Kamis, 28 Maret 2013

Paman Ekalaya

"Maafkan saya yang lancang, Paman. Saya sudah tidak tahu persis. Mungkin dua puluh purnama saya mencari panjenengan. Saya ingin menimba ilmu, Paman. Izinkan hamba untuk ikut berguru bergabung dalam rombongan murid-murid panjenengan. Nama hamba Ekalaya, Paman. Bambang Ekalaya."
--Petikan novel Resi Durna karya Pitoyo Amrih.

Dari Destrajumna untuk Ekalaya.
Ketika paman guru berkata dengan lembut pada saya untuk tidak menaruh dendam pada eyang Resi Durna, saya justru merasakan amarah yang amarah memuncak padanya. Benar, memang. Paman pernah berkata untuk tidak serta-merta menilai orang lain atas tindakan yang pernah dia lakukan. Tapi paman, di Padang Kurusetra kemarin saya berhasil memenggalnya. Orang yang kau anggap sebagai guru itu, yang kau curi ilmunya, ia telah mati di tanganku. 
Sebelumnya dia juga membunuh ayahku di depan mataku sendiri! Ini menyakitkan melihat orang itu telah melukai dua orang yang kukasihi. Ada apa sebenarnya dengan ayahku yang mati-matian bertarung melawan dia? Ada apa dengan mereka? Mengapa mendiang ayahku seperti juga menaruh kebencian padanya? Engkau tidak membencinya?
Paman guru, baratayudha telah usai, tapi masih banyak bala kurawa yang bersembunyi di mandura. Aku tidak tahu apakah esok pagi aku bisa berangkat kembali ke Cempalareja.
Salam rinduku untukmu, paman.
Destrajumna


#Efek habis baca novel wayang
Great epic story!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar