Selasa, 22 Januari 2013

Dosa Mahasiswa (Akhir) (Banget)

Timeless, restless, but jobless. Mungkin orang-orang rumah menganggap saya sudah hampir gila. Kesannya nganggur, nggak ada kerjaan, sampah rumah. Padahal, di dalam kamar ngadep komputer terus sampai lupa waktu. Ya itu tadi, hasilnya belum keliatan aja. Entah ini sudah malam keberapa, hari keberapa, pekan keberapa. Saya sudah seperti Nodame Cantabille yang terus-terusan "main piano" non-stop selama berhari-hari, badan dan wajah kuyu, ruangan yang kumuh. 

Dan malam ini baru menyadari sesuatu.

Saya mendapat nilai jelek untuk kuliah matematika ekonomi. Nilai A untuk Matematika Ekonomi II adalah sebuah keberuntungan karena dosennya membuat soal semudah mungkin karena pengertian pada mahasiswa sebodoh saya. Perhitungan kalkulus, logaritma, integral, limit, dan lain-lain terlihat begitu mengerikan bagi saya. Sampai sekarang masih terasa sulit dan belum paham-paham juga. Tapi sekarang saya berhadapan dengan itu semua. Saya harus menghadapi mereka dan bersahabat dengan mereka. Ini tentang olah data skripsi.
Saya mendapat nilai jelek untuk mata kuliah Mikroekonomika 2. Sulit sekali mengerti pelajaran satu ini. Saya ngulang dua kali untuk mata kuliah ini. Tapi sekarang saya harus berhadapan dengan makhluk ini. Harus benar-benar ngerti. Ini tentang skripsi juga.
Saya dulu mengambil mata kuliah Ekonometri1 tiga kali! Kuliah pertama tidak bisa ikut ujian. Kuliah kedua saya tidak bisa mengerjakan soal UAS karena tiba-tiba blank di tengah-tengah. Terakhir dapat nilai A karena sebuah keberuntungan. Hahaha. Ekonometri 2 dapet A- itu juga seperti sebuah keajaiban. Kuis mingguan saya standar-standar banget. Ujian juga tidak begitu yakin. Mungkin karena tugas akhir saya yang paling beda. Hehehe. Tapi sekarang saya harus mengkoreksi hasil ujian puluhan orang yang mengambil mata kuliah ini. Saya juga harus ngerti ini agar bisa lulus skripsi.
Aaaaa...mengapa kalian masih saja menghantui kehidupanku??? Please, be cooperate with me, microeconomics, math, and econometrics! I love you all! So much! Hahaha (frustasi)

Pelajaran:
Terkadang kita harus menghadapi sesuatu yang dulunya kita hindari dan benci. 
Bisa jadi suatu hal itu baik bagi kamu meski kamu membencinya.
Bisa jadi suatu hal itu buruk bagi kamu meski kamu menginginkannya.
Jangan terlalu benci, jangan terlalu suka.
Apapun, hadapi! Kalau mau lari dari masalah, ini adalah hal yang impossible.

Senin, 07 Januari 2013

Kutipan

"Pendidikan seorang sarjana menjadi besar kemajuannya dengan melakukan perjalanan untuk mencari pengetahuan dan menjumpai guru-guru yang berwenang (bagi zamannya)."
--Ibnu Khaldun
 Kutipan dari buku The Muqaddimah, edisi ke-2, terjemahan F. Rosenthal, 3 jilid. (Priceton, N.J., 1967), jilid 3, hlm. 307 (dalam Petualangan Ibnu Batuta karya Ross E. Dunn)

Jiwa Para Ksatria

Masih nyambung dengan post saya sebelumnya.
Pada akhirnya yang membedakan adalah amal dan niat setiap orang.
Ada ksatria yang tidak butuh pengakuan bahwa dia menguasai ilmu tertentu tapi terus mengasah diri dengan ilmu dan kontribusi nyata. Ini mengingatkan saya pada sosok Ekalaya. Dia hanya menginginkan ilmu danurweda untuk dikontribusikan ke pertahanan negaranya tanpa butuh yang namanya pengakuan sertifikasi pemanah terhebat. Tapi Arjuna menginginkannya. Sehingga dua kepentingan inilah yang akhirnya saling tarung.
Kedua, sosok pendekar tanpa nama yang dihadirkan dalam novel kesayangan saya, Nagabumi karya Seno Gumira Ajidarma. Saya appreciate sama tulisan-tulisan beliau yang bermutu. Penulis kisah sejarah yang tidak main-main dalam menjaga pakem keabsahan ilmiah. Referensinya aja gila banget. Oke, kembali ke pendekar tanpa nama. Dia adalah sosok pengelana yang tidak sengaja menceburkan dirinya di dunia persilatan. Yang dia lakukan adalah membela yang lemah, tanpa pandang bulu, tanpa butuh pengakuan. Untuk melakukan itu, dia terpaksa berurusan dengan pendekar-pendekar lain yang itu mengharuskan dirinya untuk mengasah kemampuan silatnya. Akhirnya satu per satu pendekar dia kalahkan. Setelah berhasil mengalahkan beberapa pendekar kaliber, nama pendekar tanpa nama pun menjadi santer pembicaraan di kalangan pendekar maupun para candala. Satu orang yang akhirnya menjadi lawan utamanya, Naga Hitam. Orang yang harus berurusan dengannya karena ia mengusik kepentingan Naga Hitam untuk mendapatkan kekuasaan. Seperti Arjuna, Naga Hitam menggunakan segala cara untuk memusnahkan Pendekar Tanpa Nama itu. 
Ketiga, Bhisma. Ini sosok favorit saya. Tanpa butuh pengakuan bahwa dia seorang raja atau yang pahlawan bagi Astina. Ia tetap mengabdi untuk negaranya. Sepeninggal ayahnya, Sentanu, ia sendiri yang menjalankan roda pemerintahan Astina ketika Citragadha dan Citrawirya masih kecil, belum mumpuni untuk meneruskan tahta. Hingga akhirnya tahta itu secara resmi diserahkan kembali kepada adik tirinya. Ia sudah terikat sumpah untuk tidak menjabat meski ia sangat kompeten untuk itu. Ibu tirinya, Durgandini, yang bersikukuh agar keturunannya yang menjadi pewaris tahta tanpa memperhatikan kompetensi anak-anaknya. Meski ia sendiri mempersiapkan pendidikan anak-anaknya baik-baik.
Kisah-kisah seperti itu tidak jarang terjadi di dunia modern saat ini. Mereka yang lurus berkontribusi tanpa butuh pengakuan itu masih ada. Mereka yang haus kekuasaan meski dirinya berkompentensi tinggi pun ada. Banyak malah.
Jika saya renungi lagi adalah bahwa politik kekuasaan di sini sejatinya diperlukan bukan untuk kepentingan pribadi, tapi untuk perjuangan kebenaran mutlak. Bukan sebaliknya, menggunakan dalih kebenaran mutlak untuk kepentingan pribadi. 
Jadi teringat dengan berita tentang Ikhwanul Muslimin di Mesir. Para kader IM berjuang dari bawah, tanpa butuh pengakuan. Meski dizalimi oleh penguasa oposisi, mereka tetap berkontribusi untuk masyarakat. Tanpa butuh pengakuan dari media dan publik, yang penting kontribusi jalan. Dakwah yang mereka lakukan dari yang terkecil, seperti membantu menyeberang jalan ataupun sekedar membantu barang belanjaan ibu-ibu. Dalam kontribusi itu, mereka tidak membawa yang namanya wartawan. Dengan begitulah mereka mendapatkan pengakuan publik dengan sendirinya. Inilah yang disebut dengan the power of the silent majority. Berapa banyak mereka yang berada di pelosok tanah air, diam dalam kontribusinya. Itulah pahlawan sejati. Mereka tidak butuh pengakuan dari manusia, mereka hanya berkontribusi dengan apa yang mereka bisa. Jika belum berkompetensi, mereka gigih menimba ilmu. 
Kemenangan sejati bagi mereka adalah ketika orang-orang berbondong-bondong pada Islam. Ketika Allah menjadi ridha pada mereka. Ketika kedua kaki menginjak surga.
Satu hal yang saya pelajari di sini adalah bahwa jiwa ksatria sejati itu menggunakan ilmunya untuk kepentingan umat. Bukan kekuasaan. Kekuasaan adalah alat. Kekuasaan adalah amanah. Ilmu, kekuasaan, amanah, itu yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.

Minggu, 06 Januari 2013

"Mengkono kuwi politik, yayi..."

Tiba-tiba ubun-ubun serasa mendidih. Betapa rumitnya manusia. Menarik diskusi saya dengan seorang kolega di dunia maya mengenai tokoh wayang bernama Bambang Ekalaya.  Ini membuat saya benar-benar merenung. Wow...

Bambang Ekalaya yang memiliki kemampuan melebihi Arjuna (terutama karena otodidak) tapi bodoh dalam berpolitik, dengan Arjuna yang sebenarnya juga hebat, pintar politik juga. Singkat cerita, Arjuna berhasil memenangkan pengakuan pemanah terhebat sejagad tapi dengan cara yang tidak adil. Arjuna berhasil membujuk Durna untuk memegang sumpah setianya hanya pada Pandawa (property right). Meski sebenarnya Durna mengalami perang batin setelah melihat potensi yang dimiliki Ekalaya. Tapi dia sudah terlanjur memegang sumpah itu. Kemudian Durna terpaksa mematikan potensi Ekalaya dengan meminta ibu jari "murid" yang dikasihaninya itu. Entah karena bodoh atau apa, Ekalaya mau dengan ikhlas menyerahkannya. Dia pun harus rela kehilangan istrinya juga gara-gara ulah Arjuna. Arjuna untuk hal ini mau mengakui kesalahannya. Dia menerima tantangan perang tanding dengan Ekalaya, dan kalah. Tapi pada akhirnya dia mengadu kepada gurunya untuk memusnahkan Ekalaya. 

Jika dilihat ini mungkin terjadi juga di negeri kita tercinta, Indonesia. Mereka yang berkuasa adalah pemenangnya. Mereka yang pandai berpolitik adalah pemenangnya. Para pemenang membutuhkan pengakuan dengan politik. Ada yang berpolitik dengan benar, ada yang tidak. Mereka yang tidak, menggunakan segala cara untuk menjadi pemenang, sah atau tidak sah. Arjuna melakukan hal yang tidak sah tersebut. Menang dengan property right, kekuasaan, dan pembunuhan. Iya, tidak adil. Tapi itu menjadi realistis di Indonesia. Orang-orang berebut kekuasaan untuk memperjuangkan apa yang menjadi kepentingannya. Dan kita tidak bisa menjamin para pemegang kekuasaan itu berpihak pada kepentingan akan kebenaran mana yang mereka anut. Kebenaran mutlak atau kebenaran relatif? Ada yang sama-sama mengusung kebenaran mutlak tapi beda dalam berproses. Proses sah dan tidak sah. Ada yang mengusung kebenaran yang berbeda, tapi sama-sama menjunjung proses yang adil. 

Dan sayangnya, masyarakat Indonesia masih belum secara utuh mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Pandangan publik bisa dengan mudah diplintir sedemikian rupa. Itulah politik, dinda.

Ada orang yang mirip Durna. Sejatinya dia membela kebenaran, tapi karena kondisi, dia harus melakukan "kesalahan". Ada orang yang mirip Bhisma, yang merelakan apa saja darinya semata-mata untuk pengabdian terhadap apa yang dia yakini sebagai sesuatu yang benar. Apapun kondisinya, tetap kukeuh pada prinsip. Ada yang mirip Arjuna, yang menggunakan segala cara untuk mendapatkan pengakuan. Meski secara umum dia punya kompetensi dan tujuan yang baik. Tapi caranya tidak gentle. Padahal dia disebut-sebut sebagai lelananganing jagad.  Ada yang mirip Ekalaya, kompeten, tapi tidak pandai berpolitik. Akhirnya tidak menyadari bahwa dirinya telah dizalimi. Ini gambaran rakyat jelata. Memberontak saat sudah merasa terzalimi. Tapi berontakan itu berhasil dipatahkan dengan politik.

Pengakuan, kekuasaan, politik.

Yang kita butuhkan adalah politikus ala Werkudara. Tegas benar dan salahnya. Berani bertindak. Berani menunjukkan keberpihakan. Tapi untuk keberpihakan kita perlu belajar dari Bhisma. Konsisten pada apa yang dia yakini. Proses dan tujuan yang benar. Ah, manusia wayang memang rumit.

Kita tetap butuh itu yang namanya politik. Mendakwahkan Islam pun butuh politik agar Islam diakui sebagai ustadjatul 'alam. Pertanyaannya, sudah seberapa besar usaha kita menjaga politik kita di jalur yang benar? Strategi perang ditentukan dengan mekanisme syuro'. Proses syuro' pun harus memenuhi adab-adab tertentu. Inilah indahnya Islam yang begitu menjunjung tinggi proses. Hasil adalah kondisi yang menjadi akibat dari proses dengan ACC dari Allah.

Lagi-lagi pada akhirnya yang membedakan antara mereka semua adalah amal dan niatannya. Apa yang mereka perbuat setelah mereka berkuasa. Digunakan untuk apa kekuasaan itu, dan untuk siapa.

Kamis, 03 Januari 2013

Dari Wiratha Hingga Kurusetra



Padang Kurusetra hening seketika dari kecamuk peperangan. Semua membisu melihat tubuh kakek mereka Bisma, yang tertancap oleh ratusan anak panah Srikandi. Mereka melihat wajah kakek mereka itu menyiratkan luka mendalam sekaligus rasa bersalah. Matanya hanya tertuju pada sosok yang terus meluncurkan anak panah ke arahnya.
“Amba…inikah yang akhirnya kau inginkan selama ini?” lirih mulutnya berucap.
Samar ia melukiskan senyum yang tak bisa dipahami oleh siapapun. 


Ini sekilas tentang kisah Dewi Amba dengan Bisma yang berakhir di Padang Kurusetra.  Bisma yang terpaksa menolak lamaran Dewi Amba karena sumpah dharmanya sebagai seorang ksatria harus merelakan kepergian gadis yang sebenarnya dicintainya terbunuh di tangannya sendiri. Dan pada akhirnya ia merelakan dirinya terbunuh di tangan titisan Dewi Amba. 
Kisah ini mengingatkan saya pada film yang dibintangi oleh Jackie Chan berjudul The Myth. Kisah seorang panglima yang jatuh hati pada seorang putri boyongan tapi mereka tidak bisa saling memiliki. Pada akhirnya sang panglima gugur di medan perang untuk menunaikan baktinya pada negeri. Sang putri bersedia meminum pil keabadian dan menggunakan seumur hidupnya untuk menunggu sang panglima datang kembali menjemputnya.
Ini mirip juga dengan kisah patah hatinya Damarwulan dan Anjasmara. Saat Damarwulan diutus oleh sang ratu memerangi Menakjinggo dengan janji: jika menang dia akan dinikahkan dengan sang ratu dan menjadi raja, jika kalah maka itu berarti kematiannya. Kisah mereka kemudian diterjemahkan oleh Pak Gunawan Muhamad dalam puisinya Asmaradana:

Asmaradana
Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun,
karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah
pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti,
yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib,
perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi
pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan
mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani lagi.

Anjasmara, adikku, tinggallah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.

Satu hal yang saya pelajari dari kisah-kisah ksatria di atas. Mereka berani mengorbankan perasaan cintanya untuk sesuatu yang lebih penting dan lebih besar. Ini namanya pengabdian. Para sahabat Rasulullah dulu pun lebih menyukai medan peperangan daripada hanya berasyik-masyuk dengan istri mereka. Bagi mereka perasaan cinta yang tertinggi adalah kepada Allah dan Rasul-Nya.
Jika ditarik ke masa sekarang, ternyata banyak pula para pemuda yang belum bisa mewarisi jiwa ksatria itu. Dengan mudahnya mereka terlena pada cinta yang sifatnya hanya sementara kemudian melupakan perjuangan yang sesungguhnya. Hingga terjerumus dalam lembah dosa dan maksiat. 
Bagi saya cinta paling romantis itu bukan cinta mereka yang tiba-tiba bersatu dengan mudahnya. Tapi cinta mereka yang dilandasi atas kecintaan pada Tuhan mereka. Cinta pada perjuangan di jalan dakwah.

Rabu, 02 Januari 2013

Orang Darat dan Orang Laut



Masih tentang perjalanan dan sejarah.
Sebuah petikan menarik dari George Makdisi dalam The Rise of Colleges:
"Seseorang yang terpelajar adalah mulia di mana pun atau dalam kondisi apa pun ia mungkin berada, selalu bertemu dengan orang-orang yang menguntungkan dirinya, yang mendekat kepadanya dan mencari persahabatannya, mereka terhormat karena berada deka dengannya." -- 'Abd al Latief al Baghdadi
Ini mengingatkan saya pada perbincangan saya dengan seorang umahat yang patut diteladani pendidikan keluarganya. Bisa dibilang beliau adalah pakar Islamic Parenting di Jogja. Beliau menceritakan mengenai anak-anaknya yang sudah bersekolah di luar negeri dan berkelana ke mana-mana. Satu hal yang membuat beliau tetap yakin adalah bahwa orang baik akan selalu ditemukan dengan orang-orang baik. Ia tidak khawatir anak-anaknya akan salah pergaulan. Ia hanya membekali anak-anaknya dengan pengetahuan agama yang cukup, selebihnya biarkan mereka mencari sendiri. Allah yang akan menjaga mereka sepanjang waktu. 
Saya baru menyelesaikan pengantar buku Ibn Batuta yang ditulis oleh Rose E. Dunn. Sekilas saya melihat perbedaan antara Marco Polo dan Ibn Batuta. Sama-sama musafir hebat, tapi mereka punya kepentingan yang berbeda dalam setiap perjalanannya. Kebanyakan pengembara muslim jaman dahulu mengarungi lautan dan berkelana tanpa mengenal batas negara, suku, budaya, dan bahasa, yang ingin dilakukan adalah menyebarkan ajaran Islam dan belajar dari orang-orang alim yang ditemuinya di setiap persinggahan. Syiar Islam dan ilmu. Dengan niat tersebut tidak jarang Ibn Batuta selalu dikelilingi oleh orang-orang alim dan terpelajar di sekitarnya. Ia bisa belajar dan mengajarkan. Pengelana muslim tidak mengenal batas sekat negara, mereka hanya mengetahui keuniversalan ajaran Islam. Inilah yang kemudian mereka kenal sebagai Dar Al-Islam. 
Secara jujur Rose E. Dunn di sini juga membahas mengenai periode keemasan masa kekhalifahan Abbasiyah yang kemudian disusul dengan penurunan bertahap namun pasti hingga sejarah dunia membelokkan perhatiannya ke dunia barat dengan masa Renaissance-nya. Sejarawan terus menerus menafsirkan kejadian ini dengan kesalahan umat Islam sendiri yang tidak mau mewarisi pendahulunya dalam bidang ilmu. Sementara dinasti barat mulai bangkit dengan perkembangan penemuannya dengan mencatut apa yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan muslim sebelumnya. Pada saat ini kemudian umat Islam tidak bisa memberontak bahwa itu dulu punya kita. Orang barat akan beralibi salah sendiri tidak mau mewarisi.
Satu hal yang saya pelajari dari Ibn Batuta adalah bahwa semangat pengelana muslim adalah syiar dan ilmu. Bahkan saat ia mengalami kecelakaan dalam pelayarannya ke Mongol di Cina, ia akhirnya singgal di pantai barat laut India selama bertahun-tahun tanpa pekerjaan. Namun tersebut tidak menyurutkan langkahnya untuk menunaikan amanah sang raja untuk bergerak ke Cina. Beberapa tahun kemudian ia berinisiatif berlayar ke Cina untuk menunaikan tugasnya yang sempat tertunda. 
Jakarta tempo dulu (http://tatasumitra.com/?p=2244)
Dalam catatan perjalanannya yang ia sebut dengan rihla, Ibn Batuta tidak pernah menyebutkan dirinya sebagai penduduk masyarakat tertentu sekalipun ia adalah pegawai kehakiman di Maroko dan lahir di sana. Ia hanya menyebut dirinya orang kota. Tentang ini saya jadi teringat dengan film Tamra the Island mengenai penduduk desa di Pulau Jeju yang tidak bisa keluar pulau seumur hidup mereka dengan orang-orang yang seumur hidup mereka didedikasikan untuk perjalanan laut. Mereka bergabung dalam suatu kongsi dagang atau hanya sekedar pengembara. Mereka hanya punya kampung halaman tapi tidak pasti kewarganegaraannya. Ini pula yang mengingatkan saya pada orang-orang darat dan orang laut di Pulau Belitong. Pada jaman dulu masih dikenal pembedaan tersebut. Orang-orang yang tinggal di daerah pantai, mereka hidup dari laut meski tidak mengembara jauh. Orang-orang darat adalah mereka yang hidup jauh dari pantai dan berocok tanam. Pada jaman dahulu kota dimulai dari daerah dermaga laut yang mana kapal-kapal lokal dan asing singgah di sana untuk melakukan transaksi perdagangan ataupun hanya sekedar mengisi perbekalan. Kemudian jauh di darat sana tumbuh sebuah pusat pemerintahan yang mereka sebut sebagai kota.
Entah ini tampak berbeda atau sedikit sama dengan masa sekarang. Jika ditarik ke masa kini, orang mana kita jika di masa lalu? Kadang saya merindukan masa dulu di mana orang hanya mengetahui kabar dari tempat lain melalui perantara para musafir yang singgah. Mereka hanya bisa menerka dari hasil pembicaraan dan catatan, atau mereka bertandang ke sana sendiri. Jika hidup di masa lalu, mungkin saya adalah seorang gadis desa yang bercocok tanam dan sudah menikah dengan seorang pemuda. Hahaha...(kalo yang ini beda konteks bahasan ya). 
Jogja tempo dulu
Seketika ingatan saya tertuju pada pementasan teatrikal Jawa di TBY beberapa waktu yang lalu sebelum saya menjejakkan kaki ke Bumi Kaulan. Pemuda dengan baju khas pendekar jaman dahulu melagukan tembang Jawa dengan begitu mempesona. Ia kemudian menggerakkan tangannya yang kekar membuat lukisan abstrak di sebuah kanvas yang berbuat dari kaca dengan balutan tarian dan tembang yang menawan. Itu pertama kalinya saya benar-benar jatuh cinta pada budaya Jawa dan kesenian tradisional, serta hal-hal yang berbau sejarah. Saya benar-benar merindukan masa-masa seperti yang digambarkan di pementasan ketoprak-ketoprak itu. Ndeso lan njawani. Kemudian setiap hari saya akan mendengar ayah berkisah mengenai cerita wayang mahabarata dan perang baratayuda. Para pemuda merayu para gadis dengan tembang-tembang asmaradananya. Seperti para pemuda-pemudi di Belitong tempo dulu yang saling bertukar pantun untuk saling menarik perhatian. 

Sekar asmaradana pun mengalun lembut dari laptop saya:
pratikele wong ngakrami
dudu brana dudu warna
....

*tiba-tiba kangen sama slenthem >,< (lhoh?), terus ngepoin para penari peran Arjuna (padahal lagi sebel sama Arjuna karena mengalahkan Ekalaya dengan tidak adil).

Selasa, 01 Januari 2013

Tentang Perjalanan dan Sejarah


Entah, apa yang hendak saya tulis kali ini. Saya membaca tulisan teman-teman mengenai refleksi akhir tahun, resolusi tahun baru, dan lain sebagainya. Semua telah mengukir karyanya masing-masing. Ada yang puas ada yang tidak. Lalu, apa yang saya kerjakan dan pelajari dari tahun kemarin? Saya sudah bisa menjawabnya. Tapi, apa yang akan saya lakukan di tahun ini? Itu masih belum bisa menjawabnya dengan mudah.



Awal tahun masehi kali ini diawali dengan bulan Safar di tahun Hijriyah. Safar berarti bulan saat orang-orang banyak melakukan perjalanan. Tapi yang terjadi  adalah saya masih tinggal di kota yang telah lama membesarkan saya ini. Saya sempat mendengar kabar mengenai teman-teman yang hendak melakukan perjalanan jauh untuk studi mereka. Iya, iri. Toh nyatanya saya belum menyelesaikan satu pekerjaan penting dalam hidup bernama skripsi. Saya membenci diri sendiri untuk hal ini.
Awal tahun ini, di Bulan Safar, saya mengawalinya dengan membaca buku perjalanan Ibn Batuta. Seorang petualang legendaris dunia yang seharusnya pamornya melebihi Marco Polo. Ia menjadi saksi sejarah perkembangan Islam pertama kali di Indonesia. Kerajaan Samudera Pasai. Saya hanya bisa memberikan satu cuplikan di awal buku itu:

"Saya berjumpa di (Brusa) syekh 'Abdallah al-Misri yang alim, sang musafir, dan seorang pria yang hidupnya seperti seorang wali. Ia telah menjelajahi bumi ini, tetapi ia tidak pernah pergi ke Cina ataupun Sri Lanka. Juga tidak pernah ke negeri Maghrib atau ke negeri Andalusia, atau ke negeri-negeri Negro, sehingga saya mendahuluinya dengan mengunjungi wilayah-wilayah tersebut."
-- Ibnu Batuta
Saya baru membaca pengantarnya. Nanti akan saya ceritakan lagi tentang buku ini. Insya Allah. Membaca sekilas tentang buku-buku sejarah, jadi merindukan suatu masa di mana akses telpon dan internet belum ada. Orang-orang berhubungan dengan orang lain di tempat yang jauh dari mereka hanya dengan perantara surat atau bahkan tanpa kabar sama sekali sehingga mereka hanya bisa mengirimkan doa-doa. Masa di mana mengunjungi tempat lain adalah benar-benar sebuah kejutan. Ibnu Batuta mengajari kita untuk melakukan perjalanan bukan hanya sebagai pelancong, penikmat kebudayaan, dan penikmat pariwisata. Tapi perjalanan yang ditujukan untuk ilmu. Maka berbahagialah kawan-kawan yang telah menjelajah belahan dunia untuk menuntut ilmu dan mengajarkan ilmu. Kisah seorang pendekar tanpa nama yang diceritakan oleh Seno Gumira Ajidarma dalam novelnya Nagabumi sedikit membuat saya terkesima mengenai keluasan ilmu orang-orang jaman dahulu. Mereka mempelajari ilmu tidak dari sumber pasaran. Pendekar itu secara jelas memisahkan mereka yang berilmu dari sumber pasar dengan perantara telinga dan mulut orang tidak jelas dengan mereka yang berilmu dari sumber yang jelas. Satu quotes menarik yang disampaikan oleh sang pengantar di buku Ibn Batuta, bahwa para sejarawan itu mengisahkan cerita yang sudah selesai. Ia menceritakan kepingan kisah yang sudah diketahui endingnya.
Teringat dengan petuah Pak Fatan beberapa waktu lalu mengenai sanad. Tradisi para ilmuwan muslim dahulu adalah memelihara sanad. Sehingga bisa kita telusuri sekarang, siapa berguru pada siapa mengenai apa. Ini akan berguna bagi para sejarawan untuk menguji keotentikan dan subjektifitas penulis atau pelaku sejarah tersebut. Beda dengan sekarang yang sumber-sumber ilmu bertebaran di mana-mana tanpa sanad yang jelas. Alhasil, orang bisa dengan mudah comot sana comot sini tanpa memperhatikan keabsahan sumber.
Cerita tentang seorang ratu di Cina yang menjadi saksi kehancuran dinastinya, kisah tentang manusia-manusia berlatar kerajaan Padjajaran dan Majapahit, kisah perjalanan para Pandaya Sriwijaya dan perompak di Teluk Benggala, menelusuri jejak ratu Mongol dan perjalanan Cheng Ho, kemudian maju ke masa penjajahan Hindia-Belanda dari seorang Multatuli juga menikmati Pak Pram berkisah tentang wanita pribumi yang dipersunting oleh keturunan Walanda. Kisah sejarah kadang melukiskan kisah orang-orang penting dan dianggap besar. Jadi teringat dengan artikel yang dimuat di majalan tempo beberapa waktu lalu mengenai sejarah rakyat biasa, sejarah kaum jelata. Mereka juga pelaku sejarah yang penting.
Ingin rasanya melakukan perjalanan jauh untuk mempelajari dan mengalami sendiri apa yang Allah hendak ajarkan kepada manusia melalui perjalanan. Perjalanan sejatinya adalah mengenali diri sendiri dari sudut pandang lain, dan sejatinya watak diri akan tampak saat melakukan perjalanan yang tak biasa.
Berkaca pada tahun 2012, saya tidak bisa menyebutnya sebagai tahun karya, meski orang-orang bilang tahun itu saya menghasilkan beberapa karya (satu film, dua buku, dua proyek). Selebihnya ada banyak hal yang tidak terselesaikan dengan baik. Mudah sekali bagi orang membuat list mengenai apa yang telah ia hasilkan dan kerjakan, tapi, sulit pula untuk mengakui kesalahan-kesalahan yang sudah dilakukan. Seperti halnya jejak yang kita tinggalkan di atas pasir atau tanah. Mereka bisa terhapus dengan mudah. Tapi bagaimana jika jejak itu ditinggalkan pada batu? Bahkan para sejarawan dan arkeolog menjadikannya sebagai sesuatu yang bernilai sejarah jika itu merupakan jejak peristiwa penting di masa lalu. Jejak apa yang sudah kita tinggalkan di batu? Kebaikan atau keburukan?
Tahun 2013 saya berharap ini akan menjadi tahun persiapan dan penggemblengan sebelum saya melangkah ke tempat-tempat jauh di tahun 2014. Perjalanan ke tempat seluruh umat muslim merindukannya dan perjalanan ke tempat sebagian besar mahasiswa ingin belajar di sana. Sudah dicukupkan sampai di sini saja, masa-masa kekanak-kanakan. Sudah saatnya berpikir dewasa. Dewasa berarti bertindak berdasarkan benar dan tidak benar, bukan berdasarkan keinginan. Tahun ini akan menjadi tahun pengabdian, tahun penggemblengan, tahun penempaan, tahun penuh kesabaran.
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al Hasyr: 18)
http://bobommz.blogspot.com/2011/11/aar-cer-cerpen-11-perjalanan-yang.html