hasil tangkapan para nelayan itu tidak ada yang membelinya langsung di tempat? Selanjutnya mereka akan menjualnya kemana? Ah, memang, apa yang selama ini kita sebut-sebut sebagai penadah atau tengkulak tidak selalu merugikan. Justru merekalah yang berperan penting melakukan distribusi barang dari sumbernya hingga konsumen akhir. Tentu dengan jalur distribusi tersebut mereka harus memperhitungkan biaya perjalanan yang mereka masukkan ke dalam margin harga jual mereka kepada para agen sehingga konsumen akhir membelinya dengan harga yang lebih tinggi.
Sebenarnya masalah utama dari para nelayan selama ini, terutama nelayan budidaya, adalah pemasaran. Mereka hanya bisa melakukan budidaya, menyediakan bahan baku. Tapi dengan pendidikan dan informasi pasar yang terbatas, mereka kesulitan harus menjualnya ke mana. Untuk itulah mereka butuh yang namanya pengepul, atau penadah, atau tengkulak yang lebih mengetahui pasar di luar. Merekalah yang menikmati keuntungan informasi tersebut. Artinya, harga dari informasi adalah keuntungan yang mereka dapatkan.
Sayangnya jika para nelayan budidaya tersebut berhadapan dengan agen besar, tentu mereka akan kalah karena kekuatan tawar mereka lebih kecil, apalagi jika hal tersebut dilakukan secara perseorangan. Untuk itu, peran kelembagaan sangat penting di sini untuk memperkuat posisi tawar mereka dalam berhadapan dengan agen besar.

Radar P30


Sejarah Indonesia banyak menyimpan cerita yang belum banyak terungkap kepada publik. Di setiap peristiwa akan selalu ada satu dua hal bahkan ribuan yang terlupakan dari sejarah meskipun mereka menyumbangkan hal yang begitu penting bagi peristiwa sejarah tersebut. Seperti halnya saat Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia. Peristiwa yang sangat penting pada saat itu adalah dikeluarkannya dua komando dari presiden untuk rakyat Indonesia yang dikenal sebagai Dwikora (Dwi Komando Rakyat).
Dengan operasi Dwikora tersebut seluruh angkatan bersenjata Indonesia dipersiapkan untuk melakukan perang terhadap Malaysia. Kerjasama dengan Rusia dalam hal pengadaan senjata dan perlengkapan perang lainnya pun dijalin. Rusia yang terkenal sebagai negara komunis membantu Indonesia karena pada saat itu Indonesia menjadi salah satu basis komunis di dunia.
Segala macam persiapan dilakukan untuk mengantisipasi serangan dari darat, laut, maupun udara. Satu hal yang paling penting dari serangan udara adalah alat untuk mendeteksi pesawat tempur yang mendekat ke wilayah Indonesia. Maka radar di berbagai titik pun disiapkan. Saat itu Indonesia membagi titik-titik radar di dua sector, yaitu sector barat dan sector timur. Di sector barat ada enam titik yaitu di Jakarta, Cisalak, Pontianak, Palembang, dan dua titik di Pulau Belitung.
Pulau Belitung yang kecil menjadi salah satu basis pertahanan Indonesia pada saat itu. Radar ditempatkan di dua titik yaitu Tanjung Pandan dan Buding. Namun pada awal Desember 1964 radar P30 dari Buding dipindahkan ke Desa Sungai Padang setelah enam bulan berada di Buding. Pemindahan tersebut dilatarbelakangi oleh alasan letak radar yang kurang strategis karena tidak langsung ke laut.
Desa Sungai Padang dinilai sangat strategis karena berbatasan langsung dengan  Laut Cina Selatan dan memiliki bukit yang dapat menjadi tempat yang cocok untuk melakukan pemantauan jarak jauh dari ketinggian. Maka satu pleton pun diturunkan untuk mengawasi dan mengoperasikan radar. Sedangkan dua regu juga dipersiapkan untuk menjaga pertahanan pangkalan.
Radar P30 ini berasal dari Rusia dengan ukuran yang sangat besar sehingga untuk mencapai bukit, radar tersebut harus diangkat dengan alat berat. Baru kemudian setelah Indonesia dan Rusia tidak lagi bekerjasama, radar tersebut sudah tidak dipakai lagi sejak tahun 1979.
Hingga kini radar tersebut dibawa ke Bandung. Di Solo kini juga ditempatkan radar Thompson yang ukurannya lebih kecil dari radar P30. Radar Thompson ini berasal dari Inggris dan Belanda.
Di Desa Sungai Padang sendiri yang tersisa dari sejarah itu adalah tempat bekas radar itu berdiri dan  pelaku sejarah yang menjalankan teknis radar yang tergabung dalam pleton penjaga radar di Desa Sungai Padang. Siapa sangka desa kecil yang terletak di ujung timur laut Kabupaten Belitung ini pernah menjadi salah satu basis pertahanan penting Indonesia pada saat itu. Kita bayangkan saja jika radar P30 ini tidak berfungsi, serangan akan mudah dilancarkan oleh Malaysia menggempur Indonesia. Hingga saat ini belum banyak masyarakat yang mengetahui salah satu peninggalan sejarah yang penting ini karena dengan pengetahuan masyarakat mengenai sejarah tersebut, mereka akan semakin menghargai tempat mereka sebagai salah satu tempat bersejarah yang perlu dijaga. Dan jika suatu saat radar itu perlu dipasang lagi di tempat yang sama, masyarakat sudah siap dengan itu. (Sumber: Bapak Sutjipto, Sungai Padang)

Bali yang Terpotong (Sebuah Catatan Pengabdian 1)

Asal nama Belitung konon diambil dari Pulau Bali yang terpotong. Menurut cerita rakyat, dahulu pada saat daratan Indo-Asia dan Indo-Australia masih menyatu, Pulau Bali dengan Pulau Belitung masih menjadi satu daratan. Karena pergeseran lempeng bumi, lambat laun pulau yang bersatu tersebut terpecah dan saling menjauhi. Yang pada akhirnya potongan itu sampai pada posisi di mana Pulau Belitung sekarang berada.
Sebelum pengaruh Islam masuk ke Belitung, dulunya penduduk Pulau Belitung merupakan masyarakat Hindu dengan Kerajaan Balok yang masih menganut ajaran Hindu, baru kemudian setelah masa pemerintahan Datuk Mayang Gresik atau lebih akrab dipanggil dengan Ki Ronggo Udo, kerajaan tersebut menjadi kerajaan Islam.
Sebelumnya memang banyak ditemui peninggalan-peninggalan kebudayaan yang mirip dengan kebudayaan Bali yang mengindikasikan bahwa dahulunya masyarakat Belitung memang masyarakat Hindu. Baru kemudian setelah pengaruh Islam masuk ke pulau tersebut, kebudayaan Hindu berangsur punah hingga saat ini masyarakat Belitung lebih dikenal dengan masyarakat Melayu Islam.
Mungkin karena alasan sejarah inilah di Pulau Belitung dibentuk desa yang kental dengan budaya masyarakat Bali. Desa ini merupakan desa yang dibentuk dari proses transmigrasi bedol desa dari Bali ke Belitung sehingga desa ini disebut dengan Desa Balitong atau masyarakat setempat kadang menyebutnya dengan Trans-Bali. Desa itu kini masih kental dengan nuansa Balinya. Begitu kita masuk, kita akan merasakan seperti berada di Pulau Dewata. Bangunan-bangunan pura, sesajen, dan lain-lain yang mencirikan masyarakat Bali yang khas. Tradisi-tradisi mereka pun masih tetap terjaga, seperti Kuningan, dan tradisi khas Bali lainnya. Tak heran jika desa ini oleh pemerintah kabupaten dijadikan sebagai salah satu desa wisata yang menjadi daya tarik pariwisata di Pulau Belitung.

Perjalanan ke Negeri 1000 Pelangi (Part 2)


