Saat teman saya bilang, “Mengapa ketika
polisi sedang terkena kasus (sebut saja simulator SIM, dan kasus-kasus
sebelumnya yang sudah saya lupa) tiba-tiba ada berita penangkapan teroris?”
maka saya hanya bisa tersenyum dan berkata lirih, “mungkin sudah by designed
sehingga kita sering dibuat lupa”.
Saat dosen saya berkoar-koar tentang
korupsi di depan sesi seminar kemarin sore, saya hanya bisa diam dan memendam marah
yang entah harus ditujukan kepada siapa. Bahwa ternyata UU yang disahkan oleh
DPR selama ini justru yang mengamanahkan untuk korupsi. Bahwa keadilan
keputusan hukum yang didasarkan UU tidak ada sama sekali. Bahwa selama ini kita
sendiri yang mensubsidi para koruptor.
Saat melihat pergelaran PON XVIII karut marut karena kepentingan politik
orang-orang di atas dan praktek korupsi, saya hanya bisa menanyakan pada diri
sendiri di mana letak “mensana in corporesano”? Apakah jiwa-jiwa mereka juga
sehat? Tidakkah mereka yang mempolitisasi olah raga itu sudah sakit jiwa? 4,3
miliar itu melayang sia-sia sudah…saya hanya menunggu keputusan KPK siapa
menteri yang nantinya akan dijadikan tersangka korupsi? Apakah dari yang
bertanggungjawab atas PON ini? atau dari yang mengaku beragama? Atau yang mana?
Saya yakin, 18 orang yang dijadikan tumbal
kasus suap itu hanya orang-orang gurem yang jadi alibi bagi pelaku utama.
Dan mungkin ada banyak saat-saat lain yang
hanya membuat rakyat diam, tidak tahu harus berbuat apa untuk mengungkapkan
rasa kemuakan mereka.
Ya Allah, saya marah. Tapi saya tidak tahu
harus marah kepada siapa. Tapi saya tidak tahu harus berbuat apa. Tapi saya
tidak tahu harus mengatakan apa tentang ini semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar