Kamis, 03 Januari 2013

Dari Wiratha Hingga Kurusetra



Padang Kurusetra hening seketika dari kecamuk peperangan. Semua membisu melihat tubuh kakek mereka Bisma, yang tertancap oleh ratusan anak panah Srikandi. Mereka melihat wajah kakek mereka itu menyiratkan luka mendalam sekaligus rasa bersalah. Matanya hanya tertuju pada sosok yang terus meluncurkan anak panah ke arahnya.
“Amba…inikah yang akhirnya kau inginkan selama ini?” lirih mulutnya berucap.
Samar ia melukiskan senyum yang tak bisa dipahami oleh siapapun. 


Ini sekilas tentang kisah Dewi Amba dengan Bisma yang berakhir di Padang Kurusetra.  Bisma yang terpaksa menolak lamaran Dewi Amba karena sumpah dharmanya sebagai seorang ksatria harus merelakan kepergian gadis yang sebenarnya dicintainya terbunuh di tangannya sendiri. Dan pada akhirnya ia merelakan dirinya terbunuh di tangan titisan Dewi Amba. 
Kisah ini mengingatkan saya pada film yang dibintangi oleh Jackie Chan berjudul The Myth. Kisah seorang panglima yang jatuh hati pada seorang putri boyongan tapi mereka tidak bisa saling memiliki. Pada akhirnya sang panglima gugur di medan perang untuk menunaikan baktinya pada negeri. Sang putri bersedia meminum pil keabadian dan menggunakan seumur hidupnya untuk menunggu sang panglima datang kembali menjemputnya.
Ini mirip juga dengan kisah patah hatinya Damarwulan dan Anjasmara. Saat Damarwulan diutus oleh sang ratu memerangi Menakjinggo dengan janji: jika menang dia akan dinikahkan dengan sang ratu dan menjadi raja, jika kalah maka itu berarti kematiannya. Kisah mereka kemudian diterjemahkan oleh Pak Gunawan Muhamad dalam puisinya Asmaradana:

Asmaradana
Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun,
karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah
pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti,
yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib,
perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi
pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan
mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani lagi.

Anjasmara, adikku, tinggallah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.

Satu hal yang saya pelajari dari kisah-kisah ksatria di atas. Mereka berani mengorbankan perasaan cintanya untuk sesuatu yang lebih penting dan lebih besar. Ini namanya pengabdian. Para sahabat Rasulullah dulu pun lebih menyukai medan peperangan daripada hanya berasyik-masyuk dengan istri mereka. Bagi mereka perasaan cinta yang tertinggi adalah kepada Allah dan Rasul-Nya.
Jika ditarik ke masa sekarang, ternyata banyak pula para pemuda yang belum bisa mewarisi jiwa ksatria itu. Dengan mudahnya mereka terlena pada cinta yang sifatnya hanya sementara kemudian melupakan perjuangan yang sesungguhnya. Hingga terjerumus dalam lembah dosa dan maksiat. 
Bagi saya cinta paling romantis itu bukan cinta mereka yang tiba-tiba bersatu dengan mudahnya. Tapi cinta mereka yang dilandasi atas kecintaan pada Tuhan mereka. Cinta pada perjuangan di jalan dakwah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar