Minggu, 03 Mei 2020

Emotional Labor Questions

Mau nerusin tulisan sebelumnya (cek di sini) tentang gender equality dalam emotional labor. Hehe mumpung ingat sih. Kita ngobrol santai ya sambil istirahat siang.
Jadi gini.
Sering yang saya lihat di berbagai training parenting, fiqh pernikahan, kesehatan nutrisi keluarga, tema-tema tajuk komunikasi dengan pasangan atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan relationship dan keluarga sering kali lebih banyak diikuti oleh perempuan, sedangkan para lelaki yang mengikuti bisa dihitung dengan jari. Ini bukan hanya sekali dua kali kesempatan lho ya, mostly begitu yang saya temui dan mungkin juga di tempat-tempat lain, betul tidak?
Ke mana para bapak yang seharusnya memiliki tanggung jawab yang sama dalam hal keberlangsungan keluarga? Mengapa seakan kaum ibu saja yang begitu peduli pada pentingnya pendidikan seputar keluarga? Apakah memang nature dari seorang perempuan begitu dan laki-laki tidak memiliki nature ini? Apakah kita memang berpikir bahwa itu semua adalah tanggung jawab seorang istri dan seorang ibu saja?
Ini dibahas juga di buku Fed Up karya Gemma Hartley tentang bagaimana seharusnya seorang suami juga perlu turut andil dalam membekali diri dengan pengetahuan nutrisi kehamilan, fase-fase kehamilan, pengasuhan, dan seterusnya sehingga keputusan-keputusan pengasuhan diambil dalam diskusi yang berimbang, bukan menyerahkan sepenuhnya pada istri. 
Apakah bekal kemampuan mencari nafkah berupa duit saja cukup sehingga orang-orang overestimate pada profesi dan penghasilan finansial dalam menentukan calon suami/menantu? Apakah suami di sini diperankan sebagai mesin ATM? Jika demikian, bukankah hal itu justru mematikan potensi perempuan untuk melakukan hal yang sama juga? Siapa yang bisa menjamin kehidupan rumah tangga berlangsung hingga tua atau salah satu tidak meninggal di usia muda? Berapa banyak studi mengenai dampak ekonomi perempuan yang menjadi janda, menjadi kepala rumah tangga? 
Come on, bekal ilmu itu juga perlu. For both.
Nah, makanya di sini yang saya tekankan adalah adanya usaha yang equal dari kedua belah pihak. Baik, sebelum jauh-jauh deh ke pernikahan. Misal gini, dalam sebuah hubungan komitmen laki-laki dan perempuan saja. Berapa banyak yang pada akhirnya kandas karena ketidakmampuan dalam me-mantain sebuah hubungan karena kurangnya usaha salah satu pihak? Itulah mengapa dalam Ekonometrika ada istilah cointegration yang sering dipakai untuk jokes romansa para scholars yang belajar ekonomi. Kointegrasi menandakan adanya dua variabel yang memiliki hubungan jangka panjang, di mana ketika terjadi shock, ukuran mereka memiliki long-term relationship adalah seberapa cepat keduanya kembali ke titik keseimbangan setelah ada shock tersebut. Long-run equilibrium. Ini lho konsep jodoh itu. Punya kointegrasi. Nah, seberapa besar usaha masing-masing untuk mencapai titik keseimbangan jangka panjang itu jika effort yang dikeluarkan tidak setara? Itu namanya bertepuk sebelah tangan. Dan itu sakit bro. (Curhat mbak? Wkwkwk)
Lalu bagaimana jika keduanya merasa sudah melakukan usahanya masing-masing tapi merasa yang lain tidak melakukan hal yang sama? Notice and get noticed. Notice your partner where is your equilibrium. Get noticed of your partner's equilibrium. Makanya di awal pastikan bahwa kalian memiliki equilibrium pattern yang sama. Tektok di awal. Apa tujuan kalian berkomitmen dalam jangka panjang? Define ini dengan jelas, bareng-bareng.
Jika untuk project di pekerjaan saja harus direncanakan sedemikian rupa, membangun bisnis, dll, apalagi ini membangun rumah tangga yang untuk jangka panjang urusannya dunia akhirat dan menyangkut kehidupan generasi mendatang. Seberapa bertanggung jawab kita dalam memperhitungkan kesehatan dan pendidikan generasi mendatang? Wuih, berat emang. Gini lho, saya tuh suka sebel dengan pasangan menikah tapi sangat ignorance dengan kualitas kesehatan dan pendidikan anak-anak mereka. Mereka tahunya cuma "ena-ena", beranak, memberi makan dan pakaian, begitu saja mengikuti alur kehidupan orang-orang pada umumnya. Waktunya yang lain menikah ya menikah, waktunya punya anak ya punya anak, dst. Kemudian berharap anak-anak mereka akan menjadi investasi mereka di hari tua ada yang menjaga, saat meninggal ada yang mendoakan. Jika anak-anak berhasil secara finansial, bisa menjadi kebanggaan kita di masyarakat, hey people, that's my son/daughter. Seegois itukah kehidupan kita?
Satu pertanyaan penting untuk direnungi: Apakah kita menjadi bagian dari solusi pembangunan atau justru kita sendiri yang menjadi masalah pembangunan?
Satu hal yang perlu dipastikan masing-masing kita memilikinya adalah the ability to function in society
Ah kamu, kebanyakan wacana saja sis. Hahaha. Ya namanya juga cuma beropini melalui tulisan. Eh bukan, yang lebih banyak saya lontarkan di tulisan ini adalah bertanya sih. Bersolilokui itu bebas kan? Jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu juga bisa beragam. Dan tetap dihargai. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar