Rabu, 15 Agustus 2012

Bagaimana Kami Bisa MEMAKSAKAN Percaya Kami Pada Kalian?

Saya memang tidak begitu aktif mengikuti perkembangan nasional terkini. Tapi ijinkanlah saya menulis beberapa yang mengganggu pikiran saya selama ini. ijinkanlah saya yang sedang sakit ini menggunakan sisa tenaga untuk menuliskan kemuakan saya pada ketidakadilan di negara ini.
Rasanya belum lama telinga kita sebah dengan pemberitaan mengenai Cicak vs Buaya yang melibatkan para petinggi kepolisian kita juga sempat terjadi penahanan para pemimpik KPK. Baru-baru ini kita dibikin muak lagi dengan Cicak vs Buaya jilid II. Kali ini mengenai kasus pengadaan simulator uji SIM. Kita semua sudah tahu lah bagaimana ujian SIM. Orang bisa dengan mudah mendapatkan SIM asal dia punya duit dan punya kenalan orang dalam kepolisian. Semua bisa diatur. Kali ini kasus yang mencapai ratusan miliar rupiah duit rakyat itu (gak tau deh pasti nominalnya, lupa gue), jadi rebutan antara cicak dan buaya. Coba deh elo tebak mana yang bakal menang. Masih mending ya kalo buaya sama ikan paus. Jadinya kita dapat kota Surabaya. Tapi ini cicak sama buaya..beuh…dipithes sekali aja cicak bisa klepek-klepek.
Balik ke KPK vs Polisi tadi. Dalam laporan, KPK tuh udah mulai menyelidiki kasus itu 25 Januari 2012 yang lalu dan sudah masuk tahap penyidikan. Mereka udah dapat beberapa tersangka yang salah satunya adalah seorang petinggi bintang dua polri. Terus minggu kemarin menurut cerita, mereka berkunjung ke mabes polri buat kasih surat pemberitahuan penyidikan, sekaligus mau kulo nuwun. Hari itu juga anak-anak KPK yang jumlahnya 30 orang mulai menggeledah markas itu. Awalnya disambut baik, udah dikasih kunci pula. Terus tiba-tiba di tengah malam pemimpin KPK itu dapat pesan darurat mengenai penghalangan penggeledahan itu. Intinya sih, mereka ditahan di markas itu gak boleh keluar. Sampai sahur di sana. Apa alasan kok tiba-tiba aja “seakan” berubah pikiran gitu sih polri?
Alasannya adalah polri merasa menyelidiki kasus itu duluan. Dan KPK udah melanggar batas dalam hal ini. penggeledahan tanpa persetujuan polri. Pusing deh gue. Polri sudah menetapkn tersangka yang jumlahnya lebih banyak dari punya KPK. Padahal menurut tanggal nih ya, KPK mulai 25 Januari, polri mulai Mei. Dalam UU KPK udah diatur juga siapa cepat dia dapat. Dan kenapa polri masih ngotot menangani kasus ini? kalau mau ditangani bersama-sama nanti gimana nggak chaos?
Harus ada salah satu yang mengalah. Dan yang mengalah itu adalah polri. Kasus ini melibatkan orang dalam tubuh kepolisian itu sendiri. Logikanya nih ya, kalau kasus itu ditangani sendiri oleh polri sendiri, gimana bisa independen prosesnya? Gimana bisa kredibel hasilnya? Terus kenapa masih saja ngotot? Mereka berdalih, biarkan polri membuktikan kepada masyarakat bahwa kami bisa menangani kasus ini sendiri.
Pak, maaf, bagaimana kami bisa percaya pada kalian jika kasus yang selama ini “dilupakan” belum selesai juga ketika kalian yang menangani? Rekening gendut kalian, pembobolan BNI yang nilainya triliunann itu, pengadaan alat komunikasi mabes polri, apa lagi? Gayus…nah, harusnya bisa sampai melibatkan oknum polri tapi gk tersentuh tuh, dll……apakah itu tidak cukup untuk membuat kami KESAL dan SULIT UNTUK PERCAYA lagi pada kalian? Kasus-kasus itu saja belum selesai, kenapa masih ngotot mau menangani yang baru yang MELIBATKAN oknum anggota kalian?
Apakah ini tidak memperlihatkan bagaimana upaya kalian melindungi korupsi di tubuh kalian sendiri?
Bagaimana kami bisa memaksakan kepercayaan kami pada kalian yang untuk kasus pelanggaran lalu lintas kecil saja beberapa di antara kalian masih ada yang mau disogok? Bagaimana kami bisa memaksakan kepercayaan kami pada kalian yang untuk persidangan kecil saja kalian masih membiarkan para calo bertebaran di sekitar kalian, BAHKAN DI DEPAN MATA KALIAN? Seakan kalian sendirilah yang telah melegalkannya? Bagaimana kami bisa MEMAKSAKAN kepercayaan kami pada kalian jika untuk kasus pembebasan mobil karena kecelakaan dan kedua belah pihak sudah saling rela tanpa paksaan, masih kalian persulit bahkan kalian DENGAN TANPA MALU MEMINTA SUAP dari ayah saya? 
Berapa triliunan uang rakyat lagi yang mesti kalian korbankan untuk MEMAKSAKAN KEPERCAYAAN kami pada kalian? Berapa nyawa tak berdosa lagi yang harus kalian korbankan untuk MEMAKSAKAN KEPERCAYAAN kami pada kalian? Berapa orang lagi yang harus menjadi tumbal untuk MEMAKSAKAN KEPERCAYAAN kami pada kalian??
Inikah keadilan yang selama ini kalian maksud? Di mana keadilan yang kalian tegakkan itu ketika masyarakat desa yang tak tahu apa-apa tiba-tiba kalian tembaki dan kalian hardik HANYA untuk MELINDUNGI pengusaha yang telah MENYOGOK kalian? Inikah penegak keadilan yang kami idamkan itu? Berapa banyak air mata yang mesti kami tumpahkan lagi untuk menangisi betapa SAKITNYA kalian? 
Rasanya sudah cukup muak kami memaksakan kepercayaan kami pada kalian. Plis, tolong, masyarakat sudah pada tahu kok. Saya yakin, di dalam tubuh kalian masih ada beberapa orang yang jujur dan berjuang memelihara kejujuran mereka. Bahkan jika itu pahit. Dan saya yakin, mereka bisa merubah keadaan sakit parah itu di dalam tubuh kalian. Syafakallah…

NB: tulisan ini dibuat tanpa lihat literatur, jadi koreksi saya jika ada kesalahan

Rabu, 08 Agustus 2012

Does Pollution Haven Exist in Indonesia?

oleh. Wulan Wiyat Wuri dan Zulfa Utami Adiputri

“With laissez-faire and price atomic, ecology’s uneconomic. But with another kind of logic, economy’s unecologic.” [Kenneth E. Boulding, dalam Frank F. Darling and John P. Milton, eds., Future Environments of North America, 1996]
    Kaitan antara pertumbuhan ekonomi dan lingkungan hidup selalu menarik untuk diperbincangkan. Tak ada satu pun negara di dunia yang tidak menginginkan pertumbuhan ekonomi yang identik dengan perbaikan kesejahteraan. Usaha untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tersebut seringkali dihubungkan dengan degradasi lingkungan. Sedangkan lingkungan itu sendiri terkait erat dengan keberlanjutan suatu pembangunan. Kesejahteraan yang dituju dari pembangunan yang dilakukan tidak akan tercapai tanpa adanya pembangunan yang berlanjutan (sustainable development). Pembangunan tanpa keberlanjutan tidak lebih dari perolehan atas angka-angka statistik pertumbuhan namun nir-kesejahteraan.
Sebagian besar negara-negara di dunia terutama negara berkembang yang sebagian besar merupakan negara industri baru mengalami dilema antara ekspansi pertumbuhan ekonomi dan upaya penyelamatan lingkungan. Begitu juga Indonesia yang tengah menjalani euforia pertumbuhan ekonomi yang cukup menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang selalu berada di atas 5% sejak tahun 2004 (Year on Year based). Bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara G20, Indonesia memiliki perubahan pangsa PDB dunia yang positif. Pangsa PDB Indonesia di dunia sendiri meningkat dari 0,82% pada tahun 2005 menjadi  1,21% pada tahun 2009.
Pertumbuhan ekonomi yang positif tersebut menumbuhkan gairah tersendiri bagi para pelaku pasar untuk meningkatkan investasinya di Indonesia. hal ini tercermin dari meningkatnya investasi di Indonesia terutama dalam bentuk Foreign Direct Investment (FDI) . Realisasi FDI di kuartal pertama tahun 2009 yang sebesar US$ 453 juta menjadi US$ 2.289 juta di kuartal kedua tahun 2010. Tahun 2010 menjadi awal diberlakukannya kesepakatan ACFTA dengan pemberlakuan tariff 0% untuk kategori barang-barang normal track. Hal ini membuka keran perdagangan di antara negara-negara di ASEAN maupun dengan China. Dengan semakin terbukanya perekonomian Indonesia terhadap dunia, semakin banyak pula investor yang mengincar Indonesia sebagai pangsa pasar yang sangat potensial untuk mereka jajaki.
Sejak pemberlakuan ACFTA di Indonesia, aliran deras modal mulai masuk, baik berupa relokasi pabrik, investasi properti, dan lain-lain. Bahkan kini mulai banyak investor China yang tertarik untuk berinvestasi di Indonesia dengan tiga sektor yang diminati, yaitu (i) sektor infrastruktur, terutama transportasi, (ii) sektor yang terkait dengan manufaktur, dan (iii) sektor energi, termasuk pembangkit tenaga listrik terbarukan. Selain itu, investasi yang cukup prospektif adalah dalam sektor kendaraan roda dua di mana Indonesia diprediksikan pada beberapa tahun mendatang akan menjadi pasar terbesar ketiga di dunia . Selanjutnya, setelah empat perusahaan menanamkan investasinya di sektor alas kaki di Indonesia dengan potensi investasi sekitar US$ 200 juta, kini ada dua investor yang berasal dari Korea sedang menjajaki investasi di Indonesia untuk memindahkan pabriknya dari China ke Indonesia dengan potensi investasi senilai US$ 100 juta. Sejak tahun 2009 telah ada sekitar 22 investor asal China dan Taiwan yang berminat berinvestasi pada sektor alas kaki dan industri komponennya di Indonesia. Investasi yang masuk diharapkan dapat menyerap tenaga kerja dan mendorong perbaikan perekonomian.
Namun rupanya derasnya FDI yang masuk ke Indonesia mendapat tudingan bahwa semua itu tak lain adalah upaya pengalihan dirty industry dari negara maju kepada negara berkembang.
Mengapa demikian? Negara-negara maju mulai gencar melakukan relokasi pabrik dan pusat-pusat industrinya ke negara-negara berkembang terutama di negara yang memiliki labor abundant sehingga mereka akan mendapatkan labor dengan upah yang lebih rendah dari negara origin-nya. Alasan lain dari relokasi tersebut adalah untuk mendapatkan pangsa pasar yang lebih besar. Seperti yang terjadi di Indonesia. Indonesia yang memiliki jumlah penduduk besar menjadi sasaran empuk bagi pelaku pasar di dunia. Dan kebanyakan dari relokasi tersebut merupakan relokasi sektor-sektor yang menghasilkan tingkat polusi yang cukup tinggi (dirty industry). Dengan demikian, FDI yang masuk ke negara berkembang menjadi sarana untuk peralihan konsentrasi polusi di negara maju ke negara berkembang seperti Indonesia.
 Pollution haven hypothesis yang mencoba menjelaskan fenomena ini memperoleh dukungan dari hasil studi Walkirdch dan Gopinath (2008) dalam makalahnya mengenai FDI di Mexico. Studi tersebut menyimpulkan bahwa kenaikan aliran FDI yang mengejutkan selama dekade terakhir dari negara maju kepada negara berkembang terkait erat dengan lemahnya kebijakan lingkungan di negara tujuan FDI. Lebih jauh lagi, ditemukan adanya hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang dan keterbukaan perdagangan dengan tiga kunci utama deforestasi: kemiskinan, ekspansi agrikultural dan pembangunan jalan (Lopez dan Galinato, 2004).
Terkait dengan polusi, diketahui bahwa emisi udara dan air meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi pada tingkat pendapatan tertentu (Colle, Elliot, dan Zhang, 2010). Total output share yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan dari Hong Kong, Macau dan Taiwan memiliki pengaruh positif pada emisi meskipun efek tersebut hanya signifikan pada tiga emisi cair industri. Total output share yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan dari negara asing  dapat menguntungkan, merugikan, atau netral, bergantung pada jenis polutan.
Bukti Lain yang Memberi Harapan
Di antara demikian banyak studi yang menunjukkan trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan lingkungan, sebuah survei terhadap data lingkungan hidup menunjukkan kaitan positif antara pertumbuhan ekonomi dan membaiknya kualitas air dan udara pada tingkat PDB $ 10.000 (Grossman dan Krueger, 1994). World Development Report tahun 1992 melaporkan bahwa pengaruh peningkatan kesejahteraan terhadap kerusakan lingkungan menyerupai kurva U terbalik di mana titik balik terjadi pada tingkat pendapatan per kapita $ 8.000. Pada tingkat pendapatan setelahnya, peningkatan kesejahteraan akan beriringan dengan turunnya tingkat polusi. Saat ini PDB per kapita Indonesia berada pada kisara $ 2.270. Meski masih cukup jauh dari tingkat PDB per kapita pada titik balik, selalu ada harapan untuk mencapainya. Bahkan, besarnya FDI yang masuk ke Indonesia menjadi peluang khusus untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang lebih cepat. Dengan demikian, FDI tidak lagi menjadi momok bagi lingkungan dengan asumsi adanya peningkatan PDB per kapita yang signifikan untuk mengejar tingkat polusi yang rendah.
FDI yang masuk ke Indonesia sebagian di antaranya merupakan relokasi perusahaan asing. Terdapat kekhawatiran akan terjadi fenomena pollution haven, yakni relokasi polusi ke indonesia, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun, Garcia, Afsah, Sterner (2008) yang melakukan studi mengenai PROPER Program  di Indonesia mendapati bahwa perusahaan-perusahaan asing di Inndonesia cenderung merespon environmental rating scheme dari PROPER Program dengan lebih baik dibanding dengan perusahaan swasta lokal. Lebih jauh lagi, studi Wheeler (2000) dalam Norberg (2001) menemukan bahwa perusahaan asing yang merelokasi pusat produksi mereka ke negara-negara berkembang adalah lebih ramah lingkungan daripada perusahaan lokal. Mereka berusaha mengikuti UU mengenai lingkungan hidup, sebab bagaimanapun mereka harus memperhatikan citra merk produk mereka. Di Indonesia hanya 30% dari total perusahaan yang ada yang menaati peraturan lingkungan hidup, dan 80% di antaranya merupakan perusahaan multinasional. Bahkan, satu dari sepuluh perusahaan asing menerapkan standar yang leibh tinggi daripada yang tertera dalam peraturan.
Bahwa FDI memungkinkan kehidupan lingkungan yang lebih baik –yang berarti hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dan perbaikan lingkungan hidup, kini kian jelas. Namun begitu, konsekuensi agar hal ini dapat tercapai adalah kejelasan aturan main dan penegakan hukum oleh pemerintah. Upaya pemerintah berupa penetapan peraturan lingkungan terkait dengan kegiatan ekonomi telah dilakukan . Sayangnya, masih banyak terjadi pelanggaran yang ironisnya tidak mampu diusut hingga selesai. Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Permana (2010) ditemukan adanya diskriminasi penegakkan hukum dalam kasus pembalakkan liar. Sejumlah kasus lingkungan juga menggantung hingga sekarang, bahkan kasus setenar lumpur Lapindo tak kunjung rampung. Dapat disimpulkan, permasalahan utama yang terjadi dalam hubungan pertumbuhan ekonomi –dalam kasus ini adalah FDI- dan lingkungan terkait dengan proses penegakkan hukum.
Mengupayakan Perbaikan ke Depan
    Bagaimanapun juga pemerintah adalah institusi yang bertanggung jawab langsung dalam penegakkan hukum. Ada sejumlah langkah yang dapat dilakukan pemerintah untuk memperbaiki situasi ini. Yang pertama, terkait dengan upaya transparansi laporan keuangan perusahaan baik domestik maupun multinasional  dengan menerapkan green accounting –sistem pembukuan yang memasukkan biaya lingkungan ke dalam laporan keuangan. Melalui publikasi laporan keuangan dengan metode green accounting, perusahaan diharapkan lebih awas dan peka pada lingkungan mengingat citra perusahaan yang akan langsung terbaca melalui publikasi: berapa banyak realisasi CSR lingkungan, berapa besar biaya eksplisit untuk pengurangan emisi.  Di sini perusahaan-perusahaan multinasional menjadi role model bagi perusahaan lokal. Lebih jauh lagi, pemerintah perlu menetapkan penggunaan green accounting dalam peraturan formal. Tentu saja diperlukan sosialisasi terlebih dahulu untuk mencapai keberhasilan aplikasi green accounting.  Selanjutnya, transparansi yang sama juga perlu dilakukan pada state-level di mana pemerintah pun menerbitkan laporan pertanggungjawaban dan laporan realisasi proyek dengan metode green accounting.
    Kedua, optimalisasi PROPER Program –lebih dikenal dengan PROPER PROKASIH di Indonesia. PROPER Program terbukti memberikan dampak signifikan terhadap perbaikan kualitas lingkungan hidup, sesuai dengan tujuan program ini yakni untuk mendorong peningkatan informasi kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan. Peningkatan kinerja penaatan dapat terjadi melalui efek insentif dan disinsentif reputasi yang timbul akibat pengumuman peringkat kinerja PROPER kepada publik . Hanya saja, dari sekitar 8.000 perusahaan di Indonesia, baru 700 di antaranya mengikuti program ini. Untuk memperluas cakupan peserta PROPER, pemerintah hendaknya melakukan kampanye yang lebih masif agar PROPER program tidak hanya dikenal oleh kalangan terbatas, namun juga masyarakat luas. Kampanye-kampanye kreatif melalui media cetak dan elektronik dan pengadaan kegiatan terkait PROPER dapat dilakukan.
Bukan mustahil. Itulah kesimpulan dari tulisan ini. Bukan mustahil bagi ekonomi untuk tumbuh bersama lingkungan. Bukan mustahil bagi Indonesia untuk menjadi negara yang tumbuh dalam green growth. Tentu saja, upaya yang dilakukan tak cukup dari pemerintah saja. Selalu diingatkan dalam banyak tulisan, seluruh komponen masyarakat adalah penting untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik.
Justru dengan menarik FDI ke dalam negeri dapat mempercepat pencapaian pertumbuhan ekonomi dan tingkat PDB per kapita yang mampu memberikan dampak positif terhadap lingkungan. Memang belum ada studi yang membuktikan secara khusus apakah pollution haven terjadi di Indonesia khususnya sejak diberlakukannya ACFTA. Namun penulis berharap, tulisan ini setidaknya dapat menjadi inspirasi bagi para peneliti untuk melakukan studi lebih jauh mengenai dampak dari keterbukaan ekonomi terhadap konsetrasi polusi di Indonesia.
“With laissez-faire and price atomic, ecology’s uneconomic. But with another kind of logic, economy’s unecologic.”
Kutipan ini seharusnya dapat dibantah dengan studi-studi yang membuktikan bahwa ekonomi dapat sejalan dengan lingkungan. Terlepas dari logika –atau sistem- macam apa yang digunakan untuk mengusahakan pertumbuhan ekonomi. Manusia dapat memperbaiki kesejahteraan tanpa melepaskan cintanya pada bumi tempat ia hidup dan dilahirkan. Dan itulah yang tengah kita kerjakan sekarang untuk Indonesia dan dunia.

DAFTAR REFERENSI:
Afsah S, et al. 2009. Which Firms are More Sensitive to Public Disclosure Schemes for Pullution Control? Evidence from Indonesia’s PROPER Program. J Environment Resource Econ 42: 151-168
Asian Development Bank. 2010. Asian Development Outlook Macroeconomic Management Beyond the Crisis
Cole M, et al. 2010. Growth, Foreign Direct Investment and the Environment: Evidence from Chinese Cities. Journal of Regional Science 11 Juni 2010
HMI News. 2010. http://hminews.com/news/indonesia-surga-bagi-investor-asing-kata-imf/ diakses pada 20 September 2010
Norberg J. 2001. Membela Kapitalisme Global. Jakarta: The Freedom Institute
Permana YH. 2010. Application of Rule of Law by Jurisdiction System on Illegal Logging Case in Indonesia 2002-2008. Yogyakarta: JEBI
Waldkrich A, Gopinath M. 2008. Pollution Control and Foreign Direct Investment in Mexico: An Industry-Level Analysis. Springer Science Business Media B.V.

Blog Entry ANY GIVEN SUNDAY MOTIVATIONAL SPEECH BY AL PACINO

(sekedar mengepost kembali materi2 jadul)
Project Training for PBOX Entrevaganza (January, 2009)
BRIGHT INDONESIA-AIESEC LC UD


I don’t know what to say, really. Three minutes to the biggest battle of our professional life, all comes down to today. In here, we heal as a team or we’re gonna crumble. Inch by inch, play by play, till we’re finish. We’re in hell right now, gentlemen. Believe me.
And, we can sit here, get the shit kicked out of us, of we can fight out way back into the light. We can climb out of hell, one inch at a time.
Now I can’t do it for you. I’m too old. I look around, I see young faces and I think…, I mean…, I made every wrong choice a middle age man can make. I…ah…. I piss away all my money, believe it or not. I chased off anyone who’s ever love me. And lately, I can’t even stand the face I see in the mirror.
You know, when you get old in life, things will take from you. I mean that’s…that’s part of life. But, you’ll only learn that when you start losing stuff. You find out life is a game of inches. So is football. Because in either game, life or football, the margin for error is so small, I mean… one half of step too late or too early you don’t quite make it, one half second too slow or too fast you don’t quite catch it. The inches we need are everywhere around us. They are at every break of the game, every minute, every second.
On this team we fight for that inch. On this team we dare ourselves  and everyone around us to pieces for that inch. We claw with our fingernails for that inch. Because we know, when we end up all those inches, that’s gonna make the fuckin’ difference between winning or losing! Between living and dying.
I tell you this, in any fight, is the guy who is willing to die whose gonna win that inch. And I know, if I gonna have any  life anymore, is because I still willing to fight and die for that inch. Coz, that’s what living is! The six inches in front of your face!
Now I can’t make you do it. You’re gonna look the guy next to you. Look into his eyes!
Now I think you’re gonna see a guy will go that inch with you. You’re gonna see a guy who will sacrifice himself for this team, because he knows when it comes down  to it you gonna do the same for him. That’s a team gentleman. And, either we heal, now, as a team, or we will die as individuals. That’s football guys. That’s all of its. Now, what are you gonna do?

Ruang Inspirasi

Saat-saat seperti ini, waktu-waktu tanpa teman, rasanya jadi rindu dengan suasana di ruang insipirasi saya. Saya menyebutnya ruang inspirasi karena mereka selalu menawarkan sisi yang berbeda dari kehidupan rutinitas keseharian. Mereka selalu memantik berbagai macam inspirasi di alam pikiran saya. Setiap kali datang ke tempat-tempat itu, saya seperti kembali lagi ke masa-masa hidup yang tanpa tendensi (entah itu kapan). Ada suatu yang murni dan jujur yang keluar dari sana dan membuat saya ingin selalu kembali lagi ke sana.
Ruang inspirasi pertama ada di Taman Budaya Yogyakarta yang selalu menawarkan nuansa berbeda saat saya ke sana untuk melihat seni pertunjukkan entah itu teater, ketoprak, opera, atau deklamasi puisi. Saya melihat ada sesuatu yang lain di sana. Kehidupan yang bukan rutinitas kita. Saya sadar, kalau ke sana seringkali bisa sampai malam hanya untuk menikmati pemutaran film documenter atau menikmati pertunjukan ketoprak. Saya harus pulang sendirian malam-malam yang itu bisa membahayakan diri saya. Jujur, saya tidak terlalu peduli dengan aturan batas jam9 malam. Saya tahu itu maksudnya baik. Tapi aturan itu tetap saya langgar demi menempati “ruang inspirasi” ini. Ah, biarlah berjalan dulu seperti ini.
Ruang ini saya kunjungi untuk meladeni kecintaan saya kepada sastra. Cita-cita terpendam saya yang hingga sekarang tidak pernah ada usaha untuk mencapainya adalah menjadi seorang sutradara. Dulu saya juga hobi menulis puisi dan sesekali menulis cerpen picisan (namanya juga remaja yang sedang puber:D). Ketika menyaksikan pemutaran film hasil karya anak negeri rasanya bangga sekali dengan perkembangan industri kreatif di negeri ini. Sebenarnya banyak sekali orang-orang kreatif di sekeliling kita. Saya iri pada mereka yang benar-benar telah terjun menjadi sineas-sineas muda dengan karyanya masing-masing. Mereka juga mengorganisasi diri mereka dalam suatu komunitas untuk mempertunjukkan karyanya pada dunia. Dalam sebuah film kita bisa melihat apa yang sedang dipikirkan oleh sang sutradara. Ah, entahlah. Tapi suatu saat nanti saya tetap ingin melakukannya.
Apalagi dengan pertunjukkan drama langsung dalam sebuah teater, ketoprak, atau opera. Semua berjalan sesuai dengan alurnya. Kita seakan menyaksikan diri kita yang sedang bersandiwara dalam kehidupan kita. Saya jadi ingat bagaimana susahnya menghapalkan naskah drama saat saya dulu memerankan tokoh Hana dalam sebuah drama yang disutradarai oleh almarhumah teman saya, Candu Putrisari untuk sebuah ajang perlombaan di Jogja dulu. Meskipun tidak menang, tapi kami cukup puas dengan pertunjukkan kami. Rasanya sudah senang ketika kita sudah menunjukkan karya kita pada orang lain apalagi jika orang lain itu merasa puas dengan hasil karya kita. Rasa lelah terbayar sudah. Teater hamper-hampir mirip dengan opera. Tapi untuk opera ini saya belum pernah melihatnya secara langsung. Satu hal yang saya sukai dari pertunjukkan teater adalah teknik panggungnya, dari efek pencahayaan, music, gerak tubuh, setting tempat, dan lain-lain. Saya sungguh terpukau dengan totalitas mereka (panitia pertunjukkan) dalam menyiapkan the whole package dari suatu pertunjukkan untuk membuat orang lain senang dan dapat mengambil pelajaran dari sana. Mereka sangat mendetail dan rapi. Agak berbeda dengan seminar-seminar atau kajian-kajian yang seringkali disiapkan dengan seadanya. Memang tidak semuanya, tapi sebagian saja yang saya jumpai.
Untuk ketoprak, ini adalah salah satu yang unik menurut saya. Dari kecil dulu saat saya masih tinggal di desa Wonorejo bersama dengan nenek ketika ada pertunjukkan ketoprak kami berbondong-bondong bersama para tetangga berjalan kaki menelusuri jalan-jalan setapak, melewati persawahan, dan kuburan di kegelapan malam dengan hanya berbekal senter di tangan dan baju hangat untuk menahan udara dingin malam hari menuju sebuah lapangan yang seringkali menjadi tempat pertunjukkan setiap kali ada perayaan ada yang namanya rasulan. Lapangan itu adalah lapangan di desa Ngunut dengan pohon-pohon cemara di sekelilingnya. Perayaan itu biasanya ditutup dengan pertunjukkan ketoprak di malam hari. Para warga desa bahkan rela meninggalkan rumahnya kosong hanya untuk menyaksikannya. Lakon yang sering ditampilkan adalah rakyat kecil dan majikan. Bagian yang paling disukai oleh warga adalah saat ada percakapan yang terjadi antara “rakyat kecil” dengan guyonannya yang oleh kebanyakan warga sering disebut dengan “ludruk”. Sayang sekali,ketoprak modern sekarang sudah jarang yang membawakan cerita pewayangan. Seringkali yang ditampilkan adalah cerita tentang percintaan atau cerita rakyat yang sudah dibubuhi dengan cerita lain-lain. Saya menyukai latar cerita kolosal kerjaan-kerajaan tua di Indonesia. Cita-cita yang belum kesampaian adalah nonton Sendratari Ramayana di Candi Prambanan. Cita-cita yang hampir kesampaian ini sempat kandas karena saya harus memilih agenda lain beberapa waktu lalu. Semoga suatu saat nanti akan ada teman yang bersedia menemani saya nonton.
Ruang inspirasi kedua adalah saat saya makan dua bungkus nasi kucing dengan kepala ayam dan dua tahu bacem ditemani dengan susu jahe hangat di angkringan depan rumah Siyono sambil mendengarkan suara merdu gamelan dari “uyon-uyon” yang diputar dari radio kotak jadul dengan dua buah baterai ABC-nya. Saya lebih suka jika saya sendiri yang menguasai tempat itu saat saya makan karena saya bisa bebas makan dan tidak malu-malu kalau mau nambah. Hehe…^_^
Obrolan dengan mbak Ida, sang penjual angkringan, pun bisa saya sabotase sendirian. Dari mulai curhat tentang rutinitas di kampus, rencana-rencana ke depan, dan mendengarkan update-nya tentang perkembangan terbaru di dusun yang jarang sekali saya pulang ke sana akhir-akhir ini. Saya sudah tidak mendengar lagi perkembangan terbaru kegiatan remaja masjid di kampong sejak saya kuliah di Jogja. Itu yang membuat saya terkadang merasa bersalah karena terlalu egois dengan diri sendiri dan melupakan pengabdian saya pada masyarakat yang nyata ada di depan saya. Makanya Bapak selalu mewanti-wanti kalau mau KKN atau program pengabdian kepada masyarakat mbok ya di daerah sendiri, bukan malah ke daerah lain. Tapi saya selalu bandel tentang hal ini. Karena bagi saya masalah pengabdian itu tidak mengenal tempat. Bahkan kita bisa melihat budaya yang berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain. Ini adalah salah satu ruang inspirasi saya yang lain, yaitu dalam perjalanan ke luar kota yang tidak akan cukup saya ceritakan di sini dalam satu episode. Semoga saya masih punya kesempatan untuk menuliskannya di sini dalam episode lain tentang cerita-cerita perjalanan-perjalanan ke luar kota. Selalu saja memberikan pelajaran tersendiri dari setiap perjalanan. Pengalaman baru, orang-orang baru, suasana baru.
Kembali ke angkringan. Ini yang membuat saya bersyukur dilahirkan sebagai warga Yogyakarta yang tinggal di Yogyakarta yang setiap hari bisa melihat tenda-tenda angkringan bercahaya neon kecil atau lampu badai. Di angkringan ini kita bisa melihat dunia dan update-update berita terkini dari sisi rakyat kecil. Kita bisa mendengar keluhan-keluhan murni mereka tentang kenaikan harga sembako, tentang dunia perpolitikan, dan lain-lain. Kita seperti sedang menyaksikan siaran berita langsung dari sumbernya. Tidak jarang juga tempat ini menjadi favorit para mahasiswa berkantong pas-pasan. Menu khas nasi kucing, gorengan, dan wedang jahe. Hmmm….
Di setiap ruang inspirasi itu ada pelajaran kehidupan yang bisa kita petik untuk menjalani rutinitas kehidupan di hadapan kita. Di ruang-ruang itu kita bisa melepas kelelahan kita pada rutinitas dan beranjak kembali dari tempat peristirahatan dengan pandangan dan semangat baru. Ada hal-hal yang sungguh berbeda dari apa yang ada di alam pikiran kita selama ini, dari teori-teori kita selama ini. Ada realitas lain dari yang kita lihat selama ini. Other’s take a different view dan terkadang kita harus memandang dari sisi mereka untuk bisa mengetuk kejujuran hati dan pikiran kita.
Ruang inspirasi itu sebenarnya ada di setiap tempat yang kita singgahi.

Code Blue Quotes

Result are what count. Today's hilar twist is the same. If result are good, you're told you were courageous. If they're bad, you're called a murderer and taken to court. No one can avoid that process. That's our job. I chose this job, thinking that was good. That's how it was supposed to be. At that time, it helplessly becomes meaningless (Aizawa sensei)

Well, I don't know about anything but soccer. The first time someone praised me was when I scored in soccer. I was fourth grade at that time. My homeroom teacher, who was always angry at me, was all smiling all of a sudden. And since then I was able to fit in. So I got into the soccer club, and scored more points. In soccer, when you score, everyone's happy. Even with someone like me.This is the only way I can make others happy. (soccer guy patient)

There is no easy way to heal emotional scars. I just think of it this way: Wounds of heart are undoubtedly necessary. That's because bearing wounds in our hearts, we can become aware of other people's pain.
(Aizawa sensei)

That's why everyone work hard for their studies, their jobs. In order to become a person who is needed by someone else.(Aizawa sensei)

About the last one: that's why our biggest happiness is when other can smile because of our best effort. Orang ingin bermanfaat kepada orang lain karena mereka ingin hidup yang berarti. Tanpa memberi, hidup seperti tidak berguna.

"The best of you is the most contributing to the people." (Hadist)

Jumat, 03 Agustus 2012

Cahaya Delapan Lentera (Antologi Cerpen)

Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Barry Irama, Rizal Faoji, dkk

"Satu cerita cahaya lentera, inspiratif. Cerita lentera lain, berkarakter. Ada lentera yang menyuguhkan konflik yang menarik, ada yang mengalikan alur dengan lancar, dan ada yang menyuntikkan semangat. 
'Vision without execution is a daydream, execution without vision is a nightmare. So, what is the truth?' Cahaya 8 Lentera akan menjawabnya."
(Kun Geia, Penulis Novel "The Lost Java")


Delapan lentera itu bukan sesuatu yang magis. Mereka hanyalah sosok yang menebar cahaya kebaikan dengan menulis. Bukan hanya kata-kata yang puitis, tetapi juga pesan keindahan yang manis.
Ibarat delapan binang yang ada di rasi pohon willow musim panas. Lentera itu selalu memancarkan cahaya. Cahaya yang tak berdimensi, tak berdinding, dan tak terbatas. Cahaya itu bersinar ke semua elemen kehidupan. Memantik semangat untuk bermimpi. Memanaskan gairah berkarya. Membuka cakrawala.
Delapan lentera berpadu dalam melukis siluet cahaya yang indah. Pesonanya memikat hati siapa saja yang memandangnya. Merasuk hingga pori-pori kalbu dan jiwa. Ragam warna cahayanya sangat eksotis. Ada yang memancarkan keindahan bersama sang Bunda tercinta. Ada yang memendarkan cahaya kekuatan melalui sebuah usaha bersama sang Ayah. Ada pula yang berbagi kisah kasih bersama sahabat dan teman dekat, lalu terpancarlah cahaya persahabatan. Selain itu, ada juga cahaya imaji yang berkilau begitu memukau melalui jejak perjuangan dalam meraih mimpi, dalam menggapai sebuah prestasi.
Bersiaplah menikmati keelokan Cahaya Delapan Lentera!


190 hal + i-xii
14,5 cm x 20,5 cm
ISBN 602898179-6
Penerbit Deepublish

PEMESANAN:

Nurul Fajriyah (085726182673)
Yuris T. Saputra (08995138419)