Minggu, 06 Januari 2013

"Mengkono kuwi politik, yayi..."

Tiba-tiba ubun-ubun serasa mendidih. Betapa rumitnya manusia. Menarik diskusi saya dengan seorang kolega di dunia maya mengenai tokoh wayang bernama Bambang Ekalaya.  Ini membuat saya benar-benar merenung. Wow...

Bambang Ekalaya yang memiliki kemampuan melebihi Arjuna (terutama karena otodidak) tapi bodoh dalam berpolitik, dengan Arjuna yang sebenarnya juga hebat, pintar politik juga. Singkat cerita, Arjuna berhasil memenangkan pengakuan pemanah terhebat sejagad tapi dengan cara yang tidak adil. Arjuna berhasil membujuk Durna untuk memegang sumpah setianya hanya pada Pandawa (property right). Meski sebenarnya Durna mengalami perang batin setelah melihat potensi yang dimiliki Ekalaya. Tapi dia sudah terlanjur memegang sumpah itu. Kemudian Durna terpaksa mematikan potensi Ekalaya dengan meminta ibu jari "murid" yang dikasihaninya itu. Entah karena bodoh atau apa, Ekalaya mau dengan ikhlas menyerahkannya. Dia pun harus rela kehilangan istrinya juga gara-gara ulah Arjuna. Arjuna untuk hal ini mau mengakui kesalahannya. Dia menerima tantangan perang tanding dengan Ekalaya, dan kalah. Tapi pada akhirnya dia mengadu kepada gurunya untuk memusnahkan Ekalaya. 

Jika dilihat ini mungkin terjadi juga di negeri kita tercinta, Indonesia. Mereka yang berkuasa adalah pemenangnya. Mereka yang pandai berpolitik adalah pemenangnya. Para pemenang membutuhkan pengakuan dengan politik. Ada yang berpolitik dengan benar, ada yang tidak. Mereka yang tidak, menggunakan segala cara untuk menjadi pemenang, sah atau tidak sah. Arjuna melakukan hal yang tidak sah tersebut. Menang dengan property right, kekuasaan, dan pembunuhan. Iya, tidak adil. Tapi itu menjadi realistis di Indonesia. Orang-orang berebut kekuasaan untuk memperjuangkan apa yang menjadi kepentingannya. Dan kita tidak bisa menjamin para pemegang kekuasaan itu berpihak pada kepentingan akan kebenaran mana yang mereka anut. Kebenaran mutlak atau kebenaran relatif? Ada yang sama-sama mengusung kebenaran mutlak tapi beda dalam berproses. Proses sah dan tidak sah. Ada yang mengusung kebenaran yang berbeda, tapi sama-sama menjunjung proses yang adil. 

Dan sayangnya, masyarakat Indonesia masih belum secara utuh mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Pandangan publik bisa dengan mudah diplintir sedemikian rupa. Itulah politik, dinda.

Ada orang yang mirip Durna. Sejatinya dia membela kebenaran, tapi karena kondisi, dia harus melakukan "kesalahan". Ada orang yang mirip Bhisma, yang merelakan apa saja darinya semata-mata untuk pengabdian terhadap apa yang dia yakini sebagai sesuatu yang benar. Apapun kondisinya, tetap kukeuh pada prinsip. Ada yang mirip Arjuna, yang menggunakan segala cara untuk mendapatkan pengakuan. Meski secara umum dia punya kompetensi dan tujuan yang baik. Tapi caranya tidak gentle. Padahal dia disebut-sebut sebagai lelananganing jagad.  Ada yang mirip Ekalaya, kompeten, tapi tidak pandai berpolitik. Akhirnya tidak menyadari bahwa dirinya telah dizalimi. Ini gambaran rakyat jelata. Memberontak saat sudah merasa terzalimi. Tapi berontakan itu berhasil dipatahkan dengan politik.

Pengakuan, kekuasaan, politik.

Yang kita butuhkan adalah politikus ala Werkudara. Tegas benar dan salahnya. Berani bertindak. Berani menunjukkan keberpihakan. Tapi untuk keberpihakan kita perlu belajar dari Bhisma. Konsisten pada apa yang dia yakini. Proses dan tujuan yang benar. Ah, manusia wayang memang rumit.

Kita tetap butuh itu yang namanya politik. Mendakwahkan Islam pun butuh politik agar Islam diakui sebagai ustadjatul 'alam. Pertanyaannya, sudah seberapa besar usaha kita menjaga politik kita di jalur yang benar? Strategi perang ditentukan dengan mekanisme syuro'. Proses syuro' pun harus memenuhi adab-adab tertentu. Inilah indahnya Islam yang begitu menjunjung tinggi proses. Hasil adalah kondisi yang menjadi akibat dari proses dengan ACC dari Allah.

Lagi-lagi pada akhirnya yang membedakan antara mereka semua adalah amal dan niatannya. Apa yang mereka perbuat setelah mereka berkuasa. Digunakan untuk apa kekuasaan itu, dan untuk siapa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar