Minggu, 31 Maret 2013

Abdi Dalem

"Lha mbaknya kepengen jadi abdi dalem apa gimana?"
*Muka salah tingkah*

Sedikit pengalaman hari ini yang menyenangkan. Jalan-jalan sendirian tidak selalu kesepian. Saya bisa mendengar, melihat, dan menyelami lebih banyak. Hari ini saya pergi ke keraton khusus untuk melihat pertunjukan tari klasik di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, sekalian curi-curi informasi dari para abdi dalem mengenai kehidupan keraton. Ini sengaja saya lakukan agar mendapatkan feel untuk novel yang sedang saya tulis.
Iya sih, melihat para abdi dalem yang rapih mengenakan beskab lurik dan bertelanjang kaki itu saya sebenarnya mupeng. Kepengin banget bisa memakai seragam ala mereka itu. Saat melihat sekelompok pemuda pemudi abdi dalem bercengkerama di wilayah keraton yang ada tulisan "NO ENTRY" -nya, saya iri deh sama mereka. Kita sebagai pengunjung tidak bisa masuk ke wilayah-wilayah tertentu di keraton dan hanya abdi dalem dan orang-orang keraton yang memiliki kesempatan melihat isinya.
Saya melihat wajah-wajah ceria dan damai di sana. Saya iri dengan itu. Pertanyaan dari mas-mas abdi dalem di atas benar-benar membuat saya salting sambil senyam-senyum. Kepengen sih kepengen banget, tapi...hehe. Masih ada banyak hal yang belum kuketahui di sana. Adalah hal yang menyenangkan bukan, ketika kita bisa diterima dengan baik di berbagai komunitas. Melihat para penabuh gamelan, para abdi dalem, para penari keraton, saya iri. Saya kangen banget memukulkan ganggang slenthem ke lempengan-lempengan kuningan slenthem sambil menikmati irama yang dihasilkan.
"Mbaknya datang saja besok Jumat ke sini. Ada macapatan. Kalau mau belajar ada kursusnya. Nanti ujian terus kalau lulus bisa ikut tampil."
"Eh, saya cuma pengen lihat aja kok Pak. Hehe."
Ngeeek.... dalam hati sih sebenarnya mengiyakan. Semoga ada kesempatan lagi ke sana.

Nembang:
"Sekar gambuh ping catur...kang cinatur...polah kang kalantur... Tanpa tutur, katula-tula katali... Kadaluwarsa kapatuh... kapatuh pan dadi awon..."

Jumat, 29 Maret 2013

Ross E. Dunn

"Tujuan pendidikan Zaman Pertengahan agama Islam ini harus dipahami, bukan untuk mengajar sang murid berpikir kritis mengenai lingkungan manusia dan lingkungan alamnya atau untuk mendorong batas-batas ilmu pengetahuan di luar batas kemampuan para pendahulu mereka. Pendidikan itu lebih banyak mengalihkan kebenaran-kebenaran spiritual, nilai-nilai akhlak, dan aturan-aturan masyarakat dari masa lampau kepada generasi mendatang, yang bagaimanapun, para Muslim telah menjumpai kesalahannya karena hasil yang mencengangkan mengenai kepercayaan dan peradabannya."
"Sikap sopan, menahan diri, bersahaja, adab, bersih, cara memasak, tata cara makan dan aturan berpakaian, semua itu merupakann bagian dari tata-nilai yang teramat halus dari savoir vivre atau gaya hidup yang menguasai tempat yang teramat penting dalam hubungan-hubungan sosial dan penilaian akhlak. Apa saja yang menyebabkan sifat malu dan menyebabkan sikap jengkel atau perasaan tidak nyaman seseorang dianggap tidak sopan. Seseorang yang bersikap sopan-santun dan halus budi pekertinya ... kelihatan pada perilakunya suatu kombinasi dari sikap, tindakan dan kata-katanya, yang membuat hubungan-hubungannya dengan orang lain serba serasi, akrab dan demikian alamiah, sehingga mereka kelihatannya bertindak ikhlas." (Kenneth Brown, People of Sale: Tradition and Change in a Moroccan City, 1830-1930, Cambridge, Mass, 1976. hlm. 103)

Kamis, 28 Maret 2013

Paman Ekalaya

"Maafkan saya yang lancang, Paman. Saya sudah tidak tahu persis. Mungkin dua puluh purnama saya mencari panjenengan. Saya ingin menimba ilmu, Paman. Izinkan hamba untuk ikut berguru bergabung dalam rombongan murid-murid panjenengan. Nama hamba Ekalaya, Paman. Bambang Ekalaya."
--Petikan novel Resi Durna karya Pitoyo Amrih.

Dari Destrajumna untuk Ekalaya.
Ketika paman guru berkata dengan lembut pada saya untuk tidak menaruh dendam pada eyang Resi Durna, saya justru merasakan amarah yang amarah memuncak padanya. Benar, memang. Paman pernah berkata untuk tidak serta-merta menilai orang lain atas tindakan yang pernah dia lakukan. Tapi paman, di Padang Kurusetra kemarin saya berhasil memenggalnya. Orang yang kau anggap sebagai guru itu, yang kau curi ilmunya, ia telah mati di tanganku. 
Sebelumnya dia juga membunuh ayahku di depan mataku sendiri! Ini menyakitkan melihat orang itu telah melukai dua orang yang kukasihi. Ada apa sebenarnya dengan ayahku yang mati-matian bertarung melawan dia? Ada apa dengan mereka? Mengapa mendiang ayahku seperti juga menaruh kebencian padanya? Engkau tidak membencinya?
Paman guru, baratayudha telah usai, tapi masih banyak bala kurawa yang bersembunyi di mandura. Aku tidak tahu apakah esok pagi aku bisa berangkat kembali ke Cempalareja.
Salam rinduku untukmu, paman.
Destrajumna


#Efek habis baca novel wayang
Great epic story!

Work for the Poor

Sedikit membuka-buka buku yang dipinjamkan oleh dosen saya beberapa waktu lalu. (Belum dikembalikan juga karena bukunya habis kehujanan jadi agak cacat dari aslinya. Hehehe >,<)
Ini terkait juga dengan kepergian saya ke Jakarta beberapa waktu mendatang. Sedikit menumpahkan kesyukuran bahwa ternyata Allah selalu membimbing kita kepada hal-hal yang menjadi passion dan itu hal yang baik untuk diri kita. 
Akhirnya Allah membukakan jalan untuk pengabdian itu. Sesuatu yang tidak bisa ditukar dengan apapun. Ada teman-teman yang memilih untuk mengabdi ke pelosok nusantara sana dan membagikan inspirasinya kepada masyarakat di sana. Ada yang mengabdi ke perusahaan-perusahaan asing, ada yang mengabdi untuk negara melalui institusi pemerintahan dan lain-lain. Setelah kelulusan dari buaian kampus, kita semua akan mengabdi di ranah masing-masing.
Kadang saat mengerjakan skripsi kemarin, saya bertanya pada diri sendiri. Apakah penelitian ini bisa bermanfaat untuk mereka yang berada di bawah garis kemiskinan? Apakah data observasi yang digunakan sudah mencakup mereka yang tidak memiliki rumah untuk tempat tinggal? Atau nenek dengan payung kusut yang kutemui di sebuah gang di suatu senja itu mendapatkan manfaat dari penelitian ini? Pertanyaan-pertanyaan yang tak perlu dijawab dengan berbagai alasan. Ini hanya perlu tindakan nyata. 
Beberapa bulan ke depan saya mungkin akan bekerja lebih banyak dengan data, statistik, angka-angka. Saya masih berharap itu akan bermanfaat, meski sebenarnya saya juga menginginkan ada kalanya bisa terjun langsung menyentuh kehidupan mereka. Ternyata Allah membukakan jalan untuk saya bisa melakukan keduanya.
Bismillah, semoga bulan Mei nanti akan ditutup dengan indah dan diawali dengan indah. Bulan Maret ini telah saya selesaikan langkah pertama dengan berbagai perencanaan dan tawaran yang membahagiakan. Seperti yang telah saya tulis di awal tahun kemarin, tahun ini akan menjadi tahun penggemblengan dan pengabdian. 
Semoga wisuda nanti saya telah menyelesaikan satu buku kompilasi, satu novel, satu jurnal, satu proposal kegiatan institusi, satu aplikasi, dan melaunching satu film. Hanya dalam waktu dua bulan. Mungkinkah? Bismillah...mari kerja keras!
Semoga bulan Mei akan menjadi sapaan hangat dari ibukota.
Let's work for the poor! Let's dedicate more!

Saya jadi teringat dengan prinsip para abdi dalem keraton. Mereka ikhlas dan nrimo mengabdi meski rupiah yang mereka terima tidak seberapa. Allah sudah tentukan rizki kita masing-masing. Dan rizki itu sepenuhnya urusan pribadi kita dengan Allah. Mereka hanya mencari kebahagiaan yang membuat hati mereka tenteram. Bukankah yang kita cari adalah kebahagiaan? Apa definisi kebahagiaan kita sesungguhnya?
Salah satu kebahagiaan yang indah adalah ketika kita bisa berarti untuk orang lain bukan?

Selasa, 26 Maret 2013

Graduation Flower


Saya baru nyadar bahwa ini adalah buket pertama yang saya terima dari orang lain seumur hidup. Dan itu adalah pemberian dari adik angkatan. Jadi saya pikir ini perlu diabadikan di sini. Hahaha...norak!

Selasa, 05 Maret 2013

Food, Fashion, and Fun

Umm...di tengah-tengah penantian keluarnya jadwal pendadaran, menjadi baby sitter, dan sok-sokan belajar. :P
Sekedar mengisi post pertama untuk bulan Maret.
Dilihat dari judulnya, saya tidak sedang ngomongin gawzul fikr kok.
Beberapa waktu lalu ada yang sempat membuat saya tertohok.
1. Makanan apa yang selama ini kita makan? Selama ini saya makan asal enak dan kenyang, tanpa memperhatikan segi toyib-nya. Apakah makanan itu sehat? Apakah benar saya butuh makanan itu atau sekedar ingin? Bagaimana jika kita dimintai pertanggungjawaban nanti di akhirat tentang bagaimana kita menjaga tubuh yang dititipkan Allah pada diri masing-masing? 
Rasulullah memperhatikan betul itu apa-apa yang beliau makan dan bagaimana beliau makan. 
2. Bagaimana kita menjaga penampilan? Oke, sudah berjilbab syar'i, insya Allah. Tapi apakah sudah benar-benar indah dan nyaman jika dipandang orang lain? Seseorang pernah berkata pada saya, "Kita ini adalah selebriti. Apa-apa yang ada pada diri kita akan dilihat dan dinilai orang lain. Dari situlah kesan pertama dan stigma orang lain timbul pada diri kita dan orang-orang yang berbusana seperti kita. Kita senang melihat orang yang berpakaian rapih dan indah. Tapi diri sendiri tidak melakukannya. Adil nggak? Bahwa ini juga sebagai sarana dakwah lho menjaga penampilan. Rasulullah selalu memperhatikan penampilannya. Ia juga membelikan baju untuk Aisyah dengan warna yang bermacam-macam. Kita mau meniru Rasulullah bukan? Masih cuek dengan penampilan asal jadi?" Saya pun kemudian berpikir, mungkin inilah mengapa di bursa kerja para manajer memperhatikan betul penampilan para calon karyawannya, bahkan dari maskara, eyeliner, fondation, dll yang dipakai pun diperhatikan betul oleh mereka. Ini adalah gambaran tentang kepribadian seseorang. Mereka yang tidak berpenampilan good-prepared akan dicap sebagai orang yang tidak bisa menghargai orang lain dan cenderung ceroboh dalam pekerjaan. Itulah mengapa juga beberapa ulama menasihatkan untuk meningkatkan citarasa penampilan kita pada objek dakwah. Ini bukan sekedar perkara dandan dan modis. Ya, mungkin beberapa di antara kita masih mengernyitkan dahi saat mendengar kata dandan dan stylish. What? Dandan? Bedakan aja nggak pernah. No, tidak sesempit itu memahaminya. Tabaruj ada sendiri batasannya (ada perbedaan pendapat sih tentang ini, tapi saya lebih memilih yang moderat). Ini lebih menyangkut rasa hormat kita pada orang lain dan bagaimana merawat diri sendiri (misal, kulit wajah). Jika kita bisa berdakwah melalui penampilan mengapa tidak? Rasulullah aja stylish kok... Tidak ada lagi alasan untuk tampil kumal dan seadanya.
3. Apa yang selama ini paling bisa membuatmu bahagia dan merasa enjoy? Jalan-jalan? Nonton film? Karaoke? Shopping? Mengapa bukan mengkaji Al Quran? Mengapa bukan tilawah? Apakah tilawah selama ini masih menjadi suatu targetan harian yang harus dikejar untuk dipenuhi dan bukan merupakan kebutuhan dasar? 
PLAK!
Saya tertampar. Hahaha
Semoga satu per satu tiga hal di atas bisa diperbaiki.

Dear, Islam itu syumul. Islam itu ada untuk membentuk kepribadian yang syumul. Semua perkara harus diperhatikan betul.