Kaitan
antara pertumbuhan ekonomi dan lingkungan hidup selalu menarik untuk
diperbincangkan. Tak ada satu pun negara di dunia yang tidak
menginginkan pertumbuhan ekonomi yang identik dengan perbaikan
kesejahteraan. Usaha untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tersebut
seringkali dihubungkan dengan degradasi lingkungan. Sedangkan lingkungan
itu sendiri terkait erat dengan keberlanjutan suatu pembangunan.
Kesejahteraan yang dituju dari pembangunan yang dilakukan tidak akan
tercapai tanpa adanya pembangunan yang berlanjutan (sustainable
development). Pembangunan tanpa keberlanjutan tidak lebih dari perolehan
atas angka-angka statistik pertumbuhan namun nir-kesejahteraan.
Sebagian besar negara-negara di dunia terutama negara berkembang yang
sebagian besar merupakan negara industri baru mengalami dilema antara
ekspansi pertumbuhan ekonomi dan upaya penyelamatan lingkungan. Begitu
juga Indonesia yang tengah menjalani euforia pertumbuhan ekonomi yang
cukup menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang selalu berada
di atas 5% sejak tahun 2004 (Year on Year based). Bahkan jika
dibandingkan dengan negara-negara G20, Indonesia memiliki perubahan
pangsa PDB dunia yang positif. Pangsa PDB Indonesia di dunia sendiri
meningkat dari 0,82% pada tahun 2005 menjadi 1,21% pada tahun 2009.
Pertumbuhan
ekonomi yang positif tersebut menumbuhkan gairah tersendiri bagi para
pelaku pasar untuk meningkatkan investasinya di Indonesia. hal ini
tercermin dari meningkatnya investasi di Indonesia terutama dalam bentuk
Foreign Direct Investment (FDI) . Realisasi FDI di kuartal pertama
tahun 2009 yang sebesar US$ 453 juta menjadi US$ 2.289 juta di kuartal
kedua tahun 2010. Tahun 2010 menjadi awal diberlakukannya kesepakatan
ACFTA dengan pemberlakuan tariff 0% untuk kategori barang-barang normal
track. Hal ini membuka keran perdagangan di antara negara-negara di
ASEAN maupun dengan China. Dengan semakin terbukanya perekonomian
Indonesia terhadap dunia, semakin banyak pula investor yang mengincar
Indonesia sebagai pangsa pasar yang sangat potensial untuk mereka
jajaki.
Sejak
pemberlakuan ACFTA di Indonesia, aliran deras modal mulai masuk, baik
berupa relokasi pabrik, investasi properti, dan lain-lain. Bahkan kini
mulai banyak investor China yang tertarik untuk berinvestasi di
Indonesia dengan tiga sektor yang diminati, yaitu (i) sektor
infrastruktur, terutama transportasi, (ii) sektor yang terkait dengan
manufaktur, dan (iii) sektor energi, termasuk pembangkit tenaga listrik
terbarukan. Selain itu, investasi yang cukup prospektif adalah dalam
sektor kendaraan roda dua di mana Indonesia diprediksikan pada beberapa
tahun mendatang akan menjadi pasar terbesar ketiga di dunia .
Selanjutnya, setelah empat perusahaan menanamkan investasinya di sektor
alas kaki di Indonesia dengan potensi investasi sekitar US$ 200 juta,
kini ada dua investor yang berasal dari Korea sedang menjajaki investasi
di Indonesia untuk memindahkan pabriknya dari China ke Indonesia dengan
potensi investasi senilai US$ 100 juta. Sejak tahun 2009 telah ada
sekitar 22 investor asal China dan Taiwan yang berminat berinvestasi
pada sektor alas kaki dan industri komponennya di Indonesia. Investasi
yang masuk diharapkan dapat menyerap tenaga kerja dan mendorong
perbaikan perekonomian.
Namun rupanya derasnya FDI yang masuk ke
Indonesia mendapat tudingan bahwa semua itu tak lain adalah upaya
pengalihan dirty industry dari negara maju kepada negara berkembang.
Mengapa
demikian? Negara-negara maju mulai gencar melakukan relokasi pabrik dan
pusat-pusat industrinya ke negara-negara berkembang terutama di negara
yang memiliki labor abundant sehingga mereka akan mendapatkan labor
dengan upah yang lebih rendah dari negara origin-nya. Alasan lain dari
relokasi tersebut adalah untuk mendapatkan pangsa pasar yang lebih
besar. Seperti yang terjadi di Indonesia. Indonesia yang memiliki jumlah
penduduk besar menjadi sasaran empuk bagi pelaku pasar di dunia. Dan
kebanyakan dari relokasi tersebut merupakan relokasi sektor-sektor yang
menghasilkan tingkat polusi yang cukup tinggi (dirty industry). Dengan
demikian, FDI yang masuk ke negara berkembang menjadi sarana untuk
peralihan konsentrasi polusi di negara maju ke negara berkembang seperti
Indonesia.
Pollution haven hypothesis yang mencoba menjelaskan
fenomena ini memperoleh dukungan dari hasil studi Walkirdch dan Gopinath
(2008) dalam makalahnya mengenai FDI di Mexico. Studi tersebut
menyimpulkan bahwa kenaikan aliran FDI yang mengejutkan selama dekade
terakhir dari negara maju kepada negara berkembang terkait erat dengan
lemahnya kebijakan lingkungan di negara tujuan FDI. Lebih jauh lagi,
ditemukan adanya hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi
negara-negara berkembang dan keterbukaan perdagangan dengan tiga kunci
utama deforestasi: kemiskinan, ekspansi agrikultural dan pembangunan
jalan (Lopez dan Galinato, 2004).
Terkait dengan polusi, diketahui
bahwa emisi udara dan air meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi
pada tingkat pendapatan tertentu (Colle, Elliot, dan Zhang, 2010). Total
output share yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan dari Hong Kong,
Macau dan Taiwan memiliki pengaruh positif pada emisi meskipun efek
tersebut hanya signifikan pada tiga emisi cair industri. Total output
share yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan dari negara asing
dapat menguntungkan, merugikan, atau netral, bergantung pada jenis
polutan.
Bukti Lain yang Memberi Harapan
Di antara demikian
banyak studi yang menunjukkan trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan
lingkungan, sebuah survei terhadap data lingkungan hidup menunjukkan
kaitan positif antara pertumbuhan ekonomi dan membaiknya kualitas air
dan udara pada tingkat PDB $ 10.000 (Grossman dan Krueger, 1994). World
Development Report tahun 1992 melaporkan bahwa pengaruh peningkatan
kesejahteraan terhadap kerusakan lingkungan menyerupai kurva U terbalik
di mana titik balik terjadi pada tingkat pendapatan per kapita $ 8.000.
Pada tingkat pendapatan setelahnya, peningkatan kesejahteraan akan
beriringan dengan turunnya tingkat polusi. Saat ini PDB per kapita
Indonesia berada pada kisara $ 2.270. Meski masih cukup jauh dari
tingkat PDB per kapita pada titik balik, selalu ada harapan untuk
mencapainya. Bahkan, besarnya FDI yang masuk ke Indonesia menjadi
peluang khusus untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang lebih cepat.
Dengan demikian, FDI tidak lagi menjadi momok bagi lingkungan dengan
asumsi adanya peningkatan PDB per kapita yang signifikan untuk mengejar
tingkat polusi yang rendah.
FDI yang masuk ke Indonesia sebagian di
antaranya merupakan relokasi perusahaan asing. Terdapat kekhawatiran
akan terjadi fenomena pollution haven, yakni relokasi polusi ke
indonesia, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun, Garcia,
Afsah, Sterner (2008) yang melakukan studi mengenai PROPER Program di
Indonesia mendapati bahwa perusahaan-perusahaan asing di Inndonesia
cenderung merespon environmental rating scheme dari PROPER Program
dengan lebih baik dibanding dengan perusahaan swasta lokal. Lebih jauh
lagi, studi Wheeler (2000) dalam Norberg (2001) menemukan bahwa
perusahaan asing yang merelokasi pusat produksi mereka ke negara-negara
berkembang adalah lebih ramah lingkungan daripada perusahaan lokal.
Mereka berusaha mengikuti UU mengenai lingkungan hidup, sebab
bagaimanapun mereka harus memperhatikan citra merk produk mereka. Di
Indonesia hanya 30% dari total perusahaan yang ada yang menaati
peraturan lingkungan hidup, dan 80% di antaranya merupakan perusahaan
multinasional. Bahkan, satu dari sepuluh perusahaan asing menerapkan
standar yang leibh tinggi daripada yang tertera dalam peraturan.
Bahwa
FDI memungkinkan kehidupan lingkungan yang lebih baik –yang berarti
hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dan perbaikan lingkungan
hidup, kini kian jelas. Namun begitu, konsekuensi agar hal ini dapat
tercapai adalah kejelasan aturan main dan penegakan hukum oleh
pemerintah. Upaya pemerintah berupa penetapan peraturan lingkungan
terkait dengan kegiatan ekonomi telah dilakukan . Sayangnya, masih
banyak terjadi pelanggaran yang ironisnya tidak mampu diusut hingga
selesai. Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Permana (2010) ditemukan
adanya diskriminasi penegakkan hukum dalam kasus pembalakkan liar.
Sejumlah kasus lingkungan juga menggantung hingga sekarang, bahkan kasus
setenar lumpur Lapindo tak kunjung rampung. Dapat disimpulkan,
permasalahan utama yang terjadi dalam hubungan pertumbuhan ekonomi
–dalam kasus ini adalah FDI- dan lingkungan terkait dengan proses
penegakkan hukum.
Mengupayakan Perbaikan ke Depan
Bagaimanapun
juga pemerintah adalah institusi yang bertanggung jawab langsung dalam
penegakkan hukum. Ada sejumlah langkah yang dapat dilakukan pemerintah
untuk memperbaiki situasi ini. Yang pertama, terkait dengan upaya
transparansi laporan keuangan perusahaan baik domestik maupun
multinasional dengan menerapkan green accounting –sistem pembukuan yang
memasukkan biaya lingkungan ke dalam laporan keuangan. Melalui
publikasi laporan keuangan dengan metode green accounting, perusahaan
diharapkan lebih awas dan peka pada lingkungan mengingat citra
perusahaan yang akan langsung terbaca melalui publikasi: berapa banyak
realisasi CSR lingkungan, berapa besar biaya eksplisit untuk pengurangan
emisi. Di sini perusahaan-perusahaan multinasional menjadi role model
bagi perusahaan lokal. Lebih jauh lagi, pemerintah perlu menetapkan
penggunaan green accounting dalam peraturan formal. Tentu saja
diperlukan sosialisasi terlebih dahulu untuk mencapai keberhasilan
aplikasi green accounting. Selanjutnya, transparansi yang sama juga
perlu dilakukan pada state-level di mana pemerintah pun menerbitkan
laporan pertanggungjawaban dan laporan realisasi proyek dengan metode
green accounting.
Kedua, optimalisasi PROPER Program –lebih
dikenal dengan PROPER PROKASIH di Indonesia. PROPER Program terbukti
memberikan dampak signifikan terhadap perbaikan kualitas lingkungan
hidup, sesuai dengan tujuan program ini yakni untuk mendorong
peningkatan informasi kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan.
Peningkatan kinerja penaatan dapat terjadi melalui efek insentif dan
disinsentif reputasi yang timbul akibat pengumuman peringkat kinerja
PROPER kepada publik . Hanya saja, dari sekitar 8.000 perusahaan di
Indonesia, baru 700 di antaranya mengikuti program ini. Untuk memperluas
cakupan peserta PROPER, pemerintah hendaknya melakukan kampanye yang
lebih masif agar PROPER program tidak hanya dikenal oleh kalangan
terbatas, namun juga masyarakat luas. Kampanye-kampanye kreatif melalui
media cetak dan elektronik dan pengadaan kegiatan terkait PROPER dapat
dilakukan.
Bukan mustahil. Itulah kesimpulan dari
tulisan ini. Bukan mustahil bagi ekonomi untuk tumbuh bersama
lingkungan. Bukan mustahil bagi Indonesia untuk menjadi negara yang
tumbuh dalam green growth. Tentu saja, upaya yang dilakukan tak cukup
dari pemerintah saja. Selalu diingatkan dalam banyak tulisan, seluruh
komponen masyarakat adalah penting untuk mewujudkan Indonesia yang lebih
baik.
Justru dengan menarik FDI ke dalam negeri dapat mempercepat
pencapaian pertumbuhan ekonomi dan tingkat PDB per kapita yang mampu
memberikan dampak positif terhadap lingkungan. Memang belum ada studi
yang membuktikan secara khusus apakah pollution haven terjadi di
Indonesia khususnya sejak diberlakukannya ACFTA. Namun penulis berharap,
tulisan ini setidaknya dapat menjadi inspirasi bagi para peneliti untuk
melakukan studi lebih jauh mengenai dampak dari keterbukaan ekonomi
terhadap konsetrasi polusi di Indonesia.
“With laissez-faire and price atomic, ecology’s uneconomic. But with another kind of logic, economy’s unecologic.”
Kutipan
ini seharusnya dapat dibantah dengan studi-studi yang membuktikan bahwa
ekonomi dapat sejalan dengan lingkungan. Terlepas dari logika –atau
sistem- macam apa yang digunakan untuk mengusahakan pertumbuhan ekonomi.
Manusia dapat memperbaiki kesejahteraan tanpa melepaskan cintanya pada
bumi tempat ia hidup dan dilahirkan. Dan itulah yang tengah kita
kerjakan sekarang untuk Indonesia dan dunia.
DAFTAR REFERENSI:
Afsah
S, et al. 2009. Which Firms are More Sensitive to Public Disclosure
Schemes for Pullution Control? Evidence from Indonesia’s PROPER Program.
J Environment Resource Econ 42: 151-168
Asian Development Bank. 2010. Asian Development Outlook Macroeconomic Management Beyond the Crisis
Cole
M, et al. 2010. Growth, Foreign Direct Investment and the Environment:
Evidence from Chinese Cities. Journal of Regional Science 11 Juni 2010
HMI News. 2010. http://hminews.com/news/indonesia-surga-bagi-investor-asing-kata-imf/ diakses pada 20 September 2010
Norberg J. 2001. Membela Kapitalisme Global. Jakarta: The Freedom Institute
Permana
YH. 2010. Application of Rule of Law by Jurisdiction System on Illegal
Logging Case in Indonesia 2002-2008. Yogyakarta: JEBI
Waldkrich A,
Gopinath M. 2008. Pollution Control and Foreign Direct Investment in
Mexico: An Industry-Level Analysis. Springer Science Business Media B.V.