Sabtu, 28 April 2012

Economist and Physician (from old blog entry)



Sejak saya benar-benar tahu bahwa ternyata saya memiliki asma beberapa waktu lalu dari seorang dokter, saya jadi tertarik untuk mendalami tentang dunia kesehatan, apalagi di hari-hari saat saya harus menghirup nafas dalam-dalam karena asma kemarin saya sedang mengerjakan replikasi jurnal yang bertemakan kesehatan yang ditulis oleh Paul Getler berjudul “Insuring Consumption Against Illness”. Hal ini didukung lagi dengan semakin seringnya saya berpapasan dengan orang yang mengendarai motor dengan jas putih khasnya serta pembicaraan-pembicaraan di kelas yang beberapa menyinggung sedikit tentang kesehatan.
Dan sampailah saya pada update-update status facebook yang berhubungan dengan profesi dokter. Saya jadi tertarik untuk menguak apa sih bedanya ekonom dengan dokter?
Saat kelas Pengantar Ekonomi dulu, yang saya pahami cara berpikir seorang ekonom adalah bagaimana kita melihat segala kemungkinan yang ada dari berbagai perspektif. Tentu kita tetap melihat masih dalam framework ekonomi. Baik di satu sisi belum tentu baik di sisi lain. Kalau di kelas SPE saya lebih memahaminya sebagai second-best theory. Apapun kebijakan yang direkomendasikan oleh seorang ekonom merupakan alternative yang second-best, bukan first best. Inilah yang mengajarkan para ekonom agar tidak sombong. Sedangkan seorang dokter juga demikian. Mereka tidak serta merta melakukan vonis kamu menderita penyakit tertentu atau kamu akan mati dalam beberapa hari lagi. Melainkan mereka mengkaji gejala-gejala yang paling mendekati dengan cirri-ciri penyakit tertentu untuk kemudian memutuskan kebijakan yaitu obat apa yang paling sesuai dengan si pasien.
Seorang ekonom mencoba untuk mengobati perekonomian dengan menganalisis gejala-gejala dan kebijakan apa yang kira-kira paling sesuai. Nah, mereka berdua nih pakai yang namanya kira-kira. Ya begitulah. Namanya juga gak ada yang pasti. ^^V
“Our profession, after all, deals partly with guess work; we do not deal in absolutes.” - Paul Beeson, M.D.
So, apakah kedokteran ilmu eksak? Mmm…once again, I GUESS…no. Karena mereka tidak hanya berhadapan dengan rumus-rumus, atau angka-angka (paling angka di tensi meter, atau apalah…grafik juga lho…haha..ngaco) melainkan juga berhadapan dengan society.
Eaaa…perasaan tadi tulisannya mau dibikin agak serius kok jadi nglantur gini. (efek ketika menulis dengan ide di otak dan di tengah-tengah kita kasih jeda buat makan, tidur2 ayam, dan shalat). Ehm, lanjut!
Ah, iya, inget. Saya mendapatkan penjelasan dari teman yang berkuliah di Pendidikan Kedokteran, bahwa menjadi seorang dokter itu sekarang tidak hanya bagaimana mereka mengobati pasien saja, melainkan juga menjelaskan atau memberikan pengertian yang benar kepada pasien. Nah, cara mengkomunikasikan inilah yang membutuhkan seni. Jangan sampai si pasien malah tambah shock karena mendapat penjelasan yang tidak dia mengerti atau malah jadi tambah sakit. Begitu juga dengan ekonom. Ekonom membutuhkan seni bagaimana mengkomunikasikan hasil kajiannya kepada berbagai pihak (pemerintah, masyarakat, dll) dengan cara yang berbeda-beda. Gak mungkin kan kita ngemeng sama pak tani di desa dengan kurva-kurva dan perdebatan teori-teori. Maunya si pasien adalah hidup lebih baik, lebih sehat. Pasiennya ekonom kan bisa banyak orang dalam sekali praktek. Efeknya multiplier. Kalo dokter hanya menghadapi individu-individu yang berbeda. Nah, ini ni yang mau  kita bahas.
PASIEN
Kita sudah tahu bahwa pasiennya ekonom sama dokter beda tuh. Ya iya lah. Kerjaan ekonom kan pasiennya bisa ribuan orang, puluhan perusahaan, yang semuanya saling kait-mengkait, jadinya kompleks gitu. So, kita butuh simplifikasi. Makanya kita pakai yang namanya model. Dari model itu berbagai asumsi dibangun. Dari asumsi yang realistis sampai yang paling di awing-awang. Kita Cuma focus pada variabel atau target tertentu dan nantinya saat pengambilan kebijakan baru mempertimbangkan variabel-variabel lain.
Dokter? Hampir sama. Tentu saja mereka melakukan kajian tentang berbagai penyakit. Biasanya mereka kebanyakan berangkat dari case study yang kemudian di-build jadi teori. Dan dalam implementasi kebijakan (memilih obat yang sesuai), mereka juga mempertimbangkan karakteristik dan riwayat masing-masing individu. Bisa jadi satu gejala penyakit yang sama membutuhkan penanganan yang berbeda. Ekonom juga begitu, seharusnya. Habisnya kita terlalu banyak asumsi sih. Jadinya ekonom cenderung untuk terlalu mudah melakukan “agregasi” (saya lupa satu kosakata untuk mengungkapkan ini). Ekonom seharusnya berpikir dengan berbagai kemungkinan dan mempertimbangkan karakteristik individu, entitas, dan negara itu berbeda-beda.
Nah, di sini perbedaan antara sang dokter dengan sang ekonom:
Dokter mengobati secara individual, ekonom mengobati individual secara global. Itulah mengapa ekonom lebih banyak dididik untuk berpikir lebih dan prakteknya secara individu ataupun komunal sangat sedikit diajarkan. Dokter dididik lebih banyak ke praktek.
So, how economist (dalam hal ini masih calon_secara masih mahasiswa cupu) can practice as physicians do?
Kita butuh untuk: read more, see more, feel more, think more, research more, studying more, write more, baru bisa ke kebijakan. Kebijakan apa yang bisa diambil? Paling kecil adalah dalam menerapkan kehidupan sehari-hari sebagai individu, rumah tangga, kelompok masyarakat, atau perusahaan. Baru kalau kita sudah dalam lingkup pemegang otoritas kebijakan suatu negara bahkan dunia, kita baru akan benar-benar menerapkannya. Itu saja harus melibatkan banyak orang, dari mulai yang melakukan penelitian, formulasi kebijakan, pembuat undang-undang, penentuan pengelola, menurunkannya menjadi program, proyek, hingga tetek bengek yang begitu banyaknya untuk bisa kena sasaran akhir. Proses yang panjang dan melelahkan. Itulah yang membedakan ekonom dengan dokter. Dokter bisa melakukan itu semua dalam waktu beberapa menit saja. Mendengarkan dan memeriksa keluhan pasien, mencernanya di otak kira-kira dia sakit apa, trus baru milih obat, langsung tuh dikasih ke pasien obatnya. Meskipun kadang mereka juga butuh waktu yang lebih sih, untuk kasus-kasus tertentu seperti merawat. Yah, itu juga tugasnya perawat. Ah, gak begitu tahu tentang tetek bengek rumah sakit. ^^V
Inilah yang membedakan mereka. Waktu pengimplementasian kebijakan. Ekonom membutuhkan waktu yang panjang sehingga lambaaaat banget, tapi sekali berhasil impact-nya besar banget secara global (aggregate). Kalau dokter mereka lebih bisa cepat dalam pengimplementasian kebijakan kepada target (pasien). Hingga ketika kebijakan itu berhasil, impact-nya akan besar secara individu.
To the world, you might be someone. To someone, you might be the world.
Itulah mengapa ekonom lebih banyak dibenci, dipukuli (gak gitu2 juga sih, konotatif maksudnya) bahkan dijatuhkan, daripada dokter yang lebih banyak disanjung, bahkan dicintai. Ehm…:P
Is it the economist curse? Wallahu’alam. ^^V
Hipotesis sementara: “The difference between economist and physician is about the time.”

Special thanks to: a doctor in the early morning in that day. :P
I learned it from you:
“Some patients, though conscious that their condition is perilous, recover their health simply through their contentment with the goodness of the physician. - Hippocrates 460-400 B.C.”
Begitu juga seharusnya dengan para ekonom. Seharusnya mereka benar-benar murni menunjukkan kebaikan itu kepada masyarakat sebagai pasien mereka. Bukan kepada partai atau kelompok tertentu.

Tentang Dia

Tidak sengaja saya masih menemukan arsip tulisan ini di komputer lama. Nukilan ini saya ambil dari sebuah buku sejarah yang entah siapa pengarangnya. Buku itu saya temukan di perpustakaan kecil Sekolah Angkasa dekat Adisucipto saat saya SMA dulu ketika menemani seorang kakak yang mencari bahan untuk penelitian. Saya sangat bersyukur menemukan buku itu meskipun tidak sempat saya baca secara penuh, tapi saya sempat menuliskan kata-kata ini dan yang paling saya ingat dari cerita tentang beliau adalah ketika dalam sebuah ekspedisi bersama para muridnya dalam kegelapan subuh. Di sebuah desa tampak para ibu berjalan menelusuri kegelapan menuju masjid. Keteguhan dan kebersahajaan. Itulah mengapa Jenderal Sudirman adalah salah satu tokoh pahlawan yang saya kagumi.

Amalkan Janji dan Tekad

Di dalam kita menghadapi ujian yang sedasyat seperti sekarang ini. Kita tak boleh bimbang-bimbang, tidak boleh was-was. Kita percaya kepada kekuatan lahir dan batin kita. Dengan segala kekuatan yang nyata, dengan cara yang sesuai dengan kekuatan serta keadaan alam di bumi Indonesia mewujudkan sesuatu senyawa yang amat kuat. Senjata amat tajam, untuk menjalankan pertahanan dan pertempuran senjata apapun jua. Percaya dan yakin, alat yang ada pada kita, untuk melakukan pertempuran secara apapun juga dan secara besar-besaran.
Hanya ada satu syarat yang perlu sekali dipenuhi oleh rakyat seluruhnya, ialah kita masing-masing harus insaf dan ikhlas meninggalkan harta benda kita, gedung-gedung kita, dan anak istri kita.
(dari Jendral Sudirman)

_pindahan dari blog lama_

Jumat, 13 April 2012

Suatu Malam

"Jangkrik! Jangkrik!" 
"Hmm, Hmm, Hmm, Hmm"
Bunyi bonang, demung, saron, kenong, dan perangkat gamelan lain kemudian bersahut-sahutan dengan nyaring. Sesaat kemudian tiba-tiba mereka hening bersamaan.
"Layoong....layooong...." dengan lantang seorang laki-laki menembang secara solo.
Malam itu aku duduk sendirian di tempat duduk penonton deretan ketiga dari depan. Aku melihat penonton di seberang barisan tempat duduk sedang asyik menyimak bersama keluarga dan temannya. Dalam hati aku hanya tersenyum pahit pada diriku sendiri. Dasar jangkrik, seorang gadis keluyuran sendirian di malam hari hanya untuk menonton pertunjukkan karawitan yang tempatnya cukup jauh dari rumahnya. 
Sementara itu hatiku terus berdebar-debar mencemaskan bagaimana nanti jadinya ketika pulang sendirian di malam hari yang dingin dengan sepeda motor. Waktu sudah menunjukkan jam 21.30. Sampai di rumah bisa jam 22.30. Duh Gusti, maafkanlah aku yang nekat ini...
Setelah MC memberikan selamat malam, para penonton pun berhamburan ke luar gedung. Di luar telah disajikan berbagai macam jajanan pasar oleh panitia. Aku hanya melewatinya sambil tersenyum kepada para panitia yang menjaga deretan makanan yang disajikan. Aku bergegas menuju parkiran dan membawa kabur motor bututku mengarungi suasana malam yang sepi di sudut kota Yogyakarta. 
Untuk mencapai rumah, motorku harus melewati gang gelap dan kumuh di salah satu sudut dekat Pasar Beringharjo. Saat itu anak-anak punk sedang berkumpul di emperan toko. Ternyata mereka sedang membuat pola gambar graffity di tembok-tembok kosong gang itu. Pilox warna-warni seketika menghiasi tembok-tembok usang itu dengan gambar yang apik.
Di ujung gang yang lain aku melewati seorang bapak yang sedang memaki-maki seorang bapak yang lainnya. Kata-kata dari kebun binatang sekilas terdengar lantang di telingaku saat aku melewati mereka. Di samping mereka ada sebuah mobil merah tua diparkir di depan toko kelontong yang sudah tutup. Sudut gang yang gelap itu berubah menjadi pandangan yang mencekam di hadapanku. Kupacu gas lebih kencang.
Hatiku sedikit lega ketika motorku akhirnya telah memasuki area jalan raya. Mobil dan motor mulai ramai saling mendahului.
*** 
Hahaha...itu sepenggal kisah fiksi dari perjuangan mendapatkan rekaman tembang karawitan karya R.C.Hardjosubroto sang maestro karawitan Jogja. Sebenarnya saya ingin meneruskan ceritanya menjadi sebuah cerpen, tapi tiba-tiba ide mentok berhenti sampai di situ. Ya sudahlah, saya cerita tentang tembangnya saja ya.
Petikan tembang dalam cerita di atas merupakan salah satu favorit saya selama ini. Tembang ini pula yang sehari-hari menemani aktivitas saya di depan layar komputer. Saya tidak tahu yang ini judulnya apa. Hahaha
Hmm, mungkin Anda tidak tahu siapa itu R.C.Harjosubroto? Anda tahu lagu dolanan yang sering kita nyanyikan sewaktu SD dulu, "Gundul-Gundul Pacul"? Ya, beliaulah pencipta lagu tersebut. Lagu dolanan yang selama ini kita kenal sebagai lagu rakyat karena tidak diketahui siapa pengarangnya.
Hmm, saya bukanlah orang yang ahli dalam pengetahuan tentang hal-hal ini. Saya tidak tahu apa-apa tentang karawitan, tentang gamelan. Saya hanya penikmat saja. Sejak kecil ayah gemar menyetelkan lagu uyon-uyon untuk para tamu di rumah makan, sehingga mau tidak mau telinga ini terasa akrab dengannya.
Karya R.C. Hardjosubroto lain yang selalu membuatku tersenyum adalah Fragmen Nangka Rungkat. Tembang ini mengisahkan dialog di masyarakat ketika sebuah pohon nangka rubuh. Mereka bergotong royong untuk membereskannya. Sebenarnya ada juga tembang karawitan karya beliau yang dikemas dengan nuansa jenaka dan berBAHASA INDONESIA! Di telinga mungkin akan terasa aneh mendengar tembang karawitan Jawa dengan BAHASA INDONESIA. Tapi Anda akan tersenyum geli mendengar syairnya. Judulnya adalah Rumahku. 
"Anda ingin tahu dimana rumahku?...."
Itu petikan lirik pembukanya. Selanjutnya dengarkan sendiri hingga akhir.
Beliau pula yang menciptakan tembang dengan salah satu petikan syairnya, "Kuwi apa kuwi, kembange melati. Sing tak puja-puji, aja dho korupsi..."
Kalau tidak salah judulnya Aja Ngona-Ngono Kuwi apa ya...? Lupa saya...Tapi yang jelas tembang ini mungkin sudah begitu akrab di telinga masyarakat Jogja. Tembang ini berusaha menjadi nasehat bagi para pemimpin untuk tidak melakukan korupsi. Iya tetap menggunakan kata "aja" (artinya jangan) untuk mendidik masyarakat yang mendengarkan lagu ini. Selama ini pendidikan gaya barat selalu berusaha untuk menghindari kata "jangan". Saya tidak tahu alasannya. Tapi di Alquran pun dituliskan "LA" saat mengisahkan bagaimana Imran mendidik anaknya untuk TIDAK menyekutukan Allah, yang di ayat selanjutnya Imran memberikan penjelasan, "Sesungguhnya menyekutukan Allah adalah kezaliman yang besar."
Tidak semua kalimat larangan itu bisa menghindarkan dirinya dari kata "jangan" atau "tidak boleh". Bahkan perkembangan ilmu psikologi anak yang baru-baru ini saya dengar justru malah menganjurkan untuk menggunakan kata "jangan" itu di akhir kalimat. Anak cenderung mendengarkan kata-kata bagian akhir. Sekarang coba deh, bagaimana dengan kalimat larangan untuk merokok? 
Coba bandingkan:
"Jangan merokok di ruang publik!"
"Merokoklah pada tempatnya!"
"Jangan merokok! Merokok itu ...bla bla bla."
"Merokok dapat menyebabkan ... bla bla bla."

Ah, pusinglah saya membahas ini. Saya kan sedang membahas tembang.
"Kae... lho, kae... lho." (petikan tembang Persatuan Pembangunan)

Yogyakarta, 13 Februari 2012