Rabu, 20 Mei 2020

Why I concern about this

Ada banyak alasan untuk bicara tentang hal ini. Sepertinya saya mulai menemukan kepingan-kepingan puzzle dari perjalanan hidup sejauh ini. Dari saya pindah haluan ke studi ilmu ekonomi, kemudian tertarik pada isu-isu pengentasan kemiskinan hingga melihat sendiri proses di dapur kebijakan negara ini dan melihat sendiri kondisi di lapangan saat berkunjung ke slum-area di daerah Jakarta Utara. Mendengar langsung dari para aktivis yang memperjuangkan hak-hak para transgender di bilangan Jakarta. Pada titik ini Jakarta dalam episode yang singkat itu telah memberi saya banyaak sekali hal yang berharga. Hingga kemudian saya diajak langsung menjadi pengeras suara teman-teman disabilitas di beberapa daerah di Indonesia. Dari perangkat desa di Mentawai, seorang Tio di pelosok Ciamis, seorang korban gempa bumi Jogja di Bantul, hingga semangat bapak ibu ODP di Klaten. Satu hal yang saya pelajari dari proses itu adalah bahwa setiap manusia memiliki kemampuan untuk berkontribusi di society mereka secara meaningful. Terlepas apapun hambatan yang mereka miliki, adalah kewajiban semua pihak untuk menghilangkan hambatan-hambatan dari setiap individu untuk menjadi bermakna. Everyone counts. Bahwa setiap orang diperhitungkan pendapatnya. Setiap orang punya pandangan yang dan perasaan yang berbeda-beda yang tidak bisa diwakilkan oleh orang lain.
Kemudian saya berhenti selama tiga tahun. Tiga tahun yang bagi saya sangat reflektif. Saya belum melihat big picture dari itu semua saat itu. Kemudian saya dihadapkan pada kenyataan yang ada di society. Bagaimana menjadi bagian dari society. Meski berat, tapi saya sangat berterima kasih sudah diijinkan merasakan langsung pengalaman ini, meskipun jika boleh memilih tentu saya tidak ingin mengalami hal ini. Iya, saya berada di kondisi di mana saya tidak lagi menjadi sosok yang menjadi aktor dari pembangunan, tapi saya merasakan sendiri bagaimana ketika kita menyumbang satu hitungan statistik "masalah pembangunan". Dan itu bukan hanya satu, tapi dobel. Saya pernah berada di titik terendah itu. Penyumbang masalah pembangunan. 
Itu adalah titik balik saya untuk mengejar semua ketertinggalan selama tiga tahun itu. Saya ingin berlari lebih cepat lagi, dimulai tahun 2019 kemarin. Alhamdulillah, Allah memberi kesempatan saya bersekolah lagi, meski dengan buru-buru hingga belum bisa ke sekolah tinggi di tempat yang saya inginkan. Tapi sebagai ancang-ancang, ini sudah lebih dari cukup. Saya melihat teman-teman dalam circle saya sudah ada yang di sana, di sini, di situ, cukup membuat saya ciut dengan diri sendiri. Apakah saya masih pantas dan mampu?
Saya bertemu lagi dengan guru-guru saya. Mendalami lagi tentang apa yang saya lakukan selama ini dan yang belum saya lakukan. Satu hal yang saya garisbawahi lagi tentang apa yang saya pelajari di sini mengenai gagasan tentang pembangunan dari Amartya Sen:
"Development as expanding freedoms equally for all people"
Ketika ada kesempatan yang tidak setara atau ada faktor-faktor yang membuat orang tidak bisa melakukan pilihan-pilihan, iya, itu seperti pencerabutan kebebasan individu mengenai bagaimana dia berlaku secara berarti dalam kehidupannya di masyarakatnya. Bagaimana jika seseorang menjadi hidupnya karena keterpaksaan dan tidak ada pilihan lain selain dengan cara itu dia menjalani kehidupannya? Apakah dia bahagia?
Begitu juga kasus di saya, ketika saya sebenarnya bisa saja mengambil keputusan lain yang tidak membawa saya ke episode tiga tahun itu. Tapi, apakah setiap orang memiliki informasi yang cukup tentang keputusan-keputusan yang mereka ambil? 
Jadi intinya, saya tidak ingin apa yang terjadi pada diri saya di masa lalu terjadi juga di orang lain. Cukup Siti Nurbaya kan ya. Hehe.
People made bad decisions. And we always learn.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar