Kamis, 06 Juni 2013

Menziarahi Ibukota

Rasanya baru kemarin saat saya langsung mendapat pertanyaan "Jadi, kapan bisa berangkat ke Jakarta?" seusai pertama kali dinyatakan lulus.
Awalnya memang terasa sulit meninggalkan Jogja yang begitu nyaman. Tapi suatu saat kita harus berani untuk keluar sejenak meski hanya sekedar untuk merasakan kerinduan dari jauh. Bukankah rindu itu romantis?
Setelah mulai terbiasa dengan ibukota dengan kegentingannya ini, saya ingin menuangkan sedikit kerinduan pada tempat itu dan pada orang-orang yang ada di sana. Menziarahi malam di kota ini. Entah mengapa waktu menjadi begitu berharga di sini. Sehari-hari saya menghabiskan waktu di dalam ruangan ber-AC dengan orang-orang yang sama dan layar komputer yang tak pernah bosan menampilkan program yang sama. Kemudian ketika pagi hari dan senja menjelang, saya harus menyiapkan mental untuk bergelut di jalanan yang sangat tidak terprediksi. Tapi saya mulai menikmati itu semua. Bahkan banyak hal yang bisa saya pelajari di sini. Saya merasakan betapa orang-orang di sekitar saya sangat membimbing dan memberi dukungan. Bukankah tahun ini adalah tahun penggemblengan? Maka ritme hidup harus mulai berubah. Ritme yang berubah. Ritme yang cepat menggantikan ritme yang lembut.
Dalam kecepatan ritme itu saya tersadar bagaimana sulitnya memulai sebuah tulisan untuk menggenapi pesanan novel dengan seorang teman. Padahal, banyak sekali cerita dan inspirasi yang bisa dibagikan. Tapi untuk memulai menulis itu sendiri sulit. Tentang sopir angkot dan kondekturnya, tentang para penghuni pasar yang sehari-hari saya lewati, tentang wanita-wanita yang memajang dirinya di tepi jembatan setiap malam, tentang penghuni kompleks, dan lain-lain.
Ah, saya harus menghela napas sejenak untuk menyelesaikan itu semua. Novel, buku untuk dashboard, translasi paper, semuanya tiba-tiba menguap di jalanan ibukota.
Baru saja kemarin ayah telepon,
"Dek, Agustus udah ada di rumah kan? Bapak sedang menyiapkan acara wayangan di kampung. Kamu siap rekam ya besok."
Di mana lagi saya bisa menemukan suasana seperti itu jika tidak di Jogja.
Di Jogja, saya bisa menghabiskan malam dengan menikmati lantunan gamelan, pertunjukan tari, teater, pembacaan puisi, diskusi, latihan tari, sampai kajian-kajian yang berkualitas.
Tapi malam ini saya hanya bisa merindukan itu semua dari jauh.
Selamat malam, Jakarta!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar