Selasa, 30 Oktober 2012

Desentralisasi Fiskal dalam Upaya Menyediakan Layanan Publik



Desentralisasi fiscal saat ini bukanlah persoalan yang baru lagi bagi masyarakat Indonesia. Sejak diberlakukannya uu No. 22 tahun 1999 yang diikuti dengan UU No. 25 tahun 1999 mengenai perimbangan keuangan pusat dan daerah, pemerintah daerah diharapkan tidak lagi mengandalkan pusat dalam mengelola sumber dayanya untuk kemakmuran masyarakat yang seluas-luasnya. Daerah dituntut untuk lebih mandiri dalam hal ekonomi maupun dalam memberlakukan kebijakan-kebijakan lain dalam konteks kedaerahan sehingga percepatan pembangunan daerah dapat dilakukan tanpa hambatan birokrasi dari pusat yang banyak menimbulkan biaya.
Landasan pelaksaan desentralisasi ini adalah untuk mencapai tujuan pelaksaan demokrasi dan mensejahterakan masyarakat. Pada kenyataannya realisasi di lapangan memang belum semulus idealisme yang dibayangkan. Tujuan demokrasi dinilai telah banyak mengalami kemajuan setelah diberlakukannya desentralisasi ini. Paling tidak hal tersebut dapat menciptakan kesan bahwa pemerintah telah dapat melakukan proses pengambilan keputusan publik secara demokratis. Sedangkan untuk tujuan kesejahteraan, mensyaratkan pemerintah daerah untuk bisa menyediakan layanan publik kepada masyarakat lokal secara ekonomis, tepat guna, dan sesuai dengan kebutuhan. Namun untuk tujuan mensejahterakan masyarakat ini dinilai masih jauh dari idealnya.*
Salah satu penyebabnya adalah bisa jadi karena aturannya sendiri yang eblum mengarah ke tujuan ideal. Sebagaimana yang ditulis oleh Ir. Brahmantio Isdijoso, MS dan Ir. Tri Wibowo, MM (2002) dalam abstraksi yang berjudul "Analisis Kebijakan Fiskal pada Era Otonomi Daerah (Studi Kasus: Sektor Pendidikan di Surakarta)" bahwa UU No. 22 tahun 1999 yang diberlakukan tersebut belum mengatur mengenai pembagian tugas penyediaan barang publik dan pelayanan masyarakat (khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan), sehingga dapat dikatakan bahwa uang yang dialokasikan ke daerah oleh pemerintah pusat mengikuti pelimpahan kewenangan. Jadi penerapan prinsip 'uang mengikuti pendelegasian tugas' (money follow function) sebagaimana umumnya dijalankan dalam desentralisasi tidak nampak dengan jelas.
 Memang banyak temuan yang mengatakan bahwa telah ada perbaikan dalam sektor pendidikan yang ditujukan oleh adanya iktikad baik dari pemerintah pusat untuk membangun lebih banyak sekolah di daerah tertinggal. Menurut data World Bank (2007) didapatkan bahwa enrollment rate tahun 2004 telah mencapai 95%, jika dibandingkan masa sebelum reformasi tahun 1975 yang masih 72%, mendekati angka-angka di negara-negara maju. Untuk SMP, angka enrollment rate tahun 2004 masih sekitar 65%, meskipun sudah jauh meningkat dari tahun 1970-an sebesar 18%. Apalagi dengan kebijakan anggaran pendidikan di Indonesia. 
Hal yang perlu kita soroti lebih jauh di sini adalah mekanisme alokasinya. Seringkali di tingkat daerah sekalipun terjadi ketimpangan dalam alokasi. Lagi-lagi ketimpangan terjadi di tingkat kota dan perdesaan, terutama di daerah tertinggal.
Masalah lain yang akan timbul dari desentralisasi fiskal terhadap pendidikan adalah ketimpangan antar daerah. Pemerintah sebenarnya sudah memberlakukan Dana Alokasi Umum maupun Dana Alokasi Khusus untuk membantu daerah yang tidak memiliki kecukuupan sumber daya. Apalagi dari APBD tahun 20009 alokasi daerah terbesar adalah pada belanja pegawai. Dana untuk belanja rutin di sini mendapatkan alokasi yang lebih besar dibandingkan untuk belanja pembangunan. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan sementara bahwa peningkatan anggaran pendidikan tersebut belum sepenuhnya dialokasikan dengan baik di tingkat daerah. Yang juga perlu kita soroti lagi adalah bagaimana alokasi tersebut dapat diserap dengan baik oleh masyarakat tanpa adanya kebocoran. Memang daerah diperbolehkan memberlakukan defisit anggaran, namun pelaksanaannya seringkali di tingkat pemerintah daerah "bermain curang", misal dengan pelaporan yang dibuat agar kekurangan dana dapat terkover oleh bantuan dari pusat. Tentu saja hal ini semakin menghambat kemandirian dari tiap daerah.
Untuk itu, perlu diberlakukan mekanisme kontrol dari pusat juga masyarakat di daerah mengenai pelaksanaan desentralisasi fiskal. Selain itu pemerintah juga perlu memetakan pos-pos mana saja yang dapat disediakan oleh swasta, dan mana yang dapat secara efisien disediakan oleh pemda. Dengan demikian tumpang-tindih anggaran tidak akan terjadi, serta dapat mengoptimalkan penyediaan layanan publik khususnya dalam sektor pendidikan kepada masyarakat di daerah.

*Sebagaimana yang disampaikan oleh Prof. Susiyati Bambang Hirawan dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang berjudul "Desentralisasi Fiskal Sebagai Suatu Upaya Meningkatkan Penyediaan Layanan Publik (Bagi Orang Miskin) di Indonesia" pada tanggal 24 Februari 2007 di Jakarta.

Buka-buka file lama, kemudian menemukan beberapa arsip tulisan agak serius. Kemudian bertanya pada diri sendiri, “saya pernah nulis ini ya?” hahaha…bahkan saya lupa pernah menulis ini untuk tugas kelas Ekonomika Publik. Karena pada akhirnya saya tidak mendapat kesempatan maju menerangkan hasil tulisan saya waktu itu, maka biarlah saya post di blog saja. Siapa tahu ada yang mau review lagi. Saya tahu, kesimpulannya maksa banget dan sepertinya sudah tidak relevan dan akan menuai banyak kecaman. Hahaha...Maklum ini tulisan waktu masih unyu dalam bidang ekonomi (meski sekarang pun masih unyuuu…^^V) dan ditulis dalam keadaan ngantuk.
 

Sabtu, 13 Oktober 2012

Share Notes yang Keren

Ini share dari teman. Tulisan yang beautiful banget. Membacanya bisa merenung dan menitikkan air mata. Ya, perempuan sepertiku tidak banyak.

Perempuan sepertiku tak banyak.
Jangan tertipu oleh angka statistic yang mengatakan, perbandingan lelaki dan perempuan melebihi 1 : 4. Ada banyak kaum hawa di luar sana, tetapi percayalah, yang sepertiku hanya terbatas jumlahnya. Kalau kau bertanya-tanya, seperti apakah aku hingga sedemikian yakinnya, silakan renungkan.

Aku dan Dirimu
            Antara aku dan dirimu dibatasi oleh rasa malu dan cinta.
            Aku mencintai Robb ku melebihi segalanya, setingkat di bawahnya adalah lelaki paling mulia bernama Muhammad ibn Abdillah Saw. Setingkat di bawahnya adalah para shahabat, para salafus sholih. Setingkat di bawahnya lagi adalah para ulama dan ustadz di zaman ini yang selalu menyiangi taman hatiku dengan nasihat mereka. Layer terbawahnya adalah dirimu.          
            Jangan khawatir, aku selalu menyisihkan waktu untuk mendoakanmu menjadi pemimpin sejati, meski porsimu hanya kecil di hatiku.
            Cintaku padamu, meski tak mutlak, tetap utuh dan sempurna. Sebab ia disempurnakan oleh rasa malu. Malu pada Robb ku jika aku masih meminta sesuatu pada sesuatu selain dariNya. Malu pada Nabiku yang dalam pikirannya hanya terpikir ummat, ummat, ummat; tak tersedia secuil hasrat cinta picisan yang mungkin, sesekali masih menghampiri makhluk sepertiku.

Aku dan Ilmu
            Untuk lebih memahami dunia dengan segala permasalahannya, kapal besar yang akan membawa kita menuju negeri abadi, aku membutuhkan ilmu pengetahuan. Karenanya jangan heran, bila sebagian besar waktuku selain terisi oleh ibadah mahdhoh dan nawafil; kupergunakan untuk menimba ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang berada di majelis para sholihin atau di bangku akademis.
            Jika, kemudian aku tak menemukanmu, pada akhirnya ilmu pengetahuan kukejar demi mempersiapkan sumbangsihku yang lebih besar bagi umat. Jangan salah berpikir mengapa aku sibuk mengejar ilmu, strata satu, dua, tiga hingga ke negeri seberang. Sebab aku tak mau terlalu resah, sibuk memikirkanmu. Waktuku terlalu berharga untuk menangisimu. Ummat masih menanti muslimah sepertiku, berkiprah menyelesaikan masalah-masalah yang semakin berkembang dan kompleks dari waktu ke waktu.

Aku dan Dakwah
            Aku masih belum selevel  bunda Aisyah ra yang menghafal ribuan hadits. Belum selevel  Jahanara, putri Shah Jahan yang menelusuri jalan tasawuf usai bertikai dengan Aurangzeb, penguasa dinasti Mughal. Belum setara dengan Tawakkul Karman, peraih nobel perdamaian. Belum setara dengan Zaynab Al Ghazali atau Lathifah as Shuli, perempuan terhormat dalam pergerakan di Mesir.
            Tapi benakku dipenuhi bagaimana mengentaskan muslimah kampus agar lebih memahami Islam secara utuh, bagaimana mengentaskan ibu-ibu dari keterpurukan ekonomi, bagaimana agar anak dan remaja tidak tumbuh di jalanan. Bagaimana agar kita punya kontribusi pada kehidupan bangsa dan negara.
            Dirimu, berada pada layer terakhir di benakku. Tentu, terselip keinginan untuk meraih tanganmu, bersama menapaki jalan yang penuh onak duri tetapi juga dipenuhi harapan dan kesempatan luas terbentang.

Aku dan Waktu
            Aku tahu, hidup dibatasi waktu.
            Setiap tahapan usia memiliki tugasnya masing-masing.
            Tapi aku tak mau dibatasi oleh budaya yang mengatakan bahwa usia lah yang memastikan perempuan harus memasuki usia pernikahan. Tak ada yang mampu memaksakan usia. Siapa dapat memastikan aku memilikimu di usia 20, 23, 25, 30 atau 38 bahkan 40 nanti?
            Aku tak memusuhi waktu, sebab, ia adalah salah satu sumpah Tuhan dalam al Ashr. Aku, bersahabat dengan waktu. Tak akan kuhitung tahun, bulan, pekan, hari apalagi detik hanya untuk memuja namamu dan menantimu mengetuk pintu rumah orangtuaku.
            Kau ada di sini, dalam hatiku, tetapi kusimpan rapi dan kulipat baik-baik dengan lapisan cinta dan malu. Aku tak akan memaksakan waktuku padamu, padaku, atau pada siapapun sebab setiap kejadian memiliki dimensinya sendiri-sendiri.             Waktu yang kumiliki akan kuisi dengan sebaik-baik bekal, bagai backpacker yang mempersiapkan isi ranselnya dengan perkakas yang penting dan tepat. Lebih baik kuiisi waktu dengan menghafal Quran, membaca buku-buku, mengkaji ulang catatan pengajianku , berburu ladang dakwah baru, berbakti pada orangtuau, mengasuh adik-adikku dan bersilaturrahmi dengan karib kerabat; dan tentu saja, mengisi dahaga akan ilmu.

