Minggu, 16 Juni 2013

Tentang BBM Lagi

Ya, saya masih pada pendapat saya sebelumnya. Mendukung kenaikan harga BBM, dan pengurangan subsidi BBM agar dialihkan ke program-program penanggulangan kemiskinan.
Umm, untuk hal ini saya akui, saya masih cupu banget dalam hal pengetahuan ekonomi dan rasanya sangat sombong jika saya mengatakan sebagai orang yang terlibat tidak langsung dalam proses di tingkat kebijakan negara. Tapi yang namanya orang belajar, sah-sah saja kan ya memberikan pendapat. Ini tidak ada kaitannya dengan analisis politik. Ciyus! Koreksi boleh-boleh banget kok...namanya sharing knowledge kan ya... (peace maker banget ^^V)
Pertama, saya agak heran dengan pendapat salah seorang adik angkatan di sebuah organisasi tingkat kampus yang mengatakan bahwa subsidi untuk rakyat miskin dalam bentuk BLSM (semacam BLT gitu) yang HANYA turun dua kali untuk lima bulan itu justru yang memanjakan dan membuat rakyat malas. Gini, lebih memanjakan (membuat malas) mana subsidi harga BBM yang segitu banyaknya dan nggak kebanyakan malah dinikmati orang kaya dibandingkan subsidi untuk rakyat miskin itu? Dua, jangan ge-er dulu, BLSM itu sifatnya sementara hanya untuk mempertahankan daya beli masyarakat miskin selama terjadi kenaikan harga BBM. Toh, dalam jangka panjang mereka pun ada programnya sendiri. Jadi program untuk orang miskin itu dibedakan jadi dua: program untuk menanggulangi immediate impact (program jangka pendek) dan program jangka panjang. Nah, program jangka panjang inilah yang ibarat kata tidak langsung memberi ikannya tapi memberi kailnya. Misal para mantan TKI di daerah Tj.Priok nih, mereka dikasih modal skill dan alat-alat modal lain untuk buka usaha sehingga mereka tidak bisa berangkat lagi jadi TKI gitu.
Perlu diketahui, tentu, dan itu hampir niscaya, saya pun sudah membuktikannya lewat skripsi saya kemarin, bahwa kenaikan harga (misal pangan dan BBM) itu akan meningkatkan angka kemiskinan di suatu negara, citeris paribus. Kita melihat efeknya dari dua sudut pandang: efek langsung dan tidak langsung. Efek langsung inilah yang ingin ditanggulangi dengan program BLSM ini agar angka jumlah orang yg jatuh ke lubang kemiskinan atau makin parah miskinnya itu nggak banyak-banyak amat dan nggak parah-parah amat gitu lho. Itulah mengapa programnya didesain cuma sementara. Jadi yg BLT kemarin kok malah diterusin sama SBY itu semata-mata urusan politik, tidak masuk dalam analisis ekonomi sebelumnya. -,- Ya, silakan tepok jidat dulu kalo mau.
Nah, didesain sementara itu ya biar itu tadi, nggak bikin malas-malas banget. Karena dalam jangka panjang perilaku orang tentu akan lebih adaptatif dalam kondisi kekinian. Pas awal-awal harga naik mungkin mereka shock dan bingung gitu lho mau nyari tambahan uang kemana. Tapi dalam jangka lebih lama, ekonomi secara keseluruhan bisa smooth dan saling menyesuaikan (istilah kerennya, new equilibrium). *terlepas dari perdebatan klasik dan neo-klasik ya...-,-*
Jika sempat ada beberapa alasan tokoh politik menolak kenaikan harga BBM karena penimbunan dan ada beberapa politikus negara yg bermain curang di sana, itu beda lagi urusannya sama analisis ekonominya mengapa urgent banget untuk dinaikin tuh harga. Itu adalah masalah kelembagaan proses peneluran kebijakan itu. Jadi kalo itu masalahnya fokus saja lah di sana dengan upaya pencegahan dan mekanisme agar hal itu dapat dihindari.
Jika khawatir itu jadi politik mendulang suara dengan BLSMnya, humm...sebenarnya kan mau naikin BBMnya udah dari kemarin nih, tapi diulur terus sama beberapa politisi yang tidak sepakat. Jadinya diundur terus dan jadinya baru kejadian menjelang pemilu ini kan, jadi ituh kesannya kayak politik mendulang suara gitu. Padahal ide awalnya bukan banget. Murni karena itung-itungan ekonomih. Saya melihat sendiri bagaimana orang-orang di belakang meja itu riweh siang malam kaji ini kaji itu, teliti ini teliti itu. Program-program penanggulangan kemiskinan itu tidak tiba-tiba keluar begitu aja, tapi semua berdasarkan hasil riset akademik, dan itu tidak hanya kuantitatif, kualitatif juga, dan tidak hanya dilakukan satu lembaga/pihak saja, tapi sering juga pemerintah minta bberapa lembaga lain untuk lakukan kajian agar melihat hasil kajian dari berbagai sudut pandang. Itu masih belum selesai. Masih harus diajukan dulu ke rapat kabinet dan tetek bengeknya. Di situlah proses politik mulai. Kadang orang di belakang meja pada sebel kan ya udah capek-capek teliti setengah mati, eh, jatuhnya yang keluar jauh panggang dari unsur akademik, malah kebanyakan politik. Ugh...gap inilah yang sangat menyebalkan. *sok teu aye*
Jadi kawan, saya kira yg perlu banget diawasi oleh mahasiswa skarang adalah justru pengawasan mengenai program-program penanggulangan kemiskinan itu sendiri. Di lapangan masih banyak terjadi kebocoran, masalah, dan banyak hal. Awasi proses pembayaran dan penyalurannya, Siapa saja yg belum dapat. 
Atau justru kalau mau melakukan pendampingan ke kelompok-kelompok marjinal misal, para transgender yang tidak punya KTP karena selalu ditolak keberadaannya oleh pemda setempat karena masalah kartu identitas sehingga tidak bisa mengakses layanan publik. Atau penduduk urban di slum-area yang ditipu mengenai kepemilikan tanah mereka sehingga tahu-tahu mereka harus digusur oleh pemerintahnya sendiri. Atau tentang program bantuan yang banyak bermunculan di daerah tapi diaku-aku oleh banyak pihak yg sebetulnya tidak bekerja apa-apa tapi menikmati duitnya. Lebih dekatlah dengan mereka. Para pemangku kebijakan sedang bekerja keras melakukan yang terbaik sebisa mereka. Tapi ada beberapa agent (pelaku) di bawah atau di sampingnya yang tidak seindah yang mereka harapkan. Itu lho yang perlu jadi perhatian kita itu. Tidak terpaku terus di atasnya, tapi juga di level bawah di tingkat pelaksananya yang kadang dan seringkali terjadi gap informasi antara pusat dan daerah.
Ya gitu deh.


Kebon Sirih, 10.46 sepulang dari slum-area daerah Tanjung Priok.
Di kamar kos, sambil memprsiapkan mental menyaksikan kemacetan esok hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar