Rabu, 11 Maret 2020

Song for March

Bagi saya bulan Maret adalah salah satu favorit. Dengan perasaan yang sama saat tahun 2013 lalu, menulis penelitian di ruangan dosen yang "dipinjamkan" untuk kami. Saat itu saya dan rekan-rekan ditugasi membantu fakultas untuk suatu pekerjaan dan ruangan itu menjadi basecamp kami. Salah satu tempat favorit saya waktu itu karena nuansa yang dihadirkan langsung menghadap ke jendela dengan pemandangan sejuk di luar jendela. Saya sangat suka melakukan aktivitas entah itu menulis, membaca, atau berkontemplasi sambil duduk di dekat jendela. Maka kemudian saya menyebutnya dengan "Nash Window", terinspirasi dari film Beautiful Mind yang menceritakan perjalanan seorang John Nash hingga ia menemukan teori penting dan meraih nobel. Dia suka sekali mencoret-coret jendela dengan rumus-rumus hingga kini kita kenal dalam pelajaran Game Theory sebagai Nash Equilibrium. Persis seperti yang digambarkan dalam jendela itu.
Kembali ke bulan Maret 2013 di ruangan seorang profesor. Saat itu saya menuliskan beberapa perenungan mengenai penelitian yang saya lakukan itu apakah akan berguna untuk mereka yang berada di bawah garis kemiskinan (ini postingannya). Berbulan-bulan bergelut dengan data-data mikro rasanya akan terbayarkan tidak hanya dengan nilai sempurna tetapi juga kontribusi riil yang bisa diberikan dari penelitian itu. Di bulan itu pula beberapa tawaran membahagiakan untuk melaksanakan apa yang menjadi harapan saya waktu itu berdatangan. Alhamdulillah...setidaknya menjadi kenangan yang manis di kemudian hari, yang ketika mengingat itu semangat itu tumbuh kembali.
Barangkali jika di belahan bumi utara, bulan ini menjadi penanda dimulainya musim semi. Itulah musim semi bagi saya.
Tahun ini, di bulan yang sama, Allah memberi kesempatan untuk merasakan hal yang sama lagi. Tulisan ini dibuat di ruangan favorit saya juga, di dekat jendela yang saya sebut sebagai "Nash Window" saya juga, masih dengan pertanyaan yang sama. Apakah saya bisa menuliskan hal yang cukup berarti untuk isu-isu pembangunan?
Rasanya ini bukan perasaan klise seorang mahasiswa yang berpikir idealis. Rasanya menurut saya ini adalah hal yang normal untuk dirasakan orang-orang, bahwa setiap kita pasti menginginkan kehidupan yang bermakna kan. Iya, paling tidak untuk orang-orang terdekat dan tersayang. Setiap kita berhak atas hidup yang meaningful.
Tahun ini sudah memasuki tahun terakhir studi master saya. Masih banyak sekali kekhawatiran akan masa depan yang belum pasti akan bagaimana. Setelah tahun-tahun yang berat sudah terlewati, sudah lah cukup memberi pembelajaran untuk melanjutkan hidup. Hidup harus tetap berlanjut. Memberi makna dan bermakna. Bukankah tujuan akhir kita ada di surga-Nya?

Saya berharap...di tahun-tahun mendatang saya akan kembali melakukan perjalanan-perjalanan yang lebih jauh untuk belajar dan berkontribusi dengan bermakna. Semoga Allah mampukan dan pantaskan. Iya, cita-cita harus dibayar tuntas. Mari kita tuntaskan, setelah sempat diletakkan dan berbelok arah dengan harapan yang lain, yang ternyata harus berhenti sebelum usai. Tidak apa-apa. Daijoubu! Kita semua pernah patah. Batang-batang yang patah akan menumbuhkan ranting-ranting yang lebih lebat. Mari lanjutkan perjalanan. Mari tuntaskan cita-cita. Mari lebih bermakna.

Welcome back, Sasikirana! It's never too late to start over.