I am and Somewhere Out There
            Aku, tak sama dengan perempuan yang kau temui di jalan-jalan. Yang menghabiskan waktu di depan cermin dengan mematut diri, berhitung, klinik kecantikan mana lagi yang bisa dikunjungi. Aku, tak sama dengan perempuan yang sibuk berhitung, kelak suamiku berpenghasilan berapa sehingga mengajakku keliling Eropa?
            Aku tak ada di cafe, when night is still young.
            Aku tak ada di mall ketika di akhir pekan, berburu tas Hermes dan sepatu atau discount baju.
            Aku tak selalu ada di dunia maya, memandangi wajah kharismatikmu  di foto profil , yang sering melempar nasehat berharga dan banyak gadis terhenyak dibuatnya.
            Kalau kau mau mencariku, jasadku berada di belantara ladang-ladang dakwah. Di masjid, di perpustakaan, di kampus, atau menghabiskan waktu bersama teman-teman kampus; bersama kaum perempuan dan anak-anak, berbagi ilmu. Kalau kau mencariku, ruhku berada di outer space, ketika sepertiga malam. Mungkin kau bisa menemuiku di sana, saat kita tengah bermunajat bersama – meski tempat berbeda.
            Ketika gelombang elektromagentik cinta kita beradu dalam aura makrokosmos yang sama.
            Aku, berbeda dengan perempuan yang biasa kau temui.
            Maharku mungkin murah.
            Tetapi nilaiku, tak setara dengan emas yang kau bayarkan, insyaAllah.

            Jadi, kuharap kau mengerti.
            Kalau aku tak akan berkeliaran mencarimu, mengejar-ngejarmu.
            Semakin lama kau menunda waktu, memperpanjang list yang kau gunakan untuk meminang bidadarimu : yang cantik, yang mapan, berkarir, lulus dengan pendidikan strata tertentu, dari kalangan terhormat.
            Aku, biasa-biasa saja. Kecantikan istimewaku pada busana rapi dan kerudung yang kukenakan; pada lisan yang  kuusahakan bertutur dengan isi yang bernas. Kedua orangtuaku hanya orang biasa, dan aku adalah tonggak keluarga. Aku mungkin tak akan membuat heartbeat mu berdetak ribuan kali lebih cepat.
            Aku, mungkin hanya menawarkan sedikit. Untuk menghidupkan malammu. Untuk menjaga kehormatan, dunia dan akhiratmu. Pemikiran dan senyumku, semoga kelak bisa menaungi hatimu yang resah dan kelelahan. Jika, kau masih memimpikan daftar penantian akan bidadarimu, silakan. Mungkin namaku tak masuk disitu.
Meski waktu bersanding kegelisahan dan lelah; semakin aku tangguh dan kuat dalam penantian serta munajat kepadaNya.
Aku yakin, Ia akan memilihkan seseorang yang tepat dan baik untukku, mungkin itu bukan dirimu. Aku justru mengkhawatirkan dirimu, yang terlalu lama menunda dan menanti, membuat daftar yang semakin panjang; maka kau tak akan mendapatkan perempuan sepertiku. Sebab semakin lama, bukan diin atau dakwah yang menjadi pertimbanganmu. Dunia dan kecantikan, yang kau sebut-sebut diperbolehkan oleh baginda Rasul Saw, membuatmu semakin pemilih.
Aku punya sebuah kisah yang mungkin layak disimak utntuk pemuda sepertimu.

**************

Ahmad bin Aiman, sekretaris Ibn Thulun datang ke Bashrah. Ia disambut oleh Muslim bin Umran, saudagar terkaya . Muslim bin Umran, bukan hanya kayaraya tetapi juga tampan dan kharismatik.  Dalam jamuan makan kebesaran, datanglah kedua anak Muslim bin Umran. Mereka berdua sangat sopan santun, ingin berbicara dengan ayahnya dan menunggu kesempatan sang ayah datang. Ketampanan kedua anak itu mencengangkan para tamu, bukan itu saja, sikap yang sangat serasi antara akhlaq, pakaian dan rupanya membuat para tamu berbisik.
“Subhanallah,” decak Ibn Aiman. “Ibu anak ini pasti melebihi bidadari kecantikannya!”
Muslim bin Umran hanya tersenyum mendengar pujian para tamu dan berkata,” aku hanya ingin mengharapkan anda memintakan perlindungan Allah untuk mereka.”
Seluruh tamu penasaran dengaa kehidupan pribadi Muslim bin Umran, apalagi dengan kebahagiaan yang terlimpah demikian sempurna. Mereka memuji,  megatakan kepandaian Ibn Umran memilih istri yagn tentunya cantik jelita dan dari keluarga terpandang. tentu hal yang masuk akal bila Ibn Umran yag kaya da tampan mengambil gadis bangsawan. Siapa yang dapat menolak nya?
 Maka Muslim bin Umran berkisah mengenai masa mudanya.
Ia adalah pemuda petualang, suka berkelana, menimba ilmu. Hingga suatu hari tibalah di Balakh, ibukota Khurasan. Seorang Imam sholih bernama Abu Abdullah al Balakhi tengah membicarakan sebuah hadits dalam majelis,
“….seorang wanita yang hitam lebih baik dari wanita cantik yang mandul.”
Muslim bin Umran , yang muda dan penuh gairah, merasa belum pernah mendengar hadits tersebut. Apalagi penjelasan al Balakhi demikian mengesankan. Al Balakhi mengatakan bahwa, bahasa Arab sangat tinggi muatan sastranya. Rasulullah Saw senantiasa menghindarkan kata-kata celaan yang menyakitkan.
Al Balakhi mengatakan, bahwa makna “hitam” adalah salah satu istilah tersendiri, bukan makna hitam sesungguhnya. Hitam yang dimaksud adalah apa yang dibenci kaum lelaki dari wanita dalam hal bentuk dan rupa; menunjukan wanita yang tubuh dan auratnya tidak memenuhi selera. Ini dipakai Rasulullah Saw untuk mengangkat derajat & harkat wanita.
Al Balakhi melanjutkan, seorang perempuan yang cacat dan tidak cantik di mata orang lain, akan tampak menarik di mata anak-anaknya; bahkan lebih cantik dari ratu singgasana. Itulah penglihatan batin yang merasuk ke kedalaman makna. Jika menukik ke kedalaman jiwa, akan tampak kecantikan & keindahannya. Kehormatan perempuan terletak pada fitrah keibuannya. Meski perempuan itu jelek rupanya, jika ia memiliki fitrah keibuan maka ia jauh lebih cantik dari perempuan yang idnah raut wajahnya tetapi tidak menunjukkan fitrah sejatinya.
Hati dan akal harus diutamakan sebab mereka adalah dua pertiganya, bukan justru  sepertiga yang  harusdiutamakan.
Sembari menceritakan ulang ksiah perjalanan masa mudanya bertemu Al Balakhi, Muslim bin Umran menambahkan ayat,”…sekiranya engkau membenci sesuatu sedang di sana Allah SWT memberikan banyak kelebihan dan kebaikan padanya…           
Ibn Aiman melompat gembira.
“Ini adalah kata-kata malaikat yang kudengar dari lisanmu kawan, ya Umran!”
“Apalagi jika kau dengar sendiri dari Abdullah Al Balakhi,” jawab Muslim. “Dialah yang membuatku suka pada yang jelek, cacat dan hitam. Setelah aku melihat diriku secara jujur , aku menginginkan istri yang berinsan kamil, berakhlaq mulia. Aku tak peduli apakah ia cantik, manis ataupun jelek dan buruk rupa. Jika kewanitaan yang dicari itu ada pada setiap wanita, tetapi untuk akal belum tentu ada pada setiap wanita.”

Maka kemudian, Muslim bin Umran meminang seorang gadis.
Siapa oraagntua si gadis, tidak terlalu disebut. Sebut saja namanya syaikh Ahmad. Syaikh Ahmad menolak puluhan pelamar, menjaga putrinya dengan ketat dan menerima Muslim bin Umran. Ketika malam pertama Muslim melihat sang perempuan, seketika teringatlah ucapan Al Balakhi.
Di hadapannya berdiri seorang yang jelek dan cacat.
Tetapi gadis itu, dengan rendah hati memegang tangannya,
“Tuanku, akulah rahasia yang dijaga ayahku demikian ketat. Ia menerimamu sebab percaya padamu. “
Gadis itu mengambil kotak perhiasan.
“Ini adalah hartaku. Allah SWT menghalalkan Tuan mengambil istri lagi. Pakaialah harta ini jika Tuan mengiginkan kecantikan.”
Muslim bin Umran, demikian teringat akan nasehat Al Balakhi. Dengan lemah lembut ia berkata,
”Demi Allah, percayalah....kau akan kujadikan sebagian dari duniaku, dari segi apa yang yang dibutuhka pria dari wanita. Aku hanya akan menempatkan kau sebagai satu-satunya dalam hatiku. Kaulah wanita satu-satunya, akan akan menutup rapat mataku untuk wanita lain dan tak akan berpaling.”
Gadis itu, ternyata seorang yang cerdas dan baik hati. Semakin lama terlihat segar dan menyenangkan. Perlahan menghilang kejelekannya, yang tampak hanyalah akal dan kecerdasannya. Ia menjadi istri kesayangan saudagar terkaya Bashra, Muslim bin Umran.
Para tamu di jamuan itu ternganga, terhenyak. tak menyangka seseorang seperti Muslim bin Umran memiliki istri yang jauh dari perkiraan mereka! Mereka merasa sangat malu di hadapan Muslim bin Umran yang memiliki keluhuran budi tak terduga
Ibn Aiman terharu.
Muslim memandangnya tersenyum,
”..lihatlah kedua anakku yang elok, Saudaraku. Kurnia Allah , mukjizat keimanan.....”

*************

                                                            You are
 the real diamond among the strong stones
The real pearl in the dark sea
The shining star in night sky

You are ~Rose~ 
Among the beautiful flowers

all of my beloved muslimah sisters
Who still waiting for the real knight 

share dari Sastri*dari note Sinta Yudisia 
http://www.facebook.com/notes/sinta-yudisia-ii/izinkan-aku-meminangmu/240733662683657?comment_id=46123723&notif_t=like

Sabtu, 06 Oktober 2012

Recharging Story

Lupakan sejenak apa yang terjadi di gedung KPK. Tutup mata sejenak dari persoalan mereka, meski ingin sekali berkomentar. Tapi saya ingat dengan pesan dosen saya, "jangan jadi generasi pendengar!"
Media itu bukan tempatnya belajar. Tidak jarang mereka dibumbui kepentingan.
Mari kembali ke buku-buku, teori-teori, dan penelitian-penelitian sejenak, kemudian benturkan mereka dengan fakta yang terjadi di lapangan.

Tergelitik dengan asumsi "citeris paribus" yang berarti bahwa variabel yang lain dianggap konstan. Intinya adalah kita hanya melihat perubahan variabel interest saja.
Kemarin teman saya pasang status "LULUS, citeris paribus". Maka saya bilang asumsi itu tidak relevan. Karena variabel LULUS adalah variabel dependen, sedangkan dia tidak memasukkan variabel independen which is mengasumsikan semuanya konstan. Jika keadaan sekarang konstan, artinya tidak ada perubahan dalam progress skripsi kita, sama saja dong.
Sekarang yang menjadi fokus bukanlah teman kita sudah sampai mana, tapi fokus pada kita sudah sampai mana. Asumsi: semua orang work hard untuk bisa lulus. Maka lulus bukan lagi soal waktu, tapi juga soal usaha. Meskipun nanti yang dinilai dalam penentuan kelulusan adalah hasil, bukan usaha. Tapi memori kita akan sangat mengenang proses.

Cerita selanjutnya adalah masalah outlier. Bahwa society will always drop the outlier. Mereka yang tidak lulus-lulus sampai bertahun-tahun akan di drop-out. Mereka yang tidak bisa bersandingan dengan realitas dan terlalu idealis, akan di drop oleh society. Seperti juga apa yang terjadi di data yang saya olah di stata 10. Saya men-generate para outlier untuk saya pisahkan dari data yang lain agar data saya oke. Tapi kadang stata seenaknya saja mendrop variabel2 yang masih saya butuhkan. Dan ini membuat saya desperate, hingga saya menulis ini. Satu pelajaran: TECHNICAL BURDEN DOES MATTER.
 Idealnya adalah teori, tapi manusia hidup di ruang nyata.


“Most men have no purpose but to exist, Abraham; to pass quietly through history as minor characters upon a stage they cannot even see”
― Seth Grahame-Smith, Abraham Lincoln: Vampire Hunter