Stasiun Kota Bekasi
Stasiun-stasiun yang dilewati menunjukkan bahwa hampir dekat stasiun tujuan saya. Hati saya mulai berdebar-debar dan cemas jika Stasiun Kota Bekasi telah saya lewati. Untuk itulah saya memutuskan untuk langsung menenteng tas ransel saya dan menuju ke pintu gerbong yang ternyata sudah sangat padat dengan orang. Saya memilih untuk duduk di kursi kosong di samping seorang wanita yang penuh dengan bawaannya. Syukurlah dia mempersilakan saya menempati tempat duduk itu. Capek juga kalau harus berdiri dengan tas ransel yang berat di punggung. Perumahan-perumahan padat dan kumuh mulai terlihat di kiri-kanan rel yang kami lewati. Plang selamat datang di Kota Bekasi pun sudah Nampak, namun saya masih juga belum menemukan stasiun yang dimaksud. Hati saya semakin berdebar-debar. Akhirnya saya bangkit dari duduk dan menuju pintu gerbong yang sudah sesak dengan orang dan pedagang kaki lima. Saya bertanya pada seorang wanita di pintu gerbong itu yang mengenakan pakaian dengan aksen tomboy dengan topi gunungnya, “Mbak, Stasiun Bekasi kira-kira berapa stasiun lagi ya mbak?” Dia menjawab dengan ramah, “Oh, bentar lagi kok mbak. Tunggu aja”
Akhirnya tibalah saya di stasiun yang ramai. Orang-orang pun mulai bergegas untuk turun dari kereta. Dengan ragu-ragu saya mengikuti mereka. Saya hanya random saja mungkin inilah Stasiun Bekasi karena saya tidak melihat plang namanya tadi. Ah, biarlah kalau tersesat. Pasti ada jalan. Orang-orang mulai berebut untuk turun dari kereta karena waktu kereta berhenti di stasiun itu sangat pendek. Begitu saya turun, beberapa detik kemudian kereta itu pun sudah melaju kembali. Waktu menunjukkan pukul 16.15 waktu setempat. Saya bergegas untuk mencari mushola terdekat untuk menjalankan shalat dhuhur yang dijamak takhir dengan shalat ashar. Saya kemudian mengirim pesan singkat kepada teman saya, Mita, yang hendak menjemput saya di stasiun ini. Akhirnya saya lega karena ternyata ini benar-benar Stasiun Bekasi. Syukurlah…
Wah, ternyata untuk sampai di mushola saya harus menyeberang rel dulu. Padahal kereta yang melaju di kereta itu kadang sangat kencang. Huft, saya pun memberanikan diri untuk ikut menyebarang bersama para penumpang lain yang sudah ramai di pinggir rel hendak menyeberang.
Ternyata mushola stasiun ini sangat kecil dan sempit. Saya harus berhimpitan dengan seorang ibu yang sedang menjalankan shalat dengan dua orang anaknya yang ia tugaskan untuk menjaga setumpukkan barang bawaan mereka. Sang kakak laki-laki berumur sekitar 9 tahun dan sang adik yang perempuan kira-kira berumur 5 tahunan. Mereka bermain-main sendiri sementara si ibu berusaha untuk khusyu dalam shalatnya. Shalat di sini memang sulit sekali untuk khusyu karena suara bising khas stasiun dan goncangan yang dirasakan saat ada kereta lewat di rel dekat mushola tersebut. Kadang saya harus terhuyung saat ruku karena kaki yang masih lemas akibat perjalanan jauh dan goncangan yang diciptakan oleh kerta yang melintasi rel. Sementara itu nada dering hp di tas saya terus berbunyi menambah keterburuan saya dalam shalat. Saya akhirnya cepat-cepat menyelesaikan shalat saya. Ternyata sudah ada 7 missedcall! Saya pun menelepon nomor tersebut yang mungkin kakak teman saya, Mita. Akhirnya saya keluar dari mushola dan menemukan teman saya Mita yang sedang mencari-cari dengan cemas. Begitu melihat saya dia langsung marah-marah pada saya, “Mbak! Kemana aja?! Teleponnya kok nggak diangkat-angkat sih, kan aku jadi cemas takut kenapa-kenapa sama mbak… Aku tadi udah di mushola tapi mbak nggak ada.” Dengan nyengir saya pun meminta maaf padanya. Ya gimana lagi masa sedang shalat bisa mengangkat telepon.
Kami pun menyeberang rel kereta lagi dan menuju parkiran.
“Itu kakakku udah nunggu di mobil.” Kami pun berjalan dengan cepat dan mencari-cari di pinggir jalan yang sangat padat dengan becak dan mobil yang semrawut. Wow, jalanan macet begini bagaimana nanti bisa sampai rumah?
“Nah, itu mobil kakakku! Yuk nyebrang mbak!”
Berkali-kali kami harus menyetop kendaraan yang melaju untuk dapat menyeberang ke seberang jalan. Mobil kijang silver pun sudah menunggu di ujung jalan. Leganya…
“Uni, ini temenku dari Jogja…”
“Hai mbak! Saya Wulan temennya Mita.” sambil mengulurkan tanganku ke depan.
“Dek, itu di jok belakang ada roti. Kamu belum makan kan?”
“Yap, makasih mbak!” Hehe…tahu saja kalau saya lapar.
Sementara itu mobil mulai melaju pelan di tengah keramaian Kota Bekasi.
“Jangan kaget ya mbak kalo di sini...hehe…” ternyata Mita mulai menangkap pikiranku yang sedari tadi melihat-lihat pinggir jalan.

Hampir 20 menit kami meniti jalanan Kota Bekasi yang padat. Akhirnya sampailah kami pada sebuah gang kecil yang penuh sesak dengan pedagang kaki lima maupun pedangan makanan kios emperan yang berjejal di ujung jalan sempit nan lusuh ini. Wanita-pria, tua-muda, berjejal di pinggir gang nan sempit itu sedang mengantri membeli makan. Para lelaki duduk-duduk santai di kursi panjang bercengkerama sesama mereka dengan segelas kopi atau teh di meja hadapan mereka.