Minggu, 03 Mei 2020

Conversations

Mumpung saya sedang mood nge-blog saya ingin sedikit meneruskan tentang obrolan dengan Bang Edo. Ya begitulah di tengah terjangan deadline ujian saja kadang mood ngeblog ini sekonyong-konyong seenaknya datang. Apa yang paling ingat dari sebuah pertemuan adalah obrolan dan peristiwa. Makanya sampai sekarang saya masih ingat. Perjalanan dari Jogja ke Semarang untuk suatu project bersama kolega yang sama-sama di-hire untuk project yang saat itu digawangi oleh UNESCAP. Ecieh, saya pernah lho sekali bekerja kontrak singkat untuk UN. A little dream came true (meski dengan cara yang lain :D). Baru sekali malah saya bekerja dengan dibayar pajak dalam negeri. Mostly dibayar oleh AUSAID. Wkwkwk, sombong banget. Padahal...ah sudahlah. Makanya saya kalau urusan bayar pajak agak malas sih. 
Jadi saat itu kami sengaja mengambil jalur melewati Kopeng. Di perjalanan entah kenapa obrolan kami pada satu topik: Apakah pasangan yang menikah itu wajib punya anak? Ah, saya selalu suka dengan topik-topik mind-blowing begini sehingga saya bisa mendapat perspektif lain dari para lawan bicara. Kali itu saya sepemahaman dengan Bang Edo dan diamini oleh para penumpang lainnya satu mobil. Ketika pertanyaan itu terlempar kepada saya untuk giliran menjawab, saya pikir itu kembali lagi pada individu yang menikah itu tujuannya untuk apa. Dan setiap orang pasangan berhak menentukan tujuan mereka masing-masing. Ada yang memang dari awal ingin child-free dan berfokus pada apa yang bisa mereka lakukan bersama as long as kehidupan mereka meaningful, that's fine. Kita hargai setiap keputusan dan pandangan individu. Tapi dari segi agama Islam sendiri bagaimana? Hmm. Menarik sih. Bahwa salah satu dari maqasid asyariah yang pernah saya pelajari dulu salah satunya adalah menjaga keturunan. Nah itu maka disyariatkan pernikahan. Lalu, bagaimana dengan mereka yang ditakdirkan tidak bisa memiliki keturunan? Bagaimana dengan para ulama seperti Imam Syafii, Baiduzzaman Said Nursi, dll yang belum sempat menikah karena terlalu sibuk menuntut ilmu? 
Saya sendiri berada pada keyakinan bahwa setiap keputusan yang diambil harus didasarkan pada pilihan sadar dan merdeka. Setiap orang memiliki pertimbangan masing-masing dalam memilih jalannya dan kita tidak bisa melakukan generalisasi pada mereka berdasarkan pengalaman kita dan orang-orang kebanyakan. Menikah atau tidak menikah. Memiliki anak atau tidak memiliki anak. Itu adalah keputusan individu yang layak untuk dihormati. Maka kemudian kita tidak berhak untuk menuntut pasangan yang baru menikah untuk segera memiliki momongan. Maka kita tidak berhak mencibir pasangan yang tidak memiliki anak. Maka kita tidak berhak mengolok mereka yang memutuskan untuk tidak menikah. Apakah mereka melanggar syariat? Siapa yang berhak menilai?

Di kesempatan lain, saat perjalanan dengan mobil travel dari Jakarta menuju Jogja untuk sebuah panggilan mendadak karena kehabisan tiket moda transportasi lain. Saya duduk di depan bersama seorang pria stranger yang asyik sekali mengajak saya ngobrol tentang diskusi interfaith. Gila saja, saya saat itu masih cupu dalam hal ini hanya bisa nyengir mendengar cerita dia tentang diskusi interfaith. Saya pikir ini akan bahaya jika orang-orang dicekoki pemahaman bahwa semua agama itu sama. Ini sudah menyalahi aqidah. Pikir saya saat itu. Dasar liberal! 
Meskipun dalihnya adalah agar tercipta toleransi antar umat beragama. Tapi saya saat itu saya masih belum bisa menerima pandangan bahwa membekali anak-anak muda dengan pemahaman antar agama itu perlu. Bagaimana tidak? Para orangtua sudah bersusah payah menjaga aqidah anak mereka dengan mengajari mereka mengaji dan lain-lain ini kemudian dikenalkan dengan agama yang berbeda dari mereka. Bagaimana jika terjadi converting
Namun saat ini saya baru menyadari bahwa ketakutan-ketakutan seperti itu sebenarnya tidak perlu. Manusia dewasa selayaknya memiliki keputusan sadar dan bebas atas hidup mereka. Justru dengan pemahaman yang lebih pada pandangan yang berbeda dari mereka, bukan berarti menganggap semua agama sama, tetapi lebih untuk mengedepankan empati. Mengapa orang lain berpikir dan bertindak seperti itu? Sehingga kita tidak perlu dengan mudah untuk membuat judgement pada orang lain yang berbeda pandangan atau keyakinan dengan kita. Ah ini sebenarnya pernah saya tulis sih. Tentang bagaimana kita bisa lebih rileks dalam mengenali sesuatu yang baru bagi kita sehingga ilmu baru itu masuk. Justru dengan semakin banyak pemahaman baru yang masuk, semakin akan membuat orang merunduk dan tidak berani mengklaim dirinya paling benar, bukan. Kecuali dalam konteks keyakinan tentu saja keyakinan adalah sesuatu yang dari hati dan kita benarkan. Jadi beda ya konteksnya di sini, antara keyakinan dan pemahaman akan keyakinan itu. 

Sepertinya saya sedang merindukan perjalanan-perjalanan dengan obrolan yang seru. Yang belum kesampaian adalah perjalanan dengan kereta dan obrolan seru lainnya yang sangat filosofis, entah dengan siapapun. Yang dari obrolan itu layak untuk saya tuliskan di blog ini.
Jadi ingat dengan obrolan di channel Makna Talks yang saya tonton beberapa waktu lalu episode Dian Sastrowardoyo. Menarik sih bagaimana seorang Dian Sastro mengajak ngopi setiap kawan yang baru ia kenal untuk melihat apakah mereka memiliki kecocokan. Yes, deep conversation is such an amazing moment. Di mana kita bisa menerima hal yang baru dari seseorang dan di waktu yang sama kita juga dengan percaya diri bisa mengemukakan ide-ide kita. To inspire and get inspired, at the same time. Kapan terakhir kali ngopi bareng teman dan melakukan deep conversation? Saya pikir jika saya di masa lalu bisa seterbuka itu menerima setiap tawaran untuk bertemu dan bepergian, tentu banyak sekali kawan saya dari berbagai background. Ada satu tawaran yang masih saya sesali tidak saya sambut dengan baik sampai sekarang. Toko buku dan stasiun. Ada satu kesempatan yang saya lewatkan untuk mengambil cerita banyak dari beliau. Itulah mengapa saat ini saya ingin lebih rileks dalam menjalin pertemanan. Dengan siapapun. Tanpa memberikan judgement dan labeling apapun. 

Mari berteman. :-)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar