Selasa, 19 November 2013

Living Under Uncertainty

“As far as the laws of mathematics refer to reality, they are not certain; and as far as they are certain, they do not refer to reality.” ― Albert Einstein
The truth is that every single one of us lives in uncertainty. No one knows what’s going to happen next. We just occasionally like to pretend we do because it allows us to feel safe. (source)

Allah knows, Allah knows...
The one of certainty is death.

Why I post these quotes? Because currently I'm living in the uncertainty about conditions where I need to decide. Decide about something. We are uncertain about what will happen tomorrow. But Allah knows...and Allah will always guide us. Why we often careless, avoid Allah's guidance? It is so irrational, isn't it? How could we're being so stupid like that?

Ingin, Butuh, atau Pantas?

Mohon maaf untuk teman-teman yang sudah lama menanti share kajian Ustadz Syatori tentang tema ini ke dalam tulisan. Baru bisa menuliskan sekarang. ^^V Maaf juga ya, kalau terlalu panjang dan mungkin rangkaiannya masih keputus-putus. Semoga bisa nangkep intinya.
Intinya adalah apa yang menjadi dasar kita menikah? Apakah itu ingin, butuh, atau karena kita memang sudah pantas? Mari kita bahas di sini.
Pertama, menikah karena ingin. Ini adalah menikahnya orang yang susah dalam kesendirian. Ia membayangkan jika berdua ada kesenangan, kegembiraan, dan keceriaan. Maka yang ia kejar dari pernikahan adalah kesenangannya. Sejatinya kawan, menikah karena ingin itu seperti merokok. Merokok kelihatannya nikmat, padahal nyatanya tidaklah demikian. Merokok (menghisap asap) itu pahit dan merusak kesehatan bukan? Toh, kalau sudah habis kita akan membuangnya. Maka tidak ada lagi kenikmatan merokok yang ada di awal. Jadi, menikah dengan bermodal keinginan itu seperti menyulut bom waktu. Suatu saat ia akan menemui ketidakpuasan-ketidakpuasan di dalam pernikahannya.
Kedua, menikah karena butuh. Ini adalah menikahnya orang yang merasa harus menjaga diri. Biasanya ini dimiliki oleh orang yang merasa sudah punya kemampuan secara lahir dan takut terjerumus dalam dosa. Alasan ini terlihat rasional. Seharusnya menikah bisa jadi solusi untuknya, tapi karena kemampuan al ba’ah yang lebih, maka bisa tetap terjadi perselingkuhan. Al ba’ah dia adalah kaya financial tapi miskin secara spiritual, sehingga di kemudian hari muncullah ketidakpantasan-ketidakpantasan dalam dirinya.
Ketiga, menikah karena pantas. Ini adalah menikahnya orang yang sangat kaya spiritual, meski bisa jadi belum terlalu kaya secara material. Al ba’ah menurut Rasulullah sendiri tidak sekedar material, tapi juga spiritual.
Yang manakah kita? Mari kita telusuri lehih jauh lagi manusia seperti apakah diri kita sebenarnya saat ini?
Apakah kita manusia nafsu?
Apakah kita manusia akal?
Atau apakah kita manusia hati?
Siapakah mereka ini?
Nah, mereka yang menikah karena ingin inilah manusia nafsu itu. Ia adalah manusia yang tidak ingin dan memang tidak tertarik pada kebaikan karena sejatinya ia telah kehilangan jati dirinya sebagai manusia. Misal, tertarik karena kecantikan saja, bukan sebagai manusia. Sedangkan mereka yang menikah karena butuh adalah manusia akal. Ia adalah manusia yang menginginkan kebaikan tapi dirinya sendiri belum ada ketertarikan pada kebaikan. Karena menikah tidak hanya tergantung pada kekuatan akal. Hum…agak susah sih menjelaskannya. Kita ambil contoh mengenai konsep sabar. Jika ditanya, “Apakah kamu mau bersabar?” Ia menjawab, “Ya, saya mau.” Tapi kemudian ditanya lagi, “Apakah sabar itu enak?” Kemudian ia menjawab, “Sabar itu tidak enak.” Nah, ini adalah pernyataan orang yang tidak tertarik pada kesabaran, meskipun ia ingin. Seringkali orang logis (akal) itu menjadi sangat tidak logis. Ia menginginkan sabar, tapi ia menganggap bahwa sabar itu tidak enak. Nah, dengan anggapan seperti itu ia berarti telah membantah keinginannya. Tidak logis bukan, orang menginginkan sesuatu yang tidak mengenakkan? Ia menginginkan sabar yang menurut dia nggak menyenangkan gitu lho…seperti halnya menginginkan makanan yang tidak enak. Nah loh… Menurut akal yang lurus, seharusnya ia menganggap sabar itu enak. Tapi apakah sabar itu gampang?
O.O Humm….masih bingung?
Mari kita coba contoh kedua, tentang konsep “ikhlas”.
Apakah ikhlas itu baik? à mayoritas menjawab “ya”.
Inginkah kita menjadi orang yang ikhlas? à for sure, yes.
Misal contoh kasus gini, barang kita dipinjam orang dan ia kembali dalam keadaan rusak. Ikhlaskah kita menerimanya? Sebagian dari kita mungkin masih nggak rela. Kita ingin ikhlas, tapi saat itu ada kesempatan kita masih menggerutu. Logiskah kita pada keinginan kita untuk ikhlas?
Atau misal saat kita lagi kedatangan tamu yang nggak penting di saat kita lagi ada urusan yang sangat penting. Ikhlas nggak menerima dan menjamunya? Hehe…
Sekarang dibalik. Misal kita lagi laper banget, terus tiba-tiba ada orang ngasih makanan gratis, enak pula. Apakah kita logis jika kita malah menggerutu karenanya?
Nah…saya sendiri pas ustadz menyampaikan sampai di sini saya speechless…#makjlebjleb
Allah Maha Tahu kalau kita itu ingin bisa ikhlas, dan Allah ingin membantu kita dengan menghadirkan kejadian-kejadian itu tadi. Tapi seringkali kita menolak bantuan-Nya.
Ikhlas itu kaitannya dengan pengertian akan sebuah kejadian. Misal, pas beli buah, kita dapatnya malah kepasan yang udah kecut atau jelek. Orang yang ikhlas akan menjawab, “Alhamdulillah, untung jeruk kecut ini ada di saya, bukan orang lain.” Karena ia merasa bahwa dengan ia mendapatkan jeruk kecut itu ia telah menyelamatkan orang lain dari mendapatkan jeruk yang kecut, dengan orang lain itu tidak tahu kalau sedang dibantu.
Ketika kita mendapatkan kesenangan tapi dengan senang itu tidak ada keuntungannya untuk orang lain, maka kita telah berbuat zalim terhadap kesenangan kita itu. Bukankah orang yang ikhlas itu bahagia dengan kebahagiaan orang lain?
Hummm…oke, sekarang gini. Kita kepengin pahala yang besar nggak? Terus, manakah yang lebih besar pahalanya: senyum pada orang yang senyum, atau senyum pada orang yang manyun? Hehe…
Nah, kita tidak ingin masuk neraka bukan? Neraka itu tempat untuk orang yang berbuat dosa dan maksiat. Nah, apakah dosa dan maksiat itu sendiri sudah menjadi sesuatu yang sangat tidak menarik bagi kita? Atau justru kita masih menikmati dosa dan maksiat? Astaghfirullah…:’(
Oke, kita kembali ke masalah pernikahan.
Ijab Kabul itu sendiri adalah janji untuk menjadikan suami/istri menjadi satu-satunya laki-laki/wanita yang paling menarik untuk dirinya. Sedangkan manusia akal itu sendiri adalah ia yang tidak tertarik pada yang diinginkan, tapi tertarik pada yang tidak diinginkan. Karena itu manusia akal adalah manusia yang tengah berada pada kondisi yang tidak ideal atau sakit. Orang sakit meskipun lapar ia tidak enak makan bukan? Maka seringkali karena ketertarikannya melenceng dari janjinya, banyak manusia akal kemudian melanggar janji ijab kabul mereka.
Selanjutnya, mari kita lihat siapakah manusia hati itu?
Manusia hati adalah mereka yang menginginkan kebaikan dan memang tertarik pada kebaikan itu. Inilah manusia yang sudah pantas untuk menikah. Manusia yang perjalanan hidupnya telah sampai ke hati, karena sejatinya perjalanan hidup adalah perjalanan kita ke dalam, yaitu hati.
Kalaupun kita seringkali masih merasa pedih ketika bersedekah atau berbuat kebaikan untuk orang lain tapi yang kita dapat justru keburukan dari orang yang dibantu itu. Pedih di hati yang dirasakan itu adalah disebabkan oleh dosa-dosa kita. Dan saat itulah, selama kita tidak mengucapkan kepedihan itu/tetap memendam saja kepedihan itu di dalam hati, itulah indikasi Allah sedang menghapus dosa-dosa kita. . Kebaikan itu sendiri merupakan hal yang tidak berhenti pada satu kejadian saja, tapi ia punya sifat yang mengalir.
Perihnya menahan, tidak mengungkapkannya pada orang lain dan diterima saja kekecewaan itu, kemudian Allah akan menggantinya dengan kelapangan hati.
Sabar itu sendiri merupakan akibat dari beningnya hati, akibat dari lurusnya pikiran yang ada di hati kita, akibat dari kemampuan kita untuk bertahan lebih lama menghadapi masalah, untuk bertahan lebih lama dari masalah yang terjadi. Karena masalah dalam hidup ini tidak pernah lama, karena ia dating dari Allah Ar Rahman.
Adapun tujuan dari menikah itu adalah kesediaan untuk saling:
  1. Saling mengerti. Mereka yang sudah berlomba-lomba untuk menyalahkan diri sendiri, bukan saling menyalahkan. Karena ada saatnya yang benar itu tidak harus dijelaskan. Ia terkadang bisa dijelaskan melalui kesantunan dalam bersikap.
  2. Saling mendengar pikiran-pikiran pasangan hidup. Mereka yang sudah saling mengerti, tafahum, tidak diucapkan pun mereka sudah paham.
  3. Saling memperhatikan impian-impian pasangan hidupnya.
  4. Saling menyediakan diri sebagai “sayap” yang menerbangtinggikan pasangan hidupnya.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar Rum: 21)
Lalu, kapan kita akan menjadi pantas untuk menikah? Ikhlas itu sendiri adalah sebuah proses bukan? Bagaimana kita bisa ikhlas jika tidak menjalani prosesnya? Begitu juga dengan menikah. Semua adalah proses yang dijalaniKepantasan itu sendiri adalah hal yang abstrak. Ia akan menemukan bentuk aslinya ketika sudah melakukannya.
Menikah, minimal kita sudah punya bakat kepantasan itu, tinggal temukan latihannya. Sedangkan latihan mengelola hati yang paling efektif adalah dengan menikah. Ini bisa menjadi pembuktian bahwa keinginan kita pada orang lain adalah selalu mengandung kebaikan untuk orang tersebut. Jadikan keinginan kita adalah untuk kebaikan orang lain dan buktikan bahwa itu memang baik melalui diri sendiri (teladan). Misal kita menginginkan agar pasangan kita bisa rajin shalat sunnah karena kita yakin itu baik untuk dirinya. Maka kita buktikan dengan diri kita rajin shalat sunnah dan bahwa itu baik untuk diri kita sendiri.
Jika ingin pasangan yang baik, jadikan diri kita baik dengan kekuatan yang lebih, dengan siapapun jodoh yang ditakdirkan nanti. Karena kebaikan itu sendiri adalah proses. Sejatinya persoalan menikah itu bukan dengan siapa kita akan menikah, melainkan dengan siapa saat kita sudah menikah. Ngerti nggak maksudnya? Coba didalami lagi…
Bisa jadi ada orang baik dapatnya jodoh yang kurang baik. Maka usaha dia adalah dengan mengusahakan dirinya sendiri lebih baik dengan kekuatan lebih dibandingkan  dengan mengusahakan pasangan agar lebih baik. Hum…ambigu kalimatnya. Maksudnya gini, sembari mengusahakan pasangan agar lebih baik, usaha untuk menjadikan diri sendiri lebih baik itu lebih keras gitu lho.

Oke, masuk ke konsep SAMARA
SAKINAH, itu ada dalam diri kita, karena ia adalah ketenangan. Keluarga sakinah berarti keluarga yang tidak menjadikan kesenangan dunia menjadi tujuannya. Tidak silau oleh gemerlap kesenangan dunia. Orientasi keluarga sakinah adalah kebahagiaan dunia dan akhirat. Ini berarti meletakkan kepentingan akhirat di atas kepentingan dunia. Misal, keluarga sakinah adalah yang menganggap perkara terlambat bangun subuh itu merupakan bencana yang lebih besar dibandingkan dengan perkara kehilangan mobil seharga jutaan. Simple kan? Karena urusan pertama adalah urusan akhirat dan yang kedua hanyalah urusan duniawi.
Keluarga sakinah menjadikan dunia sebagai jembatan menuju akhirat. Apapun selalu bernilai akhirat. Meletakkan pengertian-pengertian akhirat di atas pengertian dunia. Memahami bahwa susah itu menyenangkan: “Tiadalah seorang hamba yang sedang diuji Allah terhadap kesusahan melainkan dia sedang direncanakan oleh Allah untuk menjadi pribadi yang besar.” Ia tidak menyimpan kebencian sekecil apapun kepada sesame dan menganggap biasa segala yang biasa dan menganggap luar biasa segala yang memang luar biasa. Yang biasa itu dunia, dan yang luar biasa itu akhirat. Maka ia akan ringan mengatasi segala urusan dunia, dan akan tetap bisa mempertahankan ketertarikan kepada pasangannya saja. Sedangkan yang luar biasa itu urusan akhirat, urusan apa saja yang menimbulkan akibat untuk hidup sesudah mati. Keluarga sakinah itu sendiri tidak mudah terusik oleh urusan-urusan dunia. Pribadi sakinah memandang apapun sebagai jalan untuk ke surge.
MAWADDAH, melambangkan cinta ke langit. Cinta yang membuat kita dan yang kita cintai semakin mencintai Allah ta’ala. Gunakan apapun yang kita cintai untuk mengejar surga.
RAHMAH, mengasihi tanpa berharap dikasihi. Bahagia kita terasa pada saat kita bisa membahagiakan orang lain. Kita tidak mungkin bahagia sendirian karena bahagia sendirian itu aneh. Kenapa? Gini, kita nggak mungkin kan bahagia tanpa dibahagiakan? Nah, Kita juga tidak mungkin kan dibahagiakan sama orang yang belum bahagia? Maka sejatinya bahagia adalah membahagiakan orang lain.

Hosh…Alhamdulillah selesai. Semoga bisa paham dan bermanfaat.  ^_^

Jumat, 15 November 2013

"Uang Transportasi"

Ternyata emang gitu ya wartawan ecek-ecek itu?
Ya...nggak semuanya sih...tapi ternyata emang ada bener wartawan ecek-ecek itu.

Bilangnya sih minta uang transportasi, tapi "memeras" calon pembeli.
Hey, ini saya tidak sedang membicarakan jilbab hitam atau bunda putri.
Saya sedang membicarakan apa yang saya alami sendiri.
Bahwa mereka, yang ngaku kuli tinta, meminta suap dan saya terpaksa beri.

Walhasil?
Pemberitaan ditulis dengan seadanya.
Jika kemarin tidak kukasih, apa iya mereka masih mau memuatnya?
Begitukah jual-beli media?
Jijik gua...

Iya sih,
Berita yang disebarkan bukan perkara korupsi atau binatang najis ajnabi
Iya sih,
Beritanya tentang hal-hal positif yang memang seharusnya publik layak konsumsi
Tapi?
Saya hanya nggak suka sama proses mereka mencari bahan publikasi
Bukankah mereka seharusnya telah diberi code of conduct sebagai seorang kuli?

Uang transportasi
Hah, saya benci dengan diri sendiri karena saya sendiri yang bertransaksi
Uang transportasi
Ternyata sudah membudaya di negeri ini

Ya!
Semua itu dianggap biasa
Bahkan dianggap tidak sopan jika tidak memberi mereka
Bahkan sudah dianggarkan di setiap instansi-instansi pemerintahan
Bahkan transaksinya resmi tercatat di pembukuan

Uang transportasi
Praktek korupsi yang dilegalkan
Menyedihkan!

Yogyakarta, 15 November 2013
#sajak_status

Sabtu, 19 Oktober 2013

"Maukah kamu bersabar?"

"Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu (Muhammad), melainkan mereka pasti memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikan sebagian kamu sebagai cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan Tuhanmu Maha Melihat." (QS.25:20)
 Ayat ini menjadi begitu berkesan bagi saya sejak 2010 kemarin. Saat itu saya masih kuliah S1 dan berambisi sekali untuk mengukir prestasi dalam bidang karya tulis ilmiah. Berbagai ajang perlombaan saya ikuti tapi berkali-kali pula mentok hanya sampai di finalis. Rasanya ingin sekali menjadi salah satu yang namanya dipanggil untuk menerima hadiah juara. Mungkin niatan yang salah inilah kemudian Allah belum mengizinkan saya untuk meraih apa yang diinginkan. Pada suatu ketika saya dan teman baik satu jurusan melihat tawaran lomba di UI. Saat itu bukan ambisi lagi bagi kami untuk mencari kejuaraan (karena sudah lelah, hehe). Ambisi kami adalah bahwa para finalis yang diundang ke Jakarta nanti akan ikut serta dalam diskusi perumusan usulan kebijakan untuk ekonomi Indonesia tahun berikutnya. Apalagi itu nantinya akan disampaikan langsung kepada ibu menteri. Kami hanya ingin itu saja sudah alhamdulillah kalau tercapai. Dan kemudian doa kami terjawab karena kami menjadi salah satu finalis yang mempresentasikan karyanya di Jakarta. Kami berdua sangat senang karena karya tulis yang dikerjakan dalam waktu satu hari dan dikumpulkan pada detik-detik terakhir deadline, juga tanpa editing sama sekali kok ya bisa lolos finalis dengan ajang yang menurut saya itu lebih bergengsi daripada ajang-ajang sebelumnya yang saya ikuti. Alhamdulillah ya...akhirnya impian kami ke Jakarta terwujud.
Singkat cerita menjelang keberangkatan kami harus menyiapkan materi presentasi. Malam sebelum keberangkatan, saya tilawah dan menemukan ayat ini yang dua kalimat terakhirnya mak jleb-jleb buat saya. Pas kondisi saya yang sebenarnya masih mengharapkan kemenangan dan pasrah jika memang nggak dapet, yang penting bisa ikut diskusi dan memberikan presentasi terbaik. Saat itu saya benar-benar seperti diingatkan oleh Allah, bahwa Allah melihat betapa kerasnya usaha yang telah kita lakukan untuk mencapai impian. Saat belum juga terwujud, Allah dengan begitu santun dan lembut menyapa kita, "Maukah kamu bersabar?" Tiada jawaban lain yang bisa terucap selain, "ya, saya mau ya Allah..."
Justru saat niat berangkat tidak begitu berambisi, Allah justru memberi hadiah juara itu. Bahkan lebih dari itu, persahabatan dengan rekan-rekan dari berbagai penjuru universitas di Indonesia.
Saya teringat dengan nasihat salah seorang murobi waktu dulu di SMA, kalau lagi sedih atau dalam masalah coba buka Al Quran secara random dan baca sampai puas dengan artinya juga. Biasanya Allah akan menyelipkan solusi di situ. Tadi malam pula saya menemukan ayat ini kembali dalam tilawah. Pas kok ya kondisi hati sedang galau karena sesuatu. Malam ini mungkin kondisinya beda dengan malam yang dulu saat pertama kali tersentuh oleh ayat ini. Kalau dulu saya terhenyaknya oleh dua kalimat terakhir, sekarang oleh tiga kalimat terakhir. Jadi:
"Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu (Muhammad), melainkan mereka pasti memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikan sebagian kamu sebagai cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan Tuhanmu Maha Melihat." (QS.25:20)
Seakan Allah memberi tahu langsung kepada saya bahwa kamu ini sedang diuji dengan adanya orang lain itu.
"Dan Kami jadikan sebagian kamu sebagai cobaan bagi sebagian yang lain"
Segala tingkah lakunya mungkin bisa menjadi ujian bagi kamu untuk bersabar dan sekuat tenaga bersabar. Kemudian Allah lagi-lagi bertanya pada kita dengan lembut, "Maukah kamu bersabar?" Allah Maha Melihat kok apa yang sudah kamu usahakan. Allah sudah menghitung kok berapa kali kamu jatuh bangun. Allah cuma menawarkan pada kita, "Maukah kamu bersabar?"
I DO!
Kemudian tiada lain yang bisa terucap selain doa agar Allah senantiasa membimbing kita dalam kesabaran dan keistiqomahan. 
Yakin deh, Allah akan senantiasa memberikan jawaban-jawaban terbaik dari setiap doa-doa kita.

Selasa, 18 Juni 2013

Masih tentang BBM (lagi)

Masih nyambung dg post saya tetang BBM sebelumnya. Ini nih ada SALAH SATU studi dari Pak Dartanto mengenai subsidi BBM di Indonesia pengaruhnya terhadap fiskal sama kemiskinan.
Ini dia link-nya.
Copas aja sih dari ringkasan salah seorang senior di jejaring sosial. Bilang aja males baca. Hehe... Eh, tapi sebelumnya saya sempet review nih jurnal kok buat kerjaan. Ciyus. Tapi lupa, karena pada akhirnya yang dipakai bukan CGE. Ya sudah, lupakan.
Intinya gini.
Dengan menggunakan CGE-microsimulation, hasil risetnya menunjukkan bahwa jika subsidi BBM dikurangi 25 persen saja maka bisa berdampak pada peningkatan jumlah penduduk miskin 0,25 persen
Sementara itu, kalau subsidi BBM dicabut 100 persen, dan 50 persen'nya dialihkan untuk belanja infrastruktur atau dalam bentuk subsidi lain (produktif) justru bisa mengurangi jumlah penduduk miskin 0,27 persen.
Nah, itulah mengapa pemerintah menerbitkan yang namanya P4S (Program Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial_huft...sambil ngos-ngosan ngejanya -,-) dan BLSM itu tadi. P4S isinya macem-macem: BSM (beasiswa siswa miskin), PKH (program keluarga harapan), raskin, ada juga yg buat infrastruktur khususnya air bersih. Gitu...what the goverment want to do is to re-allocate the subsidies to the right one, re-address itu lah. Kalo boleh ngaku-ngaku, saya ikut buatin draft pedomannya lho...(meski cuma ngrecokin doang sih...hehe -,-')
Naah lagi, sekarang tugasnya anak muda nih, mengawasi dan memastikan pelaksanaannya tepat sasaran dan efektif. Saya bilang mahasiswa aja lah ya, karena saya juga masih bau-bau mahasiswa kok (hehe :P)/
Jadi itu, sekarang bukan saatnya turun ke jalan lagi membuat anarki dan kemacetan. Tapi sekarang saatnya turun ke desa-desa, kecamatan. Turun ke masyarakat langsung kalau berani! Turun ke slum areas, pasar-pasar becek, antrian panjang di kantor pos dan titik pembagian raskin, dll. Jika hanya berani teriak di jalan tapi masih males kalo turun ke masyarakat, ah, itu belum mahasiswa yang sesungguhnya.
Gitu kawan...yap, sekarang saatnya teman-teman di BEM siapkan massa untuk turun ke masyarakat, kecamatan, desa-desa, pos-pos pembagian BLSM, raskin, KPS, dll. Ini perlu banget diawasi lho...trus lakukan studi apakah mereka merasakan manfaatnya atau nggak. Buktikan bahwa mereka jadi malas atau ketergantungan kalau sebelumnya kalian berargumen begitu. Laporkan jika ada hal-hal aneh ke pihak-pihak berwenang atau melalui media massa juga oke.
Sudahlah, keputusan untuk menaikkan harga BBM sudah disepakati di paripurna kan...akan sangat costly dan tambah costly sekali...kalau masih berusaha protes dan minta uji materi lagi oleh DPR. Justru nanti jatuhnya bakal memperburuk keadaan karena memaksa pemerintah lebih lama dalam ketidakpastian. Ngerti dong ya...
Salam satu jiwa!

Minggu, 16 Juni 2013

Cerita Tentang Kelompok Transgender di Jakarta

Sekedar sharing...
Mendengar transgender mungkin agak gimana gitu ya di telinga. Iya, mereka tetap perlu didampingi.
Pertama, tentu terkait agama lah ya, dan itu tidak perlu didebat lebih jauh.
Kedua, bahwa mereka adalah warga negara yang harusnya mendapatkan haknya sebagai warga negara kan ya. Terutama terkait akses layanan publik. Jadi itu, dari hasil seminar saya kemarin, ada paper tentang isu ini. Ceritanya gini. Kelompok transgender di beberapa wilayah kodamadya di ibukota itu sebagian besar mereka tidak memiliki KTP. Padahal hanya dengan itu warga negara bisa mendapatkan akses layanan publik yang lebih luas, terutama untuk mereka yang sebagian besar harusnya masuk ke dalam kategori miskin.
Kenapa?
Gini, mereka kebanyakan pindah dari tempat tinggalnya karena penolakan dari keluarga dan lingkungan asalnya. Mereka minggat tanpa pendidikan dan bekal yang layak. Kebanyakan di usia muda, belum punya KTP atau tanpa surat keterangan domisili atau pindah. Kebanyakan hanya lulus SD/SMP, ada juga yg SMA.
Nah, untuk mengurus KTP mereka kesulitan karena tidak ada surat keterangan pindah itu tadi, kalau mau ngurus di alamat asalnya pun mereka juga sering ditolak karena tidak diakui. Ada juga yg dapet tapi itu dengan menyogok petugas dan itu pun dikasih dengan nomor kode orang lain (ditipu). Akhirnya KTP itu pun tetap tidak bisa digunakan untuk akses bantuan-bantuan pemerintah.
Guys, meskipun mereka dalam pandangan agama seperti itu, tapi mereka juga makhluk Allah yang membutuhkan kasih sayang Allah dan cahaya cinta-Nya. Kita tidak tahu tentang akhir hayat diri kita sendiri apalagi mereka. Don't judge them from their current condition. They simply can change into the better one, with the guidance from Allah.
They're still need us.
Contribute more, the best we can do.

Tentang BBM Lagi

Ya, saya masih pada pendapat saya sebelumnya. Mendukung kenaikan harga BBM, dan pengurangan subsidi BBM agar dialihkan ke program-program penanggulangan kemiskinan.
Umm, untuk hal ini saya akui, saya masih cupu banget dalam hal pengetahuan ekonomi dan rasanya sangat sombong jika saya mengatakan sebagai orang yang terlibat tidak langsung dalam proses di tingkat kebijakan negara. Tapi yang namanya orang belajar, sah-sah saja kan ya memberikan pendapat. Ini tidak ada kaitannya dengan analisis politik. Ciyus! Koreksi boleh-boleh banget kok...namanya sharing knowledge kan ya... (peace maker banget ^^V)
Pertama, saya agak heran dengan pendapat salah seorang adik angkatan di sebuah organisasi tingkat kampus yang mengatakan bahwa subsidi untuk rakyat miskin dalam bentuk BLSM (semacam BLT gitu) yang HANYA turun dua kali untuk lima bulan itu justru yang memanjakan dan membuat rakyat malas. Gini, lebih memanjakan (membuat malas) mana subsidi harga BBM yang segitu banyaknya dan nggak kebanyakan malah dinikmati orang kaya dibandingkan subsidi untuk rakyat miskin itu? Dua, jangan ge-er dulu, BLSM itu sifatnya sementara hanya untuk mempertahankan daya beli masyarakat miskin selama terjadi kenaikan harga BBM. Toh, dalam jangka panjang mereka pun ada programnya sendiri. Jadi program untuk orang miskin itu dibedakan jadi dua: program untuk menanggulangi immediate impact (program jangka pendek) dan program jangka panjang. Nah, program jangka panjang inilah yang ibarat kata tidak langsung memberi ikannya tapi memberi kailnya. Misal para mantan TKI di daerah Tj.Priok nih, mereka dikasih modal skill dan alat-alat modal lain untuk buka usaha sehingga mereka tidak bisa berangkat lagi jadi TKI gitu.
Perlu diketahui, tentu, dan itu hampir niscaya, saya pun sudah membuktikannya lewat skripsi saya kemarin, bahwa kenaikan harga (misal pangan dan BBM) itu akan meningkatkan angka kemiskinan di suatu negara, citeris paribus. Kita melihat efeknya dari dua sudut pandang: efek langsung dan tidak langsung. Efek langsung inilah yang ingin ditanggulangi dengan program BLSM ini agar angka jumlah orang yg jatuh ke lubang kemiskinan atau makin parah miskinnya itu nggak banyak-banyak amat dan nggak parah-parah amat gitu lho. Itulah mengapa programnya didesain cuma sementara. Jadi yg BLT kemarin kok malah diterusin sama SBY itu semata-mata urusan politik, tidak masuk dalam analisis ekonomi sebelumnya. -,- Ya, silakan tepok jidat dulu kalo mau.
Nah, didesain sementara itu ya biar itu tadi, nggak bikin malas-malas banget. Karena dalam jangka panjang perilaku orang tentu akan lebih adaptatif dalam kondisi kekinian. Pas awal-awal harga naik mungkin mereka shock dan bingung gitu lho mau nyari tambahan uang kemana. Tapi dalam jangka lebih lama, ekonomi secara keseluruhan bisa smooth dan saling menyesuaikan (istilah kerennya, new equilibrium). *terlepas dari perdebatan klasik dan neo-klasik ya...-,-*
Jika sempat ada beberapa alasan tokoh politik menolak kenaikan harga BBM karena penimbunan dan ada beberapa politikus negara yg bermain curang di sana, itu beda lagi urusannya sama analisis ekonominya mengapa urgent banget untuk dinaikin tuh harga. Itu adalah masalah kelembagaan proses peneluran kebijakan itu. Jadi kalo itu masalahnya fokus saja lah di sana dengan upaya pencegahan dan mekanisme agar hal itu dapat dihindari.
Jika khawatir itu jadi politik mendulang suara dengan BLSMnya, humm...sebenarnya kan mau naikin BBMnya udah dari kemarin nih, tapi diulur terus sama beberapa politisi yang tidak sepakat. Jadinya diundur terus dan jadinya baru kejadian menjelang pemilu ini kan, jadi ituh kesannya kayak politik mendulang suara gitu. Padahal ide awalnya bukan banget. Murni karena itung-itungan ekonomih. Saya melihat sendiri bagaimana orang-orang di belakang meja itu riweh siang malam kaji ini kaji itu, teliti ini teliti itu. Program-program penanggulangan kemiskinan itu tidak tiba-tiba keluar begitu aja, tapi semua berdasarkan hasil riset akademik, dan itu tidak hanya kuantitatif, kualitatif juga, dan tidak hanya dilakukan satu lembaga/pihak saja, tapi sering juga pemerintah minta bberapa lembaga lain untuk lakukan kajian agar melihat hasil kajian dari berbagai sudut pandang. Itu masih belum selesai. Masih harus diajukan dulu ke rapat kabinet dan tetek bengeknya. Di situlah proses politik mulai. Kadang orang di belakang meja pada sebel kan ya udah capek-capek teliti setengah mati, eh, jatuhnya yang keluar jauh panggang dari unsur akademik, malah kebanyakan politik. Ugh...gap inilah yang sangat menyebalkan. *sok teu aye*
Jadi kawan, saya kira yg perlu banget diawasi oleh mahasiswa skarang adalah justru pengawasan mengenai program-program penanggulangan kemiskinan itu sendiri. Di lapangan masih banyak terjadi kebocoran, masalah, dan banyak hal. Awasi proses pembayaran dan penyalurannya, Siapa saja yg belum dapat. 
Atau justru kalau mau melakukan pendampingan ke kelompok-kelompok marjinal misal, para transgender yang tidak punya KTP karena selalu ditolak keberadaannya oleh pemda setempat karena masalah kartu identitas sehingga tidak bisa mengakses layanan publik. Atau penduduk urban di slum-area yang ditipu mengenai kepemilikan tanah mereka sehingga tahu-tahu mereka harus digusur oleh pemerintahnya sendiri. Atau tentang program bantuan yang banyak bermunculan di daerah tapi diaku-aku oleh banyak pihak yg sebetulnya tidak bekerja apa-apa tapi menikmati duitnya. Lebih dekatlah dengan mereka. Para pemangku kebijakan sedang bekerja keras melakukan yang terbaik sebisa mereka. Tapi ada beberapa agent (pelaku) di bawah atau di sampingnya yang tidak seindah yang mereka harapkan. Itu lho yang perlu jadi perhatian kita itu. Tidak terpaku terus di atasnya, tapi juga di level bawah di tingkat pelaksananya yang kadang dan seringkali terjadi gap informasi antara pusat dan daerah.
Ya gitu deh.


Kebon Sirih, 10.46 sepulang dari slum-area daerah Tanjung Priok.
Di kamar kos, sambil memprsiapkan mental menyaksikan kemacetan esok hari.

Kamis, 06 Juni 2013

Menziarahi Ibukota

Rasanya baru kemarin saat saya langsung mendapat pertanyaan "Jadi, kapan bisa berangkat ke Jakarta?" seusai pertama kali dinyatakan lulus.
Awalnya memang terasa sulit meninggalkan Jogja yang begitu nyaman. Tapi suatu saat kita harus berani untuk keluar sejenak meski hanya sekedar untuk merasakan kerinduan dari jauh. Bukankah rindu itu romantis?
Setelah mulai terbiasa dengan ibukota dengan kegentingannya ini, saya ingin menuangkan sedikit kerinduan pada tempat itu dan pada orang-orang yang ada di sana. Menziarahi malam di kota ini. Entah mengapa waktu menjadi begitu berharga di sini. Sehari-hari saya menghabiskan waktu di dalam ruangan ber-AC dengan orang-orang yang sama dan layar komputer yang tak pernah bosan menampilkan program yang sama. Kemudian ketika pagi hari dan senja menjelang, saya harus menyiapkan mental untuk bergelut di jalanan yang sangat tidak terprediksi. Tapi saya mulai menikmati itu semua. Bahkan banyak hal yang bisa saya pelajari di sini. Saya merasakan betapa orang-orang di sekitar saya sangat membimbing dan memberi dukungan. Bukankah tahun ini adalah tahun penggemblengan? Maka ritme hidup harus mulai berubah. Ritme yang berubah. Ritme yang cepat menggantikan ritme yang lembut.
Dalam kecepatan ritme itu saya tersadar bagaimana sulitnya memulai sebuah tulisan untuk menggenapi pesanan novel dengan seorang teman. Padahal, banyak sekali cerita dan inspirasi yang bisa dibagikan. Tapi untuk memulai menulis itu sendiri sulit. Tentang sopir angkot dan kondekturnya, tentang para penghuni pasar yang sehari-hari saya lewati, tentang wanita-wanita yang memajang dirinya di tepi jembatan setiap malam, tentang penghuni kompleks, dan lain-lain.
Ah, saya harus menghela napas sejenak untuk menyelesaikan itu semua. Novel, buku untuk dashboard, translasi paper, semuanya tiba-tiba menguap di jalanan ibukota.
Baru saja kemarin ayah telepon,
"Dek, Agustus udah ada di rumah kan? Bapak sedang menyiapkan acara wayangan di kampung. Kamu siap rekam ya besok."
Di mana lagi saya bisa menemukan suasana seperti itu jika tidak di Jogja.
Di Jogja, saya bisa menghabiskan malam dengan menikmati lantunan gamelan, pertunjukan tari, teater, pembacaan puisi, diskusi, latihan tari, sampai kajian-kajian yang berkualitas.
Tapi malam ini saya hanya bisa merindukan itu semua dari jauh.
Selamat malam, Jakarta!

Senin, 15 April 2013

Growth

Melihat bagaimana ia berkembang dari hari ke hari menjadi bunga yang cantik.
Mawar oranye melambangkan semangat dan antusias. Jika diberikan pada orang lain bisa bermakna ingin mengenal lebih dekat atau perasaan bangga pada seseorang. Karena ini hadiah untuk diri sendiri, maka ini adalah perasaan syukur dan bangga atas apa yang telah dicapai. Hehew






akhirnya ia menampilkan rekah sempurna
Mekar mawar memang hanya sementara. Setelah ia mekar sempurna (titik optimum), ia akan menjadi layu hingga kering (diminishing). Pada saat itulah ia harus dipotong dari pohonnya untuk mendapatkan cabang yang lebih banyak sehingga tiap-tiap cabang itu bisa menghasilkan bunga lagi (expansion path). Setelah itu pohon mawar bisa memiliki kapasitas produksi lebih banyak. Itulah development, yang lebih dari sekedar growth karena ia mengalami perubahan struktural. Haissyaah...masih otak ekonomi lagi. -,-
Pada saat ini, mawar saya masih sekedar mengalami growth, setelah ini semoga ada development.

Minggu, 31 Maret 2013

Abdi Dalem

"Lha mbaknya kepengen jadi abdi dalem apa gimana?"
*Muka salah tingkah*

Sedikit pengalaman hari ini yang menyenangkan. Jalan-jalan sendirian tidak selalu kesepian. Saya bisa mendengar, melihat, dan menyelami lebih banyak. Hari ini saya pergi ke keraton khusus untuk melihat pertunjukan tari klasik di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, sekalian curi-curi informasi dari para abdi dalem mengenai kehidupan keraton. Ini sengaja saya lakukan agar mendapatkan feel untuk novel yang sedang saya tulis.
Iya sih, melihat para abdi dalem yang rapih mengenakan beskab lurik dan bertelanjang kaki itu saya sebenarnya mupeng. Kepengin banget bisa memakai seragam ala mereka itu. Saat melihat sekelompok pemuda pemudi abdi dalem bercengkerama di wilayah keraton yang ada tulisan "NO ENTRY" -nya, saya iri deh sama mereka. Kita sebagai pengunjung tidak bisa masuk ke wilayah-wilayah tertentu di keraton dan hanya abdi dalem dan orang-orang keraton yang memiliki kesempatan melihat isinya.
Saya melihat wajah-wajah ceria dan damai di sana. Saya iri dengan itu. Pertanyaan dari mas-mas abdi dalem di atas benar-benar membuat saya salting sambil senyam-senyum. Kepengen sih kepengen banget, tapi...hehe. Masih ada banyak hal yang belum kuketahui di sana. Adalah hal yang menyenangkan bukan, ketika kita bisa diterima dengan baik di berbagai komunitas. Melihat para penabuh gamelan, para abdi dalem, para penari keraton, saya iri. Saya kangen banget memukulkan ganggang slenthem ke lempengan-lempengan kuningan slenthem sambil menikmati irama yang dihasilkan.
"Mbaknya datang saja besok Jumat ke sini. Ada macapatan. Kalau mau belajar ada kursusnya. Nanti ujian terus kalau lulus bisa ikut tampil."
"Eh, saya cuma pengen lihat aja kok Pak. Hehe."
Ngeeek.... dalam hati sih sebenarnya mengiyakan. Semoga ada kesempatan lagi ke sana.

Nembang:
"Sekar gambuh ping catur...kang cinatur...polah kang kalantur... Tanpa tutur, katula-tula katali... Kadaluwarsa kapatuh... kapatuh pan dadi awon..."

Jumat, 29 Maret 2013

Ross E. Dunn

"Tujuan pendidikan Zaman Pertengahan agama Islam ini harus dipahami, bukan untuk mengajar sang murid berpikir kritis mengenai lingkungan manusia dan lingkungan alamnya atau untuk mendorong batas-batas ilmu pengetahuan di luar batas kemampuan para pendahulu mereka. Pendidikan itu lebih banyak mengalihkan kebenaran-kebenaran spiritual, nilai-nilai akhlak, dan aturan-aturan masyarakat dari masa lampau kepada generasi mendatang, yang bagaimanapun, para Muslim telah menjumpai kesalahannya karena hasil yang mencengangkan mengenai kepercayaan dan peradabannya."
"Sikap sopan, menahan diri, bersahaja, adab, bersih, cara memasak, tata cara makan dan aturan berpakaian, semua itu merupakann bagian dari tata-nilai yang teramat halus dari savoir vivre atau gaya hidup yang menguasai tempat yang teramat penting dalam hubungan-hubungan sosial dan penilaian akhlak. Apa saja yang menyebabkan sifat malu dan menyebabkan sikap jengkel atau perasaan tidak nyaman seseorang dianggap tidak sopan. Seseorang yang bersikap sopan-santun dan halus budi pekertinya ... kelihatan pada perilakunya suatu kombinasi dari sikap, tindakan dan kata-katanya, yang membuat hubungan-hubungannya dengan orang lain serba serasi, akrab dan demikian alamiah, sehingga mereka kelihatannya bertindak ikhlas." (Kenneth Brown, People of Sale: Tradition and Change in a Moroccan City, 1830-1930, Cambridge, Mass, 1976. hlm. 103)

Kamis, 28 Maret 2013

Paman Ekalaya

"Maafkan saya yang lancang, Paman. Saya sudah tidak tahu persis. Mungkin dua puluh purnama saya mencari panjenengan. Saya ingin menimba ilmu, Paman. Izinkan hamba untuk ikut berguru bergabung dalam rombongan murid-murid panjenengan. Nama hamba Ekalaya, Paman. Bambang Ekalaya."
--Petikan novel Resi Durna karya Pitoyo Amrih.

Dari Destrajumna untuk Ekalaya.
Ketika paman guru berkata dengan lembut pada saya untuk tidak menaruh dendam pada eyang Resi Durna, saya justru merasakan amarah yang amarah memuncak padanya. Benar, memang. Paman pernah berkata untuk tidak serta-merta menilai orang lain atas tindakan yang pernah dia lakukan. Tapi paman, di Padang Kurusetra kemarin saya berhasil memenggalnya. Orang yang kau anggap sebagai guru itu, yang kau curi ilmunya, ia telah mati di tanganku. 
Sebelumnya dia juga membunuh ayahku di depan mataku sendiri! Ini menyakitkan melihat orang itu telah melukai dua orang yang kukasihi. Ada apa sebenarnya dengan ayahku yang mati-matian bertarung melawan dia? Ada apa dengan mereka? Mengapa mendiang ayahku seperti juga menaruh kebencian padanya? Engkau tidak membencinya?
Paman guru, baratayudha telah usai, tapi masih banyak bala kurawa yang bersembunyi di mandura. Aku tidak tahu apakah esok pagi aku bisa berangkat kembali ke Cempalareja.
Salam rinduku untukmu, paman.
Destrajumna


#Efek habis baca novel wayang
Great epic story!

Work for the Poor

Sedikit membuka-buka buku yang dipinjamkan oleh dosen saya beberapa waktu lalu. (Belum dikembalikan juga karena bukunya habis kehujanan jadi agak cacat dari aslinya. Hehehe >,<)
Ini terkait juga dengan kepergian saya ke Jakarta beberapa waktu mendatang. Sedikit menumpahkan kesyukuran bahwa ternyata Allah selalu membimbing kita kepada hal-hal yang menjadi passion dan itu hal yang baik untuk diri kita. 
Akhirnya Allah membukakan jalan untuk pengabdian itu. Sesuatu yang tidak bisa ditukar dengan apapun. Ada teman-teman yang memilih untuk mengabdi ke pelosok nusantara sana dan membagikan inspirasinya kepada masyarakat di sana. Ada yang mengabdi ke perusahaan-perusahaan asing, ada yang mengabdi untuk negara melalui institusi pemerintahan dan lain-lain. Setelah kelulusan dari buaian kampus, kita semua akan mengabdi di ranah masing-masing.
Kadang saat mengerjakan skripsi kemarin, saya bertanya pada diri sendiri. Apakah penelitian ini bisa bermanfaat untuk mereka yang berada di bawah garis kemiskinan? Apakah data observasi yang digunakan sudah mencakup mereka yang tidak memiliki rumah untuk tempat tinggal? Atau nenek dengan payung kusut yang kutemui di sebuah gang di suatu senja itu mendapatkan manfaat dari penelitian ini? Pertanyaan-pertanyaan yang tak perlu dijawab dengan berbagai alasan. Ini hanya perlu tindakan nyata. 
Beberapa bulan ke depan saya mungkin akan bekerja lebih banyak dengan data, statistik, angka-angka. Saya masih berharap itu akan bermanfaat, meski sebenarnya saya juga menginginkan ada kalanya bisa terjun langsung menyentuh kehidupan mereka. Ternyata Allah membukakan jalan untuk saya bisa melakukan keduanya.
Bismillah, semoga bulan Mei nanti akan ditutup dengan indah dan diawali dengan indah. Bulan Maret ini telah saya selesaikan langkah pertama dengan berbagai perencanaan dan tawaran yang membahagiakan. Seperti yang telah saya tulis di awal tahun kemarin, tahun ini akan menjadi tahun penggemblengan dan pengabdian. 
Semoga wisuda nanti saya telah menyelesaikan satu buku kompilasi, satu novel, satu jurnal, satu proposal kegiatan institusi, satu aplikasi, dan melaunching satu film. Hanya dalam waktu dua bulan. Mungkinkah? Bismillah...mari kerja keras!
Semoga bulan Mei akan menjadi sapaan hangat dari ibukota.
Let's work for the poor! Let's dedicate more!

Saya jadi teringat dengan prinsip para abdi dalem keraton. Mereka ikhlas dan nrimo mengabdi meski rupiah yang mereka terima tidak seberapa. Allah sudah tentukan rizki kita masing-masing. Dan rizki itu sepenuhnya urusan pribadi kita dengan Allah. Mereka hanya mencari kebahagiaan yang membuat hati mereka tenteram. Bukankah yang kita cari adalah kebahagiaan? Apa definisi kebahagiaan kita sesungguhnya?
Salah satu kebahagiaan yang indah adalah ketika kita bisa berarti untuk orang lain bukan?

Selasa, 26 Maret 2013

Graduation Flower


Saya baru nyadar bahwa ini adalah buket pertama yang saya terima dari orang lain seumur hidup. Dan itu adalah pemberian dari adik angkatan. Jadi saya pikir ini perlu diabadikan di sini. Hahaha...norak!

Selasa, 05 Maret 2013

Food, Fashion, and Fun

Umm...di tengah-tengah penantian keluarnya jadwal pendadaran, menjadi baby sitter, dan sok-sokan belajar. :P
Sekedar mengisi post pertama untuk bulan Maret.
Dilihat dari judulnya, saya tidak sedang ngomongin gawzul fikr kok.
Beberapa waktu lalu ada yang sempat membuat saya tertohok.
1. Makanan apa yang selama ini kita makan? Selama ini saya makan asal enak dan kenyang, tanpa memperhatikan segi toyib-nya. Apakah makanan itu sehat? Apakah benar saya butuh makanan itu atau sekedar ingin? Bagaimana jika kita dimintai pertanggungjawaban nanti di akhirat tentang bagaimana kita menjaga tubuh yang dititipkan Allah pada diri masing-masing? 
Rasulullah memperhatikan betul itu apa-apa yang beliau makan dan bagaimana beliau makan. 
2. Bagaimana kita menjaga penampilan? Oke, sudah berjilbab syar'i, insya Allah. Tapi apakah sudah benar-benar indah dan nyaman jika dipandang orang lain? Seseorang pernah berkata pada saya, "Kita ini adalah selebriti. Apa-apa yang ada pada diri kita akan dilihat dan dinilai orang lain. Dari situlah kesan pertama dan stigma orang lain timbul pada diri kita dan orang-orang yang berbusana seperti kita. Kita senang melihat orang yang berpakaian rapih dan indah. Tapi diri sendiri tidak melakukannya. Adil nggak? Bahwa ini juga sebagai sarana dakwah lho menjaga penampilan. Rasulullah selalu memperhatikan penampilannya. Ia juga membelikan baju untuk Aisyah dengan warna yang bermacam-macam. Kita mau meniru Rasulullah bukan? Masih cuek dengan penampilan asal jadi?" Saya pun kemudian berpikir, mungkin inilah mengapa di bursa kerja para manajer memperhatikan betul penampilan para calon karyawannya, bahkan dari maskara, eyeliner, fondation, dll yang dipakai pun diperhatikan betul oleh mereka. Ini adalah gambaran tentang kepribadian seseorang. Mereka yang tidak berpenampilan good-prepared akan dicap sebagai orang yang tidak bisa menghargai orang lain dan cenderung ceroboh dalam pekerjaan. Itulah mengapa juga beberapa ulama menasihatkan untuk meningkatkan citarasa penampilan kita pada objek dakwah. Ini bukan sekedar perkara dandan dan modis. Ya, mungkin beberapa di antara kita masih mengernyitkan dahi saat mendengar kata dandan dan stylish. What? Dandan? Bedakan aja nggak pernah. No, tidak sesempit itu memahaminya. Tabaruj ada sendiri batasannya (ada perbedaan pendapat sih tentang ini, tapi saya lebih memilih yang moderat). Ini lebih menyangkut rasa hormat kita pada orang lain dan bagaimana merawat diri sendiri (misal, kulit wajah). Jika kita bisa berdakwah melalui penampilan mengapa tidak? Rasulullah aja stylish kok... Tidak ada lagi alasan untuk tampil kumal dan seadanya.
3. Apa yang selama ini paling bisa membuatmu bahagia dan merasa enjoy? Jalan-jalan? Nonton film? Karaoke? Shopping? Mengapa bukan mengkaji Al Quran? Mengapa bukan tilawah? Apakah tilawah selama ini masih menjadi suatu targetan harian yang harus dikejar untuk dipenuhi dan bukan merupakan kebutuhan dasar? 
PLAK!
Saya tertampar. Hahaha
Semoga satu per satu tiga hal di atas bisa diperbaiki.

Dear, Islam itu syumul. Islam itu ada untuk membentuk kepribadian yang syumul. Semua perkara harus diperhatikan betul.

Selasa, 22 Januari 2013

Dosa Mahasiswa (Akhir) (Banget)

Timeless, restless, but jobless. Mungkin orang-orang rumah menganggap saya sudah hampir gila. Kesannya nganggur, nggak ada kerjaan, sampah rumah. Padahal, di dalam kamar ngadep komputer terus sampai lupa waktu. Ya itu tadi, hasilnya belum keliatan aja. Entah ini sudah malam keberapa, hari keberapa, pekan keberapa. Saya sudah seperti Nodame Cantabille yang terus-terusan "main piano" non-stop selama berhari-hari, badan dan wajah kuyu, ruangan yang kumuh. 

Dan malam ini baru menyadari sesuatu.

Saya mendapat nilai jelek untuk kuliah matematika ekonomi. Nilai A untuk Matematika Ekonomi II adalah sebuah keberuntungan karena dosennya membuat soal semudah mungkin karena pengertian pada mahasiswa sebodoh saya. Perhitungan kalkulus, logaritma, integral, limit, dan lain-lain terlihat begitu mengerikan bagi saya. Sampai sekarang masih terasa sulit dan belum paham-paham juga. Tapi sekarang saya berhadapan dengan itu semua. Saya harus menghadapi mereka dan bersahabat dengan mereka. Ini tentang olah data skripsi.
Saya mendapat nilai jelek untuk mata kuliah Mikroekonomika 2. Sulit sekali mengerti pelajaran satu ini. Saya ngulang dua kali untuk mata kuliah ini. Tapi sekarang saya harus berhadapan dengan makhluk ini. Harus benar-benar ngerti. Ini tentang skripsi juga.
Saya dulu mengambil mata kuliah Ekonometri1 tiga kali! Kuliah pertama tidak bisa ikut ujian. Kuliah kedua saya tidak bisa mengerjakan soal UAS karena tiba-tiba blank di tengah-tengah. Terakhir dapat nilai A karena sebuah keberuntungan. Hahaha. Ekonometri 2 dapet A- itu juga seperti sebuah keajaiban. Kuis mingguan saya standar-standar banget. Ujian juga tidak begitu yakin. Mungkin karena tugas akhir saya yang paling beda. Hehehe. Tapi sekarang saya harus mengkoreksi hasil ujian puluhan orang yang mengambil mata kuliah ini. Saya juga harus ngerti ini agar bisa lulus skripsi.
Aaaaa...mengapa kalian masih saja menghantui kehidupanku??? Please, be cooperate with me, microeconomics, math, and econometrics! I love you all! So much! Hahaha (frustasi)

Pelajaran:
Terkadang kita harus menghadapi sesuatu yang dulunya kita hindari dan benci. 
Bisa jadi suatu hal itu baik bagi kamu meski kamu membencinya.
Bisa jadi suatu hal itu buruk bagi kamu meski kamu menginginkannya.
Jangan terlalu benci, jangan terlalu suka.
Apapun, hadapi! Kalau mau lari dari masalah, ini adalah hal yang impossible.

Senin, 07 Januari 2013

Kutipan

"Pendidikan seorang sarjana menjadi besar kemajuannya dengan melakukan perjalanan untuk mencari pengetahuan dan menjumpai guru-guru yang berwenang (bagi zamannya)."
--Ibnu Khaldun
 Kutipan dari buku The Muqaddimah, edisi ke-2, terjemahan F. Rosenthal, 3 jilid. (Priceton, N.J., 1967), jilid 3, hlm. 307 (dalam Petualangan Ibnu Batuta karya Ross E. Dunn)

Jiwa Para Ksatria

Masih nyambung dengan post saya sebelumnya.
Pada akhirnya yang membedakan adalah amal dan niat setiap orang.
Ada ksatria yang tidak butuh pengakuan bahwa dia menguasai ilmu tertentu tapi terus mengasah diri dengan ilmu dan kontribusi nyata. Ini mengingatkan saya pada sosok Ekalaya. Dia hanya menginginkan ilmu danurweda untuk dikontribusikan ke pertahanan negaranya tanpa butuh yang namanya pengakuan sertifikasi pemanah terhebat. Tapi Arjuna menginginkannya. Sehingga dua kepentingan inilah yang akhirnya saling tarung.
Kedua, sosok pendekar tanpa nama yang dihadirkan dalam novel kesayangan saya, Nagabumi karya Seno Gumira Ajidarma. Saya appreciate sama tulisan-tulisan beliau yang bermutu. Penulis kisah sejarah yang tidak main-main dalam menjaga pakem keabsahan ilmiah. Referensinya aja gila banget. Oke, kembali ke pendekar tanpa nama. Dia adalah sosok pengelana yang tidak sengaja menceburkan dirinya di dunia persilatan. Yang dia lakukan adalah membela yang lemah, tanpa pandang bulu, tanpa butuh pengakuan. Untuk melakukan itu, dia terpaksa berurusan dengan pendekar-pendekar lain yang itu mengharuskan dirinya untuk mengasah kemampuan silatnya. Akhirnya satu per satu pendekar dia kalahkan. Setelah berhasil mengalahkan beberapa pendekar kaliber, nama pendekar tanpa nama pun menjadi santer pembicaraan di kalangan pendekar maupun para candala. Satu orang yang akhirnya menjadi lawan utamanya, Naga Hitam. Orang yang harus berurusan dengannya karena ia mengusik kepentingan Naga Hitam untuk mendapatkan kekuasaan. Seperti Arjuna, Naga Hitam menggunakan segala cara untuk memusnahkan Pendekar Tanpa Nama itu. 
Ketiga, Bhisma. Ini sosok favorit saya. Tanpa butuh pengakuan bahwa dia seorang raja atau yang pahlawan bagi Astina. Ia tetap mengabdi untuk negaranya. Sepeninggal ayahnya, Sentanu, ia sendiri yang menjalankan roda pemerintahan Astina ketika Citragadha dan Citrawirya masih kecil, belum mumpuni untuk meneruskan tahta. Hingga akhirnya tahta itu secara resmi diserahkan kembali kepada adik tirinya. Ia sudah terikat sumpah untuk tidak menjabat meski ia sangat kompeten untuk itu. Ibu tirinya, Durgandini, yang bersikukuh agar keturunannya yang menjadi pewaris tahta tanpa memperhatikan kompetensi anak-anaknya. Meski ia sendiri mempersiapkan pendidikan anak-anaknya baik-baik.
Kisah-kisah seperti itu tidak jarang terjadi di dunia modern saat ini. Mereka yang lurus berkontribusi tanpa butuh pengakuan itu masih ada. Mereka yang haus kekuasaan meski dirinya berkompentensi tinggi pun ada. Banyak malah.
Jika saya renungi lagi adalah bahwa politik kekuasaan di sini sejatinya diperlukan bukan untuk kepentingan pribadi, tapi untuk perjuangan kebenaran mutlak. Bukan sebaliknya, menggunakan dalih kebenaran mutlak untuk kepentingan pribadi. 
Jadi teringat dengan berita tentang Ikhwanul Muslimin di Mesir. Para kader IM berjuang dari bawah, tanpa butuh pengakuan. Meski dizalimi oleh penguasa oposisi, mereka tetap berkontribusi untuk masyarakat. Tanpa butuh pengakuan dari media dan publik, yang penting kontribusi jalan. Dakwah yang mereka lakukan dari yang terkecil, seperti membantu menyeberang jalan ataupun sekedar membantu barang belanjaan ibu-ibu. Dalam kontribusi itu, mereka tidak membawa yang namanya wartawan. Dengan begitulah mereka mendapatkan pengakuan publik dengan sendirinya. Inilah yang disebut dengan the power of the silent majority. Berapa banyak mereka yang berada di pelosok tanah air, diam dalam kontribusinya. Itulah pahlawan sejati. Mereka tidak butuh pengakuan dari manusia, mereka hanya berkontribusi dengan apa yang mereka bisa. Jika belum berkompetensi, mereka gigih menimba ilmu. 
Kemenangan sejati bagi mereka adalah ketika orang-orang berbondong-bondong pada Islam. Ketika Allah menjadi ridha pada mereka. Ketika kedua kaki menginjak surga.
Satu hal yang saya pelajari di sini adalah bahwa jiwa ksatria sejati itu menggunakan ilmunya untuk kepentingan umat. Bukan kekuasaan. Kekuasaan adalah alat. Kekuasaan adalah amanah. Ilmu, kekuasaan, amanah, itu yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.

Minggu, 06 Januari 2013

"Mengkono kuwi politik, yayi..."

Tiba-tiba ubun-ubun serasa mendidih. Betapa rumitnya manusia. Menarik diskusi saya dengan seorang kolega di dunia maya mengenai tokoh wayang bernama Bambang Ekalaya.  Ini membuat saya benar-benar merenung. Wow...

Bambang Ekalaya yang memiliki kemampuan melebihi Arjuna (terutama karena otodidak) tapi bodoh dalam berpolitik, dengan Arjuna yang sebenarnya juga hebat, pintar politik juga. Singkat cerita, Arjuna berhasil memenangkan pengakuan pemanah terhebat sejagad tapi dengan cara yang tidak adil. Arjuna berhasil membujuk Durna untuk memegang sumpah setianya hanya pada Pandawa (property right). Meski sebenarnya Durna mengalami perang batin setelah melihat potensi yang dimiliki Ekalaya. Tapi dia sudah terlanjur memegang sumpah itu. Kemudian Durna terpaksa mematikan potensi Ekalaya dengan meminta ibu jari "murid" yang dikasihaninya itu. Entah karena bodoh atau apa, Ekalaya mau dengan ikhlas menyerahkannya. Dia pun harus rela kehilangan istrinya juga gara-gara ulah Arjuna. Arjuna untuk hal ini mau mengakui kesalahannya. Dia menerima tantangan perang tanding dengan Ekalaya, dan kalah. Tapi pada akhirnya dia mengadu kepada gurunya untuk memusnahkan Ekalaya. 

Jika dilihat ini mungkin terjadi juga di negeri kita tercinta, Indonesia. Mereka yang berkuasa adalah pemenangnya. Mereka yang pandai berpolitik adalah pemenangnya. Para pemenang membutuhkan pengakuan dengan politik. Ada yang berpolitik dengan benar, ada yang tidak. Mereka yang tidak, menggunakan segala cara untuk menjadi pemenang, sah atau tidak sah. Arjuna melakukan hal yang tidak sah tersebut. Menang dengan property right, kekuasaan, dan pembunuhan. Iya, tidak adil. Tapi itu menjadi realistis di Indonesia. Orang-orang berebut kekuasaan untuk memperjuangkan apa yang menjadi kepentingannya. Dan kita tidak bisa menjamin para pemegang kekuasaan itu berpihak pada kepentingan akan kebenaran mana yang mereka anut. Kebenaran mutlak atau kebenaran relatif? Ada yang sama-sama mengusung kebenaran mutlak tapi beda dalam berproses. Proses sah dan tidak sah. Ada yang mengusung kebenaran yang berbeda, tapi sama-sama menjunjung proses yang adil. 

Dan sayangnya, masyarakat Indonesia masih belum secara utuh mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Pandangan publik bisa dengan mudah diplintir sedemikian rupa. Itulah politik, dinda.

Ada orang yang mirip Durna. Sejatinya dia membela kebenaran, tapi karena kondisi, dia harus melakukan "kesalahan". Ada orang yang mirip Bhisma, yang merelakan apa saja darinya semata-mata untuk pengabdian terhadap apa yang dia yakini sebagai sesuatu yang benar. Apapun kondisinya, tetap kukeuh pada prinsip. Ada yang mirip Arjuna, yang menggunakan segala cara untuk mendapatkan pengakuan. Meski secara umum dia punya kompetensi dan tujuan yang baik. Tapi caranya tidak gentle. Padahal dia disebut-sebut sebagai lelananganing jagad.  Ada yang mirip Ekalaya, kompeten, tapi tidak pandai berpolitik. Akhirnya tidak menyadari bahwa dirinya telah dizalimi. Ini gambaran rakyat jelata. Memberontak saat sudah merasa terzalimi. Tapi berontakan itu berhasil dipatahkan dengan politik.

Pengakuan, kekuasaan, politik.

Yang kita butuhkan adalah politikus ala Werkudara. Tegas benar dan salahnya. Berani bertindak. Berani menunjukkan keberpihakan. Tapi untuk keberpihakan kita perlu belajar dari Bhisma. Konsisten pada apa yang dia yakini. Proses dan tujuan yang benar. Ah, manusia wayang memang rumit.

Kita tetap butuh itu yang namanya politik. Mendakwahkan Islam pun butuh politik agar Islam diakui sebagai ustadjatul 'alam. Pertanyaannya, sudah seberapa besar usaha kita menjaga politik kita di jalur yang benar? Strategi perang ditentukan dengan mekanisme syuro'. Proses syuro' pun harus memenuhi adab-adab tertentu. Inilah indahnya Islam yang begitu menjunjung tinggi proses. Hasil adalah kondisi yang menjadi akibat dari proses dengan ACC dari Allah.

Lagi-lagi pada akhirnya yang membedakan antara mereka semua adalah amal dan niatannya. Apa yang mereka perbuat setelah mereka berkuasa. Digunakan untuk apa kekuasaan itu, dan untuk siapa.

Kamis, 03 Januari 2013

Dari Wiratha Hingga Kurusetra



Padang Kurusetra hening seketika dari kecamuk peperangan. Semua membisu melihat tubuh kakek mereka Bisma, yang tertancap oleh ratusan anak panah Srikandi. Mereka melihat wajah kakek mereka itu menyiratkan luka mendalam sekaligus rasa bersalah. Matanya hanya tertuju pada sosok yang terus meluncurkan anak panah ke arahnya.
“Amba…inikah yang akhirnya kau inginkan selama ini?” lirih mulutnya berucap.
Samar ia melukiskan senyum yang tak bisa dipahami oleh siapapun. 


Ini sekilas tentang kisah Dewi Amba dengan Bisma yang berakhir di Padang Kurusetra.  Bisma yang terpaksa menolak lamaran Dewi Amba karena sumpah dharmanya sebagai seorang ksatria harus merelakan kepergian gadis yang sebenarnya dicintainya terbunuh di tangannya sendiri. Dan pada akhirnya ia merelakan dirinya terbunuh di tangan titisan Dewi Amba. 
Kisah ini mengingatkan saya pada film yang dibintangi oleh Jackie Chan berjudul The Myth. Kisah seorang panglima yang jatuh hati pada seorang putri boyongan tapi mereka tidak bisa saling memiliki. Pada akhirnya sang panglima gugur di medan perang untuk menunaikan baktinya pada negeri. Sang putri bersedia meminum pil keabadian dan menggunakan seumur hidupnya untuk menunggu sang panglima datang kembali menjemputnya.
Ini mirip juga dengan kisah patah hatinya Damarwulan dan Anjasmara. Saat Damarwulan diutus oleh sang ratu memerangi Menakjinggo dengan janji: jika menang dia akan dinikahkan dengan sang ratu dan menjadi raja, jika kalah maka itu berarti kematiannya. Kisah mereka kemudian diterjemahkan oleh Pak Gunawan Muhamad dalam puisinya Asmaradana:

Asmaradana
Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun,
karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah
pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti,
yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib,
perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi
pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan
mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani lagi.

Anjasmara, adikku, tinggallah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.

Satu hal yang saya pelajari dari kisah-kisah ksatria di atas. Mereka berani mengorbankan perasaan cintanya untuk sesuatu yang lebih penting dan lebih besar. Ini namanya pengabdian. Para sahabat Rasulullah dulu pun lebih menyukai medan peperangan daripada hanya berasyik-masyuk dengan istri mereka. Bagi mereka perasaan cinta yang tertinggi adalah kepada Allah dan Rasul-Nya.
Jika ditarik ke masa sekarang, ternyata banyak pula para pemuda yang belum bisa mewarisi jiwa ksatria itu. Dengan mudahnya mereka terlena pada cinta yang sifatnya hanya sementara kemudian melupakan perjuangan yang sesungguhnya. Hingga terjerumus dalam lembah dosa dan maksiat. 
Bagi saya cinta paling romantis itu bukan cinta mereka yang tiba-tiba bersatu dengan mudahnya. Tapi cinta mereka yang dilandasi atas kecintaan pada Tuhan mereka. Cinta pada perjuangan di jalan dakwah.

Rabu, 02 Januari 2013

Orang Darat dan Orang Laut



Masih tentang perjalanan dan sejarah.
Sebuah petikan menarik dari George Makdisi dalam The Rise of Colleges:
"Seseorang yang terpelajar adalah mulia di mana pun atau dalam kondisi apa pun ia mungkin berada, selalu bertemu dengan orang-orang yang menguntungkan dirinya, yang mendekat kepadanya dan mencari persahabatannya, mereka terhormat karena berada deka dengannya." -- 'Abd al Latief al Baghdadi
Ini mengingatkan saya pada perbincangan saya dengan seorang umahat yang patut diteladani pendidikan keluarganya. Bisa dibilang beliau adalah pakar Islamic Parenting di Jogja. Beliau menceritakan mengenai anak-anaknya yang sudah bersekolah di luar negeri dan berkelana ke mana-mana. Satu hal yang membuat beliau tetap yakin adalah bahwa orang baik akan selalu ditemukan dengan orang-orang baik. Ia tidak khawatir anak-anaknya akan salah pergaulan. Ia hanya membekali anak-anaknya dengan pengetahuan agama yang cukup, selebihnya biarkan mereka mencari sendiri. Allah yang akan menjaga mereka sepanjang waktu. 
Saya baru menyelesaikan pengantar buku Ibn Batuta yang ditulis oleh Rose E. Dunn. Sekilas saya melihat perbedaan antara Marco Polo dan Ibn Batuta. Sama-sama musafir hebat, tapi mereka punya kepentingan yang berbeda dalam setiap perjalanannya. Kebanyakan pengembara muslim jaman dahulu mengarungi lautan dan berkelana tanpa mengenal batas negara, suku, budaya, dan bahasa, yang ingin dilakukan adalah menyebarkan ajaran Islam dan belajar dari orang-orang alim yang ditemuinya di setiap persinggahan. Syiar Islam dan ilmu. Dengan niat tersebut tidak jarang Ibn Batuta selalu dikelilingi oleh orang-orang alim dan terpelajar di sekitarnya. Ia bisa belajar dan mengajarkan. Pengelana muslim tidak mengenal batas sekat negara, mereka hanya mengetahui keuniversalan ajaran Islam. Inilah yang kemudian mereka kenal sebagai Dar Al-Islam. 
Secara jujur Rose E. Dunn di sini juga membahas mengenai periode keemasan masa kekhalifahan Abbasiyah yang kemudian disusul dengan penurunan bertahap namun pasti hingga sejarah dunia membelokkan perhatiannya ke dunia barat dengan masa Renaissance-nya. Sejarawan terus menerus menafsirkan kejadian ini dengan kesalahan umat Islam sendiri yang tidak mau mewarisi pendahulunya dalam bidang ilmu. Sementara dinasti barat mulai bangkit dengan perkembangan penemuannya dengan mencatut apa yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan muslim sebelumnya. Pada saat ini kemudian umat Islam tidak bisa memberontak bahwa itu dulu punya kita. Orang barat akan beralibi salah sendiri tidak mau mewarisi.
Satu hal yang saya pelajari dari Ibn Batuta adalah bahwa semangat pengelana muslim adalah syiar dan ilmu. Bahkan saat ia mengalami kecelakaan dalam pelayarannya ke Mongol di Cina, ia akhirnya singgal di pantai barat laut India selama bertahun-tahun tanpa pekerjaan. Namun tersebut tidak menyurutkan langkahnya untuk menunaikan amanah sang raja untuk bergerak ke Cina. Beberapa tahun kemudian ia berinisiatif berlayar ke Cina untuk menunaikan tugasnya yang sempat tertunda. 
Jakarta tempo dulu (http://tatasumitra.com/?p=2244)
Dalam catatan perjalanannya yang ia sebut dengan rihla, Ibn Batuta tidak pernah menyebutkan dirinya sebagai penduduk masyarakat tertentu sekalipun ia adalah pegawai kehakiman di Maroko dan lahir di sana. Ia hanya menyebut dirinya orang kota. Tentang ini saya jadi teringat dengan film Tamra the Island mengenai penduduk desa di Pulau Jeju yang tidak bisa keluar pulau seumur hidup mereka dengan orang-orang yang seumur hidup mereka didedikasikan untuk perjalanan laut. Mereka bergabung dalam suatu kongsi dagang atau hanya sekedar pengembara. Mereka hanya punya kampung halaman tapi tidak pasti kewarganegaraannya. Ini pula yang mengingatkan saya pada orang-orang darat dan orang laut di Pulau Belitong. Pada jaman dulu masih dikenal pembedaan tersebut. Orang-orang yang tinggal di daerah pantai, mereka hidup dari laut meski tidak mengembara jauh. Orang-orang darat adalah mereka yang hidup jauh dari pantai dan berocok tanam. Pada jaman dahulu kota dimulai dari daerah dermaga laut yang mana kapal-kapal lokal dan asing singgah di sana untuk melakukan transaksi perdagangan ataupun hanya sekedar mengisi perbekalan. Kemudian jauh di darat sana tumbuh sebuah pusat pemerintahan yang mereka sebut sebagai kota.
Entah ini tampak berbeda atau sedikit sama dengan masa sekarang. Jika ditarik ke masa kini, orang mana kita jika di masa lalu? Kadang saya merindukan masa dulu di mana orang hanya mengetahui kabar dari tempat lain melalui perantara para musafir yang singgah. Mereka hanya bisa menerka dari hasil pembicaraan dan catatan, atau mereka bertandang ke sana sendiri. Jika hidup di masa lalu, mungkin saya adalah seorang gadis desa yang bercocok tanam dan sudah menikah dengan seorang pemuda. Hahaha...(kalo yang ini beda konteks bahasan ya). 
Jogja tempo dulu
Seketika ingatan saya tertuju pada pementasan teatrikal Jawa di TBY beberapa waktu yang lalu sebelum saya menjejakkan kaki ke Bumi Kaulan. Pemuda dengan baju khas pendekar jaman dahulu melagukan tembang Jawa dengan begitu mempesona. Ia kemudian menggerakkan tangannya yang kekar membuat lukisan abstrak di sebuah kanvas yang berbuat dari kaca dengan balutan tarian dan tembang yang menawan. Itu pertama kalinya saya benar-benar jatuh cinta pada budaya Jawa dan kesenian tradisional, serta hal-hal yang berbau sejarah. Saya benar-benar merindukan masa-masa seperti yang digambarkan di pementasan ketoprak-ketoprak itu. Ndeso lan njawani. Kemudian setiap hari saya akan mendengar ayah berkisah mengenai cerita wayang mahabarata dan perang baratayuda. Para pemuda merayu para gadis dengan tembang-tembang asmaradananya. Seperti para pemuda-pemudi di Belitong tempo dulu yang saling bertukar pantun untuk saling menarik perhatian. 

Sekar asmaradana pun mengalun lembut dari laptop saya:
pratikele wong ngakrami
dudu brana dudu warna
....

*tiba-tiba kangen sama slenthem >,< (lhoh?), terus ngepoin para penari peran Arjuna (padahal lagi sebel sama Arjuna karena mengalahkan Ekalaya dengan tidak adil).

Selasa, 01 Januari 2013

Tentang Perjalanan dan Sejarah


Entah, apa yang hendak saya tulis kali ini. Saya membaca tulisan teman-teman mengenai refleksi akhir tahun, resolusi tahun baru, dan lain sebagainya. Semua telah mengukir karyanya masing-masing. Ada yang puas ada yang tidak. Lalu, apa yang saya kerjakan dan pelajari dari tahun kemarin? Saya sudah bisa menjawabnya. Tapi, apa yang akan saya lakukan di tahun ini? Itu masih belum bisa menjawabnya dengan mudah.



Awal tahun masehi kali ini diawali dengan bulan Safar di tahun Hijriyah. Safar berarti bulan saat orang-orang banyak melakukan perjalanan. Tapi yang terjadi  adalah saya masih tinggal di kota yang telah lama membesarkan saya ini. Saya sempat mendengar kabar mengenai teman-teman yang hendak melakukan perjalanan jauh untuk studi mereka. Iya, iri. Toh nyatanya saya belum menyelesaikan satu pekerjaan penting dalam hidup bernama skripsi. Saya membenci diri sendiri untuk hal ini.
Awal tahun ini, di Bulan Safar, saya mengawalinya dengan membaca buku perjalanan Ibn Batuta. Seorang petualang legendaris dunia yang seharusnya pamornya melebihi Marco Polo. Ia menjadi saksi sejarah perkembangan Islam pertama kali di Indonesia. Kerajaan Samudera Pasai. Saya hanya bisa memberikan satu cuplikan di awal buku itu:

"Saya berjumpa di (Brusa) syekh 'Abdallah al-Misri yang alim, sang musafir, dan seorang pria yang hidupnya seperti seorang wali. Ia telah menjelajahi bumi ini, tetapi ia tidak pernah pergi ke Cina ataupun Sri Lanka. Juga tidak pernah ke negeri Maghrib atau ke negeri Andalusia, atau ke negeri-negeri Negro, sehingga saya mendahuluinya dengan mengunjungi wilayah-wilayah tersebut."
-- Ibnu Batuta
Saya baru membaca pengantarnya. Nanti akan saya ceritakan lagi tentang buku ini. Insya Allah. Membaca sekilas tentang buku-buku sejarah, jadi merindukan suatu masa di mana akses telpon dan internet belum ada. Orang-orang berhubungan dengan orang lain di tempat yang jauh dari mereka hanya dengan perantara surat atau bahkan tanpa kabar sama sekali sehingga mereka hanya bisa mengirimkan doa-doa. Masa di mana mengunjungi tempat lain adalah benar-benar sebuah kejutan. Ibnu Batuta mengajari kita untuk melakukan perjalanan bukan hanya sebagai pelancong, penikmat kebudayaan, dan penikmat pariwisata. Tapi perjalanan yang ditujukan untuk ilmu. Maka berbahagialah kawan-kawan yang telah menjelajah belahan dunia untuk menuntut ilmu dan mengajarkan ilmu. Kisah seorang pendekar tanpa nama yang diceritakan oleh Seno Gumira Ajidarma dalam novelnya Nagabumi sedikit membuat saya terkesima mengenai keluasan ilmu orang-orang jaman dahulu. Mereka mempelajari ilmu tidak dari sumber pasaran. Pendekar itu secara jelas memisahkan mereka yang berilmu dari sumber pasar dengan perantara telinga dan mulut orang tidak jelas dengan mereka yang berilmu dari sumber yang jelas. Satu quotes menarik yang disampaikan oleh sang pengantar di buku Ibn Batuta, bahwa para sejarawan itu mengisahkan cerita yang sudah selesai. Ia menceritakan kepingan kisah yang sudah diketahui endingnya.
Teringat dengan petuah Pak Fatan beberapa waktu lalu mengenai sanad. Tradisi para ilmuwan muslim dahulu adalah memelihara sanad. Sehingga bisa kita telusuri sekarang, siapa berguru pada siapa mengenai apa. Ini akan berguna bagi para sejarawan untuk menguji keotentikan dan subjektifitas penulis atau pelaku sejarah tersebut. Beda dengan sekarang yang sumber-sumber ilmu bertebaran di mana-mana tanpa sanad yang jelas. Alhasil, orang bisa dengan mudah comot sana comot sini tanpa memperhatikan keabsahan sumber.
Cerita tentang seorang ratu di Cina yang menjadi saksi kehancuran dinastinya, kisah tentang manusia-manusia berlatar kerajaan Padjajaran dan Majapahit, kisah perjalanan para Pandaya Sriwijaya dan perompak di Teluk Benggala, menelusuri jejak ratu Mongol dan perjalanan Cheng Ho, kemudian maju ke masa penjajahan Hindia-Belanda dari seorang Multatuli juga menikmati Pak Pram berkisah tentang wanita pribumi yang dipersunting oleh keturunan Walanda. Kisah sejarah kadang melukiskan kisah orang-orang penting dan dianggap besar. Jadi teringat dengan artikel yang dimuat di majalan tempo beberapa waktu lalu mengenai sejarah rakyat biasa, sejarah kaum jelata. Mereka juga pelaku sejarah yang penting.
Ingin rasanya melakukan perjalanan jauh untuk mempelajari dan mengalami sendiri apa yang Allah hendak ajarkan kepada manusia melalui perjalanan. Perjalanan sejatinya adalah mengenali diri sendiri dari sudut pandang lain, dan sejatinya watak diri akan tampak saat melakukan perjalanan yang tak biasa.
Berkaca pada tahun 2012, saya tidak bisa menyebutnya sebagai tahun karya, meski orang-orang bilang tahun itu saya menghasilkan beberapa karya (satu film, dua buku, dua proyek). Selebihnya ada banyak hal yang tidak terselesaikan dengan baik. Mudah sekali bagi orang membuat list mengenai apa yang telah ia hasilkan dan kerjakan, tapi, sulit pula untuk mengakui kesalahan-kesalahan yang sudah dilakukan. Seperti halnya jejak yang kita tinggalkan di atas pasir atau tanah. Mereka bisa terhapus dengan mudah. Tapi bagaimana jika jejak itu ditinggalkan pada batu? Bahkan para sejarawan dan arkeolog menjadikannya sebagai sesuatu yang bernilai sejarah jika itu merupakan jejak peristiwa penting di masa lalu. Jejak apa yang sudah kita tinggalkan di batu? Kebaikan atau keburukan?
Tahun 2013 saya berharap ini akan menjadi tahun persiapan dan penggemblengan sebelum saya melangkah ke tempat-tempat jauh di tahun 2014. Perjalanan ke tempat seluruh umat muslim merindukannya dan perjalanan ke tempat sebagian besar mahasiswa ingin belajar di sana. Sudah dicukupkan sampai di sini saja, masa-masa kekanak-kanakan. Sudah saatnya berpikir dewasa. Dewasa berarti bertindak berdasarkan benar dan tidak benar, bukan berdasarkan keinginan. Tahun ini akan menjadi tahun pengabdian, tahun penggemblengan, tahun penempaan, tahun penuh kesabaran.
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al Hasyr: 18)
http://bobommz.blogspot.com/2011/11/aar-cer-cerpen-11-perjalanan-yang.html