Jumat, 08 Mei 2020

Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith?

Yes, itu adalah judul sebuah buku yang ditulis oleh Katrine Marcal. Saya belum membaca bukunya tetapi saya merasa terusik setelah menonton IG live yang membahas buku tersebut dari kacamata feminisme. Lama-lama laman ini jadi tempat diskusi feminismus ya? Hahaha

Oya, sebelumnya, ini akan buanyak sekali istilah-istilah teknis. Mohon bersabar. Kalau tidak paham skip saja. Saya hanya bersolilokui.

Sebelum saya mengkritik diskusi yang berlangsung di IG live tersebut, saya perlu menyampaikan sudut pandang saya dulu mengenai bahasan "emotional labor" atau yang oleh pembawa acara banyak disebut sebagai "female works". Tentu saja jika kita ingin mengkampanyekan lagi gender equality, mengapa masih pakai term "female work" untuk merujuk "domestik works"? Iya, memang kerja-kerja taking care atau domestic works ini tidak masuk dalam perhitungan GDP. Begitu juga masyarakat suku pedalaman yang masih mengandalkan hidup mereka pada sistem self-subsistence. Dan kalau mau dibahas lebih jauh lagi sekarang sudah banyak berkembang pemikiran-pemikiran Stoic untuk memproduksi dan mengambil secukupnya. Dan definisi cukup ini dikaitkan dalam analisis di tingkat mikro individu. Sampai di sini saya berusaha objektif ya karena memang demikian adanya. Tapi kenapa harus demikian?
Baik, kembali ke domestic works yang menurut mereka dinilai sebagai pekerjaan yang tidak produktif dari kacamata economics. Jika Adam Smith mengawali bukunya dengan frase siapa yang menyiapkan makan malam di meja Anda? Apakah pekerjaan itu dihitung sebagai produktifitas ekonomi? Kemudian siapa yang memetik kentang, mendistribusikannya ke pasar dan menjualnya di pasar sebagai pengecer hingga dibeli oleh "si koki" Adam Smith? 
Dalam kacamata teori makro yang saya pelajari alokasi waktu kita yang tidak digunakan untuk memproduksi income, dialokasikan sebagai konsumsi leisure. Itu juga kegiatan ekonomi. Adapun hal-hal yang tidak bisa dikuantifikasi dalam angka-angka moneter, masuk dalam variabel unobserved.
Itu yang pertama. Yang kedua adalah kritik mereka tentang konsep homo-economicus yang digambarkan sebagai manusia yang selalu bertindak secara rasional dan mengejar keuntungan diri sendiri. Jadi, di mana perempuan dalam analisis ilmu ekonomi?
Saya sebagai orang yang belajar ilmu ekonomi kok merasa ilmu ekonominya sih yang disalahkan? Salah Adam Smith apa? Salah ilmu ekonomi apa? Apa definsi Anda pada ilmu ekonomi? Salah mak gue? Salah temen-temen gue? 
Padahal economics yang saya pahami sendiri adalah value-free. Ekonom sebagai ilmuwan seringkali dihadapkan pada kondisi positivis. 
Oke. Jika yang mereka rujuk itu adalah ilmu ekonomi klasiknya Adam Smith maka kritik yang ditujukan untuk teori ini sudah banyak dibahas dan disempurnakan oleh ilmuwan-ilmuwan setelahnya hingga kini. Jadi saya rasa bahasan ini kayak basi nggak sih? Atau saya saja yang jarang baca jurnal-jurnal yang bertajuk "Review" yang isinya membahas perkembangan teori-teori secara konseptual instead of studi-studi empiris? Bahkan Ilmu Ekonomi tidak hanya membahas masalah GDP saja sebagai ukuran kemakmuran secara agregat. Ilmu Ekonomi telah banyak berkembang ke studi-studi di level mikro rumah tangga hingga kebahagiaan level individu (Amartya Sen). Bahkan saya sendiri baru akan menulis tentang gender equality. Jika ilmu ekonomi dibilang tidak bahas domestic works dan ukuran-ukuran kesejahteraan lain yang sifatnya bukan moneter, saya rasa itu kurang tepat sasaran. 
Bahkan sekarang sudah muncul analisis-analisis eksternalitas dari suatu kegiatan ekonomi. Lalu tentang asumsi manusia dipandang sebagai individu yang rasional, bahkan sekarang di Behavioral Economics pun kalau tidak salah sudah banyak dikembangkan asumsi bahwa manusia tidak bertindak secara rasional, paling tidak antar waktu. Preferensi antar waktu bisa berubah bukan? Kita tidak bisa memiliki satu pandangan atau preferensi tertentu dalam jangka waktu yang lama. Seperti halnya perasaan manusia bisa dengan mudah berubah oleh keadaan. Cieh.
Kemudian, kritik mereka tentang metode-metode kuantitatif. Mengapa semua hal perlu dikuantifikasi?
Gini. Kembali lagi apa sih definisi dari teori? Teori itu dibuat untuk melakukan simplifikasi dari realita yang kompleks kan? Makanya dibuat asumsi-asumsi yang seringkali mejauhkan kita dari dunia nyata. Seakan-akan kita berada di pasar persaingan sempurna di mana tidak ada informasi yang asimetris. Di dunia nyata ini tidak ada. Lalu mengapa dibuat? Salah satunya adalah untuk memudahkan analisis dalam menjelaskan suatu fenomena. 
Kemudian mengapa angka? Kembali lagi mengapa ada Ilmu Matematika? Mengapa ada angka? Sependek yang saya pahami bukankah angka diciptakan untuk memudahkan dalam menjelaskan kata-kata yang puanjaaang. Menjelaskan cerita yang puanjaaang menjadi satu baris yang simpel dan dapat dipahami oleh banyak orang.
Nah, mengapa harus anti terhadap kuantitatif? Lalu bagaimana mengukur efektifitas suatu kebijakan publik jika kita tidak bisa memberikan ukuran yang objektif sehingga bisa dinilai untuk proses perbaikan. Kalau kata sobat baik saya (Kanet), "Ya kali nungguin orang curhat satu-satu". Tulisan ini juga hasil dari curhatan dengan dia setelah menonton IG live tersebut. Hahaha
Bahkan orang kuantitatif pun tetap membutuhkan analisis kualitatif untuk melihat kedalaman suatu kasus tertentu yang di luar modus, misalnya.
Jadi, sebelum mengkritik sesuatu, pastikan kita paham dulu. Sebelum anti terhadap sesuatu, pastikan kita memahami sudut pandang mereka dengan kacamata mereka. 
Jadi kenapa analisis mengenai gendernya menjadi ndladrah ke kritik terhadap ilmu ekonomi dan angka-angkanya? 
Barangkali saya pun bisa salah dalam memahami pemahaman mereka. Ha wong saya sendiri belum baca bukunya. Ini saya membahas pembahasan mereka tentang bukunya lho ya.
Sebelum Anda menentukan posisi Anda terhadap sesuatu, kosongkan dulu isi otak dari nilai-nilai yang dianut. Pelajari dan pahami dulu. Baru benturkan dengan apa yang sudah Anda yakini.
Dah, gitu aja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar