Senin, 14 Oktober 2019

Catatan Malas: Kota dan Warung Kopi (Sebuah Daftar Pertanyaan untuk Dibahas 'Nanti-Nanti')

Agak terusik untuk menulis saja setelah membaca bahan diskusi "Etnografi Warung Kopi" dari postingan feed klub seri buku di Instagram. Tentang masyarakat kota yang hidupnya seakan nyaris tanpa jeda untuk bersosialisasi sehingga seperti perkataan Karl Marx bahwa kapitalisme telah mencerabut manusia dari dunia kemanusiaannya. Lagi-lagi biang keladinya adalah kapitalisme. Atas nama kapitalisme itu manusia kota mengejar "kecukupan materi" bernama pencarian jati diri melalui pekerjaannya. Kota, diidentikan dengan ritme kerja dan kapitalisme (tentang kapitalisme ini sendiri tentu banyak hal yang perlu dibahas di ruang tersendiri).

Saya sendiri agak tergelitik dengan asosiasi tentang orang-orang kota ini. Saya hanya ingin memunculkan beberapa pertanyaan yang agaknya malas saya jawab secara langsung di sini.

Apakah semua orang kota kehilangan jeda kemanusiaannya untuk bersosialisasi sehingga muncullah warung-warung kopi modern berbentuk kopi untuk menyuguhkan nuansa nostalgia ruang bersosialisasi? Agaknya sekarang ruang sosialisasi itu telah bergeser. 

Pertanyaan kedua adalah, apakah kita hanya akan menyalahkan orang-orang kota dan "kota" atas tergusurnya nuansa tradisional dan konvensional di masyarakat?

Tapi jika boleh memilih, saya lebih memilih menjadi orang kota dengan definisi 'pekerja'nya dan memiliki tempat kembali di desa yang memiliki asosiasi kelokalan, kearifan, rumah, tenang, dan waktu luang untuk bersosialisasi.

Saya tidak ingin memilih menghabiskan seluruh waktu hidup saya untuk menjadi orang desa dalam konteks sekarang. Tapi jika bisa menjadi "orang kota" yang tinggal di desa tentu itu juga menyenangkan.

Mohon untuk tidak ditafsirkan secara terburu-buru atas pertanyaan-pertanyaan dan kalimat-kalimat penjelas yang menggantung di atas. Biarlah menggantung.

Bukankah saat ini telah banyak gerakan-gerakan ekonomi di desa? Pemuda-pemuda inspiratif yang mampu menggerakkan masyarakat lokal  untuk bekerja dengan konteks kelokalan menjadi bernilai global. Mereka berusaha mendobrak sekat-sekat perdesaaan dan perkotaan.

Mari kita bayangkan 20-30 tahun kemudian di mana generasi yang memimpin telah berganti. Preferensi antar generasi tentu berbeda. Apakah budaya-budaya desa-kota ini masih akan ada?

Ingat, saya hanya ingin memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepala.

Apa yang saya asosiasikan sebagai orang kota dan orang desa sekarang adalah sampai saat ini saya masih mengasosiasikan orang desa sebagai generasi yang mendekati retirement mereka dengan pola pekerjaan yang kurang produktif (dari sudut pandang ekonomi) dan paradigma konservatif. Sedangkan orang kota saya asosiasikan dengan kelompok masyarakat yang bekerja di sektor formal dengan taraf pendidikan yang lebih tinggi dan paradigma yang lebih terbuka.
Tidak bermaksud mengkotak-kotakkan, karena saya sendiri juga yakin bahwa tidak semua masyarakat yang tinggal di desa maupun di kota seperti yang saya asosiasikan di atas. Ini hanya bayangan melekat di otak saya yang terbentuk karena pengalaman berinteraksi dengan mereka.

Maka saat ini, barangkali bisa saya sebut sebagai generasi pembaharu, sedang mencoba mendobrak itu semua. Kita hilangkan kesan masyarakat desa yang bodoh dan terbelakang dengan tingkat ekonomi yang rendah dan pemikiran yang kolot. Kita hilangkan juga kesan bahwa masyarakat kota itu anti-sosial, borjuis, dan tidak down-to-earth.

Pertanyaannya lagi adalah, apakah para pembaharu itu saat ini sudah ada di seluruh lapisan masyarakat dan bersiap untuk melakukan perubahan yang lebih baik? Apakah semua generasi phi, adalah orang yang well-educated dan berpikiran terbuka, sehingga mereka berkapasitas untuk mengubah atau hanya akan meneruskan dan mewarisi apa yang ada saja dari generasi sebelumnya dan sekedar melanjutkan hidup.

Karena pola pikir akan membentuk cara berperilaku yang nanti akan menjadi pola perilaku dan kebiasaan dan pada akhirnya akan menjadi sistem.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar