Selasa, 21 Februari 2012

Deck 6

Dengan barang-barang di punggung, kami berlima melangkah terburu-buru menuju tangga KM. Leuser yang melabuh di dermaga Tj.Priok tengah malam itu. Tangan kanan kami satu per satu menunjukkan tiket masuk kepada pemeriksa tiket di bawah tangga.
“Hati-hati, tangganya agak goyang!” Dani yang menjadi pemimpin perjalanan kami dengan kapal ini memperingatkan.
Dengan nafas kepayahan karena beban di punggung dan udara malam, aku menaiki satu per satu anak tangga hingga pemandangan dalam kapal itu terlihat dari mata kepalaku sendiri. Orang-orang di dalam kapal sudah sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Beberapa masih mencoba menjejalkan berkarung-karung bawaan mereka ke dalam ruangan kapal, beberapa mencari-cari tempat peristirahatan yang nyaman dengan mata menyapu seluruh ruangan kapal. Kami turun ke lantai dasar untuk mencari tempat tidur. Bau pengap mulai menyeruak ke wajah. Sepanjang kami menyapu pandangan ke tempat tidur kayu yang berjejeran di ruangan remang-remang itu telah dipenuhi dengan orang-orang melayu dan hokian yang tidur, main catur, main kartu, makan, kerokan, dan aktifitas santai lainnya yang membuat suasana menjadi semakin pengap dan padat.
“Udah penuh, Dan. Kita ke atas aja deh. Pengap banget di sini.” Mita yang merupakan satu-satunya teman perjalananku yang perempuan pun protes.
Akhirnya kami naik lagi ke atas dan atasnya lagi hingga kami menemukan deck 6 yang tanpa ruangan. Seorang bapak menghampiri kami yang tampak celingukan.
“Di dalam penuh dik, mending di sini aja. Pake alas ini. Nanti bayarnya gampang.” Bapak itu langsung menggelar karung plastik putih yang disulap menjadi alas di emperan deck 6.
Akhirnya karena sudah merasa lelah berkeliling kapal, kami pasrah menerima tawaran bapak itu. Barang-barang pun kami jatuhkan di emperan deck yang langsung berhadapan dengan tangga ke ruang bawah dan mendapatkan angin segar dari pintu keluar yang berada di kiri dan kanan deck 6. Dengan sedikit enggan, aku duduk bersandar di dinding yang kotor depan tangga sambil memeluk tas ransel. Sementara teman-teman memeriksa seisi emperan deck dan sebagian berjalan-jalan ke luar. Aku dan Mita pasrah duduk di emperan itu, termangu dan letih setelah hampir satu hari menunggu dalam ketidakpastian kapan kapal akhirnya berangkat.
Wah, ternyata kami cukup beruntung mendapatkan tempat ini lebih dulu karena tidak lama setelah itu orang-orang masih bingung mencari tempat singgah untuk mereka di bagian kapal ini. Kemudian seorang bapak yang menggendong anak perempuannya yang berumur kira-kira 4 tahun menyusul kami di emperan deck 6 itu. Bapak itu tampak tua dan letih dengan pakaian yang sangat sederhana. Sementara anaknya menggelayut di lengannya sambil mengusap ingus di hidung yang sudah belepotan di pipinya. Anak itu tampak takut dan sedih. Mereka tidak berucap apa-apa dan langsung duduk diam di samping kananku. Aku mencoba tersenyum pada anak itu tapi ia membalasnya dengan tatapan takut. Akhirnya aku menyerah untuk menghiburnya dan beranjak dari duduk untuk berkeliling deck 6 yang berukuran 8x1,5 meter itu.




Akhirnya aku berhenti di depan sebuah pintu yang ditempeli gambar Spiderman hitam berpose di atas gedung tinggi sambil menjentikkan jemarinya yang mengeluarkan benang jaring laba-labanya. Di atasnya tulisan “Theater Film KM.LEUSER” ditempel dengan solasi seadanya. Kemudian mataku tergoda pada tulisan di samping kanannya yang ditulis tangan dengan pulpen: DILARANG MENEMPATI DEPAN THEATER FILM. Samping kirinya ada kertas karton kosong yang ditempel dengan solasi bening seadanya, di atasnya ditulis: “FILM HARI INI”.
Nampaknya ini sedikit menghiburku karena membuatku terkekeh geli.
“Eh, lihat deh, ternyata ada teaternya to di sini. Wuih, beruntung sekali kita. Hehehe...”
Kulihat teman-temanku akhirnya beranjak dari tempatnya masing-masing penuh minat.
“Bayar gak nih? Film apa ya yang diputer?”
“Weh, keren juga nih kapal. Udah kayak bioskop aja. Hahaha...”
“Halah, paling filmnya yang nggak mutu.”
“Masa sih, lha wong ini gambarnya ada Spiderman, Harry Potter, Transformer. Keren nu...”
Satu per satu mereka mengeluarkan komentar spekulasinya. Tapi ini akhirnya bisa membuka percakapan di antara kami yang sudah berwajah kuyu hingga tak terasa akhirnya subuh menjelang.
***
Di luar sepertinya gerimis. Kami tidur setelah berjuang melaksanakan shalat subuh sambil terhuyung-huyung karena gelombang laut. Rasanya lega sekali akhirnya bisa merebahkan tubuh di emperan deck 6 dengan beralaskan karung plastik seadanya. Ah, memang sudah lama aku mengimpikan bisa naik kapal pesiar seperti di film Titanic dan akhirnya aku mengalami pengalaman pertama naik kapal pesiar meskipun ngemper seperti ini. Hahaha...anggap saja kami sedang berada di kapal sekelas Titanic.
Pagi itu kami terbangun oleh suara Dani yang mengabarkan keadaan di luar.
“Eh, mau lihat pelangi di tengah laut nggak?”
Sontak aku bangun dan mengambil kamera sakuku di tas kecil kemudian bergegas ke luar. Luhung ternyata sudah duduk termangu di luar menatap pemandangan indah di hamparan laut lepas. Mita menyusulku di belakang sementara Reki masih tertidur dengan tenang.
“Wah, keren! Kok bisa sih di tengah-tengah gitu?” aku pun beraksi dengan kamera merahku. Seutas senyum menyembul di balik wajah kami yang diterpa angin laut bercampur butiran-butiran lembut air laut.
“Eh, udah waktunya sarapan nih. Kumpulin tiket sarapan gih, biar nanti aku sama Luhung yang ngambilin” sang ketua perjalanan tiba-tiba muncul dari dalam.
“Emang disediain sarapan ya? Wah, tambah keren aja nih kapal.” sentilku.

bersambung...
(hehe tunggu ya...)

Senin, 13 Februari 2012

Negeri di Awan

Sore itu adalah sore yang biasa, namun sekejap menjadi luar biasa dengan pengalaman kami mendaki ke negeri di awan itu. Antara tebing, lereng gunung, jurang, dan sejuta pemandangan indah lain memantul di mata kami yang sudah letih dan kedinginan. Basmalah, takbir, tasbih selalu menghiasi perjalanan kami. Pendakian itu bukanlah pendakian seperti biasanya, tapi kali ini penuh makna. Kami akan menuju sebuah negeri di mana senyum hangat para warganya mampu mengalahkan dinginnya udara di sana. Kami menuju sebuah negeri di mana kita bisa melihat lukisan tanpa kuas Sang Pencipta Yang Maha Indah. Kami menuju sebuah negeri di mana para anak memiliki semangat yang tinggi untuk belajar agama. Kami menuju sebuah negeri di mana mereka harus menempuh perjalanan puluhan kilo dengan jalanan yang terjal untuk dapat mengecap pendidikan SMA. Kami menuju sebuah negeri di mana orang-orang hidup dan menghidupi di tepi-tepi jurang dan lereng-lereng pegunungan.
Ya, negeri itu berada di antara dua gunung yang indah, Merapi dan Merbabu.
Malam itu kedatangan kami disambut dengan nyanyian anak-anak di masjid, "saat langit berwarna merah saga, dan kerikil perkasa berlarian, meluncur laksana puluhan peluru, terbang bersama teriakan takbir. semua menjadi saksi atas langkah keberanianmu, kita juga menjadi saksi atas keteguhanmu..."
juga lantunan manis QS. An Naba dari seorang gadis kecil bernama Nurul.
Bagaikan kaum Muhajirin yang disambut oleh kaum Anshar, malam itu membuatku trenyuh dengan semua orang yang ada di sana.
Anak-anak gunung itu jika ditanya ingin menjadi apa kelak, mereka akan menjawab: ingin menjadi ustad/ustadzah karena mereka pintar dan berwawasan luas.
Anak-anak gunung itu mampu mengalahkan rasa malas karena hawa dingin untuk berangkat ke masjid setiap masuk waktu shalat wajib.
Anak-anak gunung itu selalu tersenyum malu pada kami saat kami memandang wajah-wajah teduh mereka.
Hari ini saya sudah kembali ke Jogja. Setiap saya melihat ke arah Merapi, saya selalu teringat dengan mereka. Di balik Gunung Merapi ini ada sebuah negeri yang cantik, Negeri di Awan.
Terima kasih untuk tiga hari yang tak terlupakan ini, ya Allah. Terima kasih atas kesempatan menemukan mereka dan berbagi dengan mereka. Terima kasih.

Salam rindu dari Jogja,
13 Februari 2012

backsound: Priska-Negeri di Awan

kau mainkan untukku sebuah lagu tentang negeri di awan,
di mana kedamaian menjadi istananya dan kini telah kau bawa aku menuju ke sana...

Rabu, 01 Februari 2012

S.O.S

Strawberry On the Shortcake (S.O.S). Haik, ini adalah sebuah judul dorama yang habis saya tonton. Hobi baru, nonton film-film lama. Tapi saya tidak sedang ingin membicarakan hobi baru saya ataupun film itu. Tapi tentang “strawberry on the shortcake”.
Saya tidak begitu terkesan dengan ceritanya, tapi saya terkesan dengan filosofi yang digambarkan dari judulnya. Ketika sedang makan kue dengan strawberry di atasnya, mana yang akan Anda makan duluan? Strawberinya atau kuenya?
Sama seperti ketika kita makan yang lain; kue dengan buah cherry di atasnya atau makanan dengan hiasan yang kita sukai dan paling ingin kita makan di antara bagian makanan yang lain yang sedang dihidangkan di depan kita.
Apakah kita tipe orang yang makan kuenya dulu atau strawberinya dulu? Apakah kita akan makan sesuatu yang paling kita sukai dulu atau kita memakan sesuatu yang kita sukai paling akhir?
Saya tidak terlalu mengerti tentang ini, tapi ini menarik. Saya tipe yang akan makan strawberinya terakhir setelah saya menghabiskan kue itu karena saya ingin menikmati strawberi itu setelah saya berjuang menghabiskan kuenya. Saya lebih merasa puas dengan sesuatu yang dicapai dengan susah payah, bukan dengan cuma-cuma. Saya harus melakukan tanggungjawab untuk menghabiskan kue itu baru saya akan mendapatkan hak dari strawberi yang istimewa itu. Dia istimewa karena berbeda. Kalau dari film itu, tipe ini adalah mereka yang lebih memilih untuk menyisihkan kebahagiaan dirinya sendiri untuk kebahagiaan orang lain yang kita cintai. Dia lebih memilih mundur untuk orang yang ia cintai. Tipe ini lebih memilih untuk terluka sekarang daripada terluka nanti. Tipe antisipatif. Apakah dia suka menabung? Hahaha, entahlah…karena tabungan saya sendiri semakin menipis. Yosh! Saya ingin strawberi yang saya dapatkan di akhir nanti bisa mengobati kelelahan saya dalam makan kue itu.
Ah, tapi ini hanya based on film. Oya, tapi dia selalu punya risiko dia tidak dapat memakan strawberi itu pada akhirnya karena orang lain telah mengambilnya terlebih dahulu. Dia kalah start. Inilah risiko terbesar para pemakan strawberi paling akhir akhir. Dia akan kecewa berat karena tidak bisa menikmati strawberi itu. Dia ngamuk, marah berat, aaaa…mengapa ada orang lain mengambil strawberinya? Mungkin orang lain itu tidak tahu kalau dia menyukai strawberi itu karena dia menyisihkannya, makanya dia makan. Yap, seakan-akan dia tidak menyukai strawberi itu padahal dia sangat menginginkannya. Ada pula yang akhirnya merelakan strawberi itu untuk dimakan orang lain karena orang lain itu memintanya. “Hey, kamu tidak suka strawberi itu ya? Kalau begitu boleh aku saja yang memakannya?”
“Oh, sebenarnya aku menyisihkannya untuk kumakan terakhir. Tapi kalau kamu menginginkannya, silakan.”
Wah, tipe ini malaikat sekali… tipe penyabar. Jadi ingat iklan pulpy orange. Mungkin orang yang memakan strawberi itu tipe oportunis. “salahnya sendiri tidak langsung dimakan” mungkin begitu pikirnya.
Untuk tipe yang ngambil strawberinya duluan, dia adalah tipe pejuang dan suka dengan kompetisi. Mereka akan berusaha menjadi yang pertama sebelum orang lain mendapatkannya. Jika dihubungkan dengan ekonomi mungkin tipe ini adalah tipe borrower yang persinggungan antara Budget Line dengan indifferennya ada di bagian kiri bawah titik endowment point. Ini dalam konteks teori konsumsi antar periode di mana seseorang diandaikan memiliki pendapatan dan konsumsi dalam dua periode. Apakah dia akan mengkonsumsi lebih banyak di periode pertama dan lebih sedikit di periode kedua atau sama kedua-duanya? Mereka yang mengkonsumsi lebih banyak di periode pertama berarti akan melakukan pinjaman untuk memenuhi konsumsinya di periode pertama dan membayarkannya di periode kedua sehingga di periode kedua dia mengkonsumsi lebih sedikit. Sedangkan mereka yang mengkonsumsi lebih sedikit di periode kedua adalah tipe saver. Mereka mengorbankan konsumsi masa skarang untuk masa mendatang. Nah inilah tipe yang makan strawberinya di akhir tadi.
So, tipe mana Anda? Hahaha…tulisan ini tidak terlalu kredibel, jadi jangan terlalu percaya. Ini hanyalah sedikit pemikiran yang tiba-tiba melayang di otak saya setelah menonton film tersebut yang pada endingnya ternyata kedua tipe tersebut akan bersatu dan saling melengkapi. Borrower tidak bisa hidup tanpa saver, begitu juga seorang saver butuh borrower untuk meningkatkan nilai investasi mereka.

Bali yang Terpotong (sebuah awalan)


Sore itu, sore yang sangat cerah menyambut saya di tanah Kaulan. Kaulan merupakan nama lain dari Pulau Belitung yang dahulunya merupakan sebuah kerajaan. Kerajaan ini bernama Kerajaan Balok yang merupakan afilisasi dari Kerajaan Mataram Kuno.
Asal nama Belitung konon diambil dari Pulau Bali yang terpotong. Menurut cerita rakyat, dahulu pada saat daratan Indo-Asia dan Indo-Australia masih menyatu, Pulau Bali dengan Pulau Belitung masih menjadi satu daratan. Karena pergeseran lempeng bumi, lambat laun pulau yang bersatu tersebut terpecah dan saling menjauhi. Yang pada akhirnya potongan itu sampai pada posisi di mana Pulau Belitung sekarang berada.
Sebelum pengaruh Islam masuk ke Belitung, dulunya penduduk Pulau Belitung merupakan masyarakat Hindu dengan Kerajaan Balok yang masih menganut ajaran Hindu, baru kemudian setelah masa pemerintahan Datuk Mayang Gresik atau lebih akrab dipanggil dengan Ki Ronggo Udo, kerajaan tersebut menjadi kerajaan Islam.
Sebelumnya memang banyak ditemui peninggalan-peninggalan kebudayaan yang mirip dengan kebudayaan Bali yang mengindikasikan bahwa dahulunya masyarakat Belitung memang masyarakat Hindu. Baru kemudian setelah pengaruh Islam masuk ke pulau tersebut, kebudayaan Hindu berangsur punah hingga saat ini masyarakat Belitung lebih dikenal dengan masyarakat Melayu Islam.
Mungkin karena alasan sejarah inilah di PulaU Belitung dibentuk desa yang kental dengan budaya masyarakat Bali. Desa ini merupakan desa yang dibentuk dari proses transmigrasi bedol di desa dari Bali ke Belitung sehingga desa ini disebut dengan Desa Balitong atau masyarakat setempat kadang menyebutnya dengan Trans-Bali. Desa itu kini masih kental dengan nuansa Balinya. Begitu kita masuk, kita akan merasakan seperti berada di Pulau Dewata. Bangunan-bangunan pura, sesajen, dan lain-lain yang mencirikan masyarakat Bali yang khas. Tradisi-tradisi mereka pun masih tetap terjaga, seperti Kuningan, dan tradisi khas Bali lainnya. Tak heran jika desa ini oleh pemerintah kabupaten dijadikan sebagai salah satu desa wisata yang menjadi daya tarik pariwisata di Pulau Belitung.
Ya, sore itu saya akhirnya bisa menginjakkan kaki lagi di pulau cantik ini setelah kurang lebih 45 menit perjalanan dengan Batavia airlines dari Bandara Soekarno-Hatta didampingi dengan seorang bapak-bapak yang menjadi teman cerita saya sepanjang perjalanan. Ia adalah orang asli Belitung yang "menginterogasi" saya seputar buku yang sedang saya baca di perjalanan dan tujuan perjalanan saya ke Belitung. Novel Yin Galema karya Ian Sanchin menjadi teman perjalanan saya mengenal bumi Belitung ini. Novel inilah yang kemudian menginspirasi saya untuk bisa menulis novel sejarah yang sedang saya riset dan belum saya mulai. (-_-')
Pukul 16.15 Bandara  HAS Hanandjoeddin telah ramai dengan para penunggu koper dan barang kiriman. Mereka berebut tempat untuk segera mendapatkan barang kiriman. Bapak-bapak dengan tampang sangar dan berseragam segera membelakangi saya yang dengan kalemnya menatap pemandangan serba ruwet tersebut. Ah, biarlah...saya nunggu belakangan aja daripada berebut (orang Jogja banget). Saya sendiri masih was-was karena sampai sekarang belum ada kabar apa-apa dari teman-teman yang menjemput di bandara.
Setelah menunggu cukup lama akhirnya saya dapatkan koper saya! fyuh...
Di seberang kaca sudah ada bapak-bapak berseragam travel agent yang memegang papan dengan nama "Ms Wulandari". Apa? Nama saya bukan Wulandari. Itu nama teman saya yang datang juga hari ini dari Jakarta tapi sudah duluan. Apa Bapak ini salah? Saya segera mendatangi bapak itu.
"Pak, saya Wulan, tapi bukan Wulandari. Sama-sama mahasiswa KKN."
"Oh, mobilnya ada di sebelah sana mbak, mari kopernya saya bawakan."
Mobil kijang itupun akhirnya membawa kami meninggalkan bandara. Di sepanjang perjalanan bapak itu bercerita tentang Belitung dan sedikit mengajarkan saya beberapa kosakata bahasa daerah. Kebetulan waktu itu kami melewati jalan shortcut dari bandara menuju Kecamatan Sijuk yang dibuat oleh Tommy Soeharto yang juga memiliki salah satu penginapan mewah di Kecamatan Sijuk. Di sepanjang jalan tersebut saya menyaksikan berhektar-hektar perkebunan kelapa sawit milik PT..... Kondisi jalannya pun sudah rusak parah dan bergelombang karena setiap hari dilalui oleh truk-truk yang mengangkut hasil panen. Tidak jarang pula di tengah dan tepi badan jalan kami menjumpai biawak yang telah mati karena terlindas kendaraan. Lebih tepatnya saat itu kami seperti sedang offroad di sebuah sungai kering yang lebar. :P
Sampai di Desa Sungai Padang teman-teman sudah menunggu di depan pondokan. Inilah seutas senyum sambutan kali pertama kami di desa ini untuk kemudian selama dua bulan kami mengabdi. Masa-masa yang di kemudian hari akan sangat kami rindukan. Dan perjalanan pengabdian itupun dimulai.