Selasa, 18 Juni 2013

Masih tentang BBM (lagi)

Masih nyambung dg post saya tetang BBM sebelumnya. Ini nih ada SALAH SATU studi dari Pak Dartanto mengenai subsidi BBM di Indonesia pengaruhnya terhadap fiskal sama kemiskinan.
Ini dia link-nya.
Copas aja sih dari ringkasan salah seorang senior di jejaring sosial. Bilang aja males baca. Hehe... Eh, tapi sebelumnya saya sempet review nih jurnal kok buat kerjaan. Ciyus. Tapi lupa, karena pada akhirnya yang dipakai bukan CGE. Ya sudah, lupakan.
Intinya gini.
Dengan menggunakan CGE-microsimulation, hasil risetnya menunjukkan bahwa jika subsidi BBM dikurangi 25 persen saja maka bisa berdampak pada peningkatan jumlah penduduk miskin 0,25 persen
Sementara itu, kalau subsidi BBM dicabut 100 persen, dan 50 persen'nya dialihkan untuk belanja infrastruktur atau dalam bentuk subsidi lain (produktif) justru bisa mengurangi jumlah penduduk miskin 0,27 persen.
Nah, itulah mengapa pemerintah menerbitkan yang namanya P4S (Program Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial_huft...sambil ngos-ngosan ngejanya -,-) dan BLSM itu tadi. P4S isinya macem-macem: BSM (beasiswa siswa miskin), PKH (program keluarga harapan), raskin, ada juga yg buat infrastruktur khususnya air bersih. Gitu...what the goverment want to do is to re-allocate the subsidies to the right one, re-address itu lah. Kalo boleh ngaku-ngaku, saya ikut buatin draft pedomannya lho...(meski cuma ngrecokin doang sih...hehe -,-')
Naah lagi, sekarang tugasnya anak muda nih, mengawasi dan memastikan pelaksanaannya tepat sasaran dan efektif. Saya bilang mahasiswa aja lah ya, karena saya juga masih bau-bau mahasiswa kok (hehe :P)/
Jadi itu, sekarang bukan saatnya turun ke jalan lagi membuat anarki dan kemacetan. Tapi sekarang saatnya turun ke desa-desa, kecamatan. Turun ke masyarakat langsung kalau berani! Turun ke slum areas, pasar-pasar becek, antrian panjang di kantor pos dan titik pembagian raskin, dll. Jika hanya berani teriak di jalan tapi masih males kalo turun ke masyarakat, ah, itu belum mahasiswa yang sesungguhnya.
Gitu kawan...yap, sekarang saatnya teman-teman di BEM siapkan massa untuk turun ke masyarakat, kecamatan, desa-desa, pos-pos pembagian BLSM, raskin, KPS, dll. Ini perlu banget diawasi lho...trus lakukan studi apakah mereka merasakan manfaatnya atau nggak. Buktikan bahwa mereka jadi malas atau ketergantungan kalau sebelumnya kalian berargumen begitu. Laporkan jika ada hal-hal aneh ke pihak-pihak berwenang atau melalui media massa juga oke.
Sudahlah, keputusan untuk menaikkan harga BBM sudah disepakati di paripurna kan...akan sangat costly dan tambah costly sekali...kalau masih berusaha protes dan minta uji materi lagi oleh DPR. Justru nanti jatuhnya bakal memperburuk keadaan karena memaksa pemerintah lebih lama dalam ketidakpastian. Ngerti dong ya...
Salam satu jiwa!

Minggu, 16 Juni 2013

Cerita Tentang Kelompok Transgender di Jakarta

Sekedar sharing...
Mendengar transgender mungkin agak gimana gitu ya di telinga. Iya, mereka tetap perlu didampingi.
Pertama, tentu terkait agama lah ya, dan itu tidak perlu didebat lebih jauh.
Kedua, bahwa mereka adalah warga negara yang harusnya mendapatkan haknya sebagai warga negara kan ya. Terutama terkait akses layanan publik. Jadi itu, dari hasil seminar saya kemarin, ada paper tentang isu ini. Ceritanya gini. Kelompok transgender di beberapa wilayah kodamadya di ibukota itu sebagian besar mereka tidak memiliki KTP. Padahal hanya dengan itu warga negara bisa mendapatkan akses layanan publik yang lebih luas, terutama untuk mereka yang sebagian besar harusnya masuk ke dalam kategori miskin.
Kenapa?
Gini, mereka kebanyakan pindah dari tempat tinggalnya karena penolakan dari keluarga dan lingkungan asalnya. Mereka minggat tanpa pendidikan dan bekal yang layak. Kebanyakan di usia muda, belum punya KTP atau tanpa surat keterangan domisili atau pindah. Kebanyakan hanya lulus SD/SMP, ada juga yg SMA.
Nah, untuk mengurus KTP mereka kesulitan karena tidak ada surat keterangan pindah itu tadi, kalau mau ngurus di alamat asalnya pun mereka juga sering ditolak karena tidak diakui. Ada juga yg dapet tapi itu dengan menyogok petugas dan itu pun dikasih dengan nomor kode orang lain (ditipu). Akhirnya KTP itu pun tetap tidak bisa digunakan untuk akses bantuan-bantuan pemerintah.
Guys, meskipun mereka dalam pandangan agama seperti itu, tapi mereka juga makhluk Allah yang membutuhkan kasih sayang Allah dan cahaya cinta-Nya. Kita tidak tahu tentang akhir hayat diri kita sendiri apalagi mereka. Don't judge them from their current condition. They simply can change into the better one, with the guidance from Allah.
They're still need us.
Contribute more, the best we can do.

Tentang BBM Lagi

Ya, saya masih pada pendapat saya sebelumnya. Mendukung kenaikan harga BBM, dan pengurangan subsidi BBM agar dialihkan ke program-program penanggulangan kemiskinan.
Umm, untuk hal ini saya akui, saya masih cupu banget dalam hal pengetahuan ekonomi dan rasanya sangat sombong jika saya mengatakan sebagai orang yang terlibat tidak langsung dalam proses di tingkat kebijakan negara. Tapi yang namanya orang belajar, sah-sah saja kan ya memberikan pendapat. Ini tidak ada kaitannya dengan analisis politik. Ciyus! Koreksi boleh-boleh banget kok...namanya sharing knowledge kan ya... (peace maker banget ^^V)
Pertama, saya agak heran dengan pendapat salah seorang adik angkatan di sebuah organisasi tingkat kampus yang mengatakan bahwa subsidi untuk rakyat miskin dalam bentuk BLSM (semacam BLT gitu) yang HANYA turun dua kali untuk lima bulan itu justru yang memanjakan dan membuat rakyat malas. Gini, lebih memanjakan (membuat malas) mana subsidi harga BBM yang segitu banyaknya dan nggak kebanyakan malah dinikmati orang kaya dibandingkan subsidi untuk rakyat miskin itu? Dua, jangan ge-er dulu, BLSM itu sifatnya sementara hanya untuk mempertahankan daya beli masyarakat miskin selama terjadi kenaikan harga BBM. Toh, dalam jangka panjang mereka pun ada programnya sendiri. Jadi program untuk orang miskin itu dibedakan jadi dua: program untuk menanggulangi immediate impact (program jangka pendek) dan program jangka panjang. Nah, program jangka panjang inilah yang ibarat kata tidak langsung memberi ikannya tapi memberi kailnya. Misal para mantan TKI di daerah Tj.Priok nih, mereka dikasih modal skill dan alat-alat modal lain untuk buka usaha sehingga mereka tidak bisa berangkat lagi jadi TKI gitu.
Perlu diketahui, tentu, dan itu hampir niscaya, saya pun sudah membuktikannya lewat skripsi saya kemarin, bahwa kenaikan harga (misal pangan dan BBM) itu akan meningkatkan angka kemiskinan di suatu negara, citeris paribus. Kita melihat efeknya dari dua sudut pandang: efek langsung dan tidak langsung. Efek langsung inilah yang ingin ditanggulangi dengan program BLSM ini agar angka jumlah orang yg jatuh ke lubang kemiskinan atau makin parah miskinnya itu nggak banyak-banyak amat dan nggak parah-parah amat gitu lho. Itulah mengapa programnya didesain cuma sementara. Jadi yg BLT kemarin kok malah diterusin sama SBY itu semata-mata urusan politik, tidak masuk dalam analisis ekonomi sebelumnya. -,- Ya, silakan tepok jidat dulu kalo mau.
Nah, didesain sementara itu ya biar itu tadi, nggak bikin malas-malas banget. Karena dalam jangka panjang perilaku orang tentu akan lebih adaptatif dalam kondisi kekinian. Pas awal-awal harga naik mungkin mereka shock dan bingung gitu lho mau nyari tambahan uang kemana. Tapi dalam jangka lebih lama, ekonomi secara keseluruhan bisa smooth dan saling menyesuaikan (istilah kerennya, new equilibrium). *terlepas dari perdebatan klasik dan neo-klasik ya...-,-*
Jika sempat ada beberapa alasan tokoh politik menolak kenaikan harga BBM karena penimbunan dan ada beberapa politikus negara yg bermain curang di sana, itu beda lagi urusannya sama analisis ekonominya mengapa urgent banget untuk dinaikin tuh harga. Itu adalah masalah kelembagaan proses peneluran kebijakan itu. Jadi kalo itu masalahnya fokus saja lah di sana dengan upaya pencegahan dan mekanisme agar hal itu dapat dihindari.
Jika khawatir itu jadi politik mendulang suara dengan BLSMnya, humm...sebenarnya kan mau naikin BBMnya udah dari kemarin nih, tapi diulur terus sama beberapa politisi yang tidak sepakat. Jadinya diundur terus dan jadinya baru kejadian menjelang pemilu ini kan, jadi ituh kesannya kayak politik mendulang suara gitu. Padahal ide awalnya bukan banget. Murni karena itung-itungan ekonomih. Saya melihat sendiri bagaimana orang-orang di belakang meja itu riweh siang malam kaji ini kaji itu, teliti ini teliti itu. Program-program penanggulangan kemiskinan itu tidak tiba-tiba keluar begitu aja, tapi semua berdasarkan hasil riset akademik, dan itu tidak hanya kuantitatif, kualitatif juga, dan tidak hanya dilakukan satu lembaga/pihak saja, tapi sering juga pemerintah minta bberapa lembaga lain untuk lakukan kajian agar melihat hasil kajian dari berbagai sudut pandang. Itu masih belum selesai. Masih harus diajukan dulu ke rapat kabinet dan tetek bengeknya. Di situlah proses politik mulai. Kadang orang di belakang meja pada sebel kan ya udah capek-capek teliti setengah mati, eh, jatuhnya yang keluar jauh panggang dari unsur akademik, malah kebanyakan politik. Ugh...gap inilah yang sangat menyebalkan. *sok teu aye*
Jadi kawan, saya kira yg perlu banget diawasi oleh mahasiswa skarang adalah justru pengawasan mengenai program-program penanggulangan kemiskinan itu sendiri. Di lapangan masih banyak terjadi kebocoran, masalah, dan banyak hal. Awasi proses pembayaran dan penyalurannya, Siapa saja yg belum dapat. 
Atau justru kalau mau melakukan pendampingan ke kelompok-kelompok marjinal misal, para transgender yang tidak punya KTP karena selalu ditolak keberadaannya oleh pemda setempat karena masalah kartu identitas sehingga tidak bisa mengakses layanan publik. Atau penduduk urban di slum-area yang ditipu mengenai kepemilikan tanah mereka sehingga tahu-tahu mereka harus digusur oleh pemerintahnya sendiri. Atau tentang program bantuan yang banyak bermunculan di daerah tapi diaku-aku oleh banyak pihak yg sebetulnya tidak bekerja apa-apa tapi menikmati duitnya. Lebih dekatlah dengan mereka. Para pemangku kebijakan sedang bekerja keras melakukan yang terbaik sebisa mereka. Tapi ada beberapa agent (pelaku) di bawah atau di sampingnya yang tidak seindah yang mereka harapkan. Itu lho yang perlu jadi perhatian kita itu. Tidak terpaku terus di atasnya, tapi juga di level bawah di tingkat pelaksananya yang kadang dan seringkali terjadi gap informasi antara pusat dan daerah.
Ya gitu deh.


Kebon Sirih, 10.46 sepulang dari slum-area daerah Tanjung Priok.
Di kamar kos, sambil memprsiapkan mental menyaksikan kemacetan esok hari.

Kamis, 06 Juni 2013

Menziarahi Ibukota

Rasanya baru kemarin saat saya langsung mendapat pertanyaan "Jadi, kapan bisa berangkat ke Jakarta?" seusai pertama kali dinyatakan lulus.
Awalnya memang terasa sulit meninggalkan Jogja yang begitu nyaman. Tapi suatu saat kita harus berani untuk keluar sejenak meski hanya sekedar untuk merasakan kerinduan dari jauh. Bukankah rindu itu romantis?
Setelah mulai terbiasa dengan ibukota dengan kegentingannya ini, saya ingin menuangkan sedikit kerinduan pada tempat itu dan pada orang-orang yang ada di sana. Menziarahi malam di kota ini. Entah mengapa waktu menjadi begitu berharga di sini. Sehari-hari saya menghabiskan waktu di dalam ruangan ber-AC dengan orang-orang yang sama dan layar komputer yang tak pernah bosan menampilkan program yang sama. Kemudian ketika pagi hari dan senja menjelang, saya harus menyiapkan mental untuk bergelut di jalanan yang sangat tidak terprediksi. Tapi saya mulai menikmati itu semua. Bahkan banyak hal yang bisa saya pelajari di sini. Saya merasakan betapa orang-orang di sekitar saya sangat membimbing dan memberi dukungan. Bukankah tahun ini adalah tahun penggemblengan? Maka ritme hidup harus mulai berubah. Ritme yang berubah. Ritme yang cepat menggantikan ritme yang lembut.
Dalam kecepatan ritme itu saya tersadar bagaimana sulitnya memulai sebuah tulisan untuk menggenapi pesanan novel dengan seorang teman. Padahal, banyak sekali cerita dan inspirasi yang bisa dibagikan. Tapi untuk memulai menulis itu sendiri sulit. Tentang sopir angkot dan kondekturnya, tentang para penghuni pasar yang sehari-hari saya lewati, tentang wanita-wanita yang memajang dirinya di tepi jembatan setiap malam, tentang penghuni kompleks, dan lain-lain.
Ah, saya harus menghela napas sejenak untuk menyelesaikan itu semua. Novel, buku untuk dashboard, translasi paper, semuanya tiba-tiba menguap di jalanan ibukota.
Baru saja kemarin ayah telepon,
"Dek, Agustus udah ada di rumah kan? Bapak sedang menyiapkan acara wayangan di kampung. Kamu siap rekam ya besok."
Di mana lagi saya bisa menemukan suasana seperti itu jika tidak di Jogja.
Di Jogja, saya bisa menghabiskan malam dengan menikmati lantunan gamelan, pertunjukan tari, teater, pembacaan puisi, diskusi, latihan tari, sampai kajian-kajian yang berkualitas.
Tapi malam ini saya hanya bisa merindukan itu semua dari jauh.
Selamat malam, Jakarta!