Jumat, 13 April 2012

Suatu Malam

"Jangkrik! Jangkrik!" 
"Hmm, Hmm, Hmm, Hmm"
Bunyi bonang, demung, saron, kenong, dan perangkat gamelan lain kemudian bersahut-sahutan dengan nyaring. Sesaat kemudian tiba-tiba mereka hening bersamaan.
"Layoong....layooong...." dengan lantang seorang laki-laki menembang secara solo.
Malam itu aku duduk sendirian di tempat duduk penonton deretan ketiga dari depan. Aku melihat penonton di seberang barisan tempat duduk sedang asyik menyimak bersama keluarga dan temannya. Dalam hati aku hanya tersenyum pahit pada diriku sendiri. Dasar jangkrik, seorang gadis keluyuran sendirian di malam hari hanya untuk menonton pertunjukkan karawitan yang tempatnya cukup jauh dari rumahnya. 
Sementara itu hatiku terus berdebar-debar mencemaskan bagaimana nanti jadinya ketika pulang sendirian di malam hari yang dingin dengan sepeda motor. Waktu sudah menunjukkan jam 21.30. Sampai di rumah bisa jam 22.30. Duh Gusti, maafkanlah aku yang nekat ini...
Setelah MC memberikan selamat malam, para penonton pun berhamburan ke luar gedung. Di luar telah disajikan berbagai macam jajanan pasar oleh panitia. Aku hanya melewatinya sambil tersenyum kepada para panitia yang menjaga deretan makanan yang disajikan. Aku bergegas menuju parkiran dan membawa kabur motor bututku mengarungi suasana malam yang sepi di sudut kota Yogyakarta. 
Untuk mencapai rumah, motorku harus melewati gang gelap dan kumuh di salah satu sudut dekat Pasar Beringharjo. Saat itu anak-anak punk sedang berkumpul di emperan toko. Ternyata mereka sedang membuat pola gambar graffity di tembok-tembok kosong gang itu. Pilox warna-warni seketika menghiasi tembok-tembok usang itu dengan gambar yang apik.
Di ujung gang yang lain aku melewati seorang bapak yang sedang memaki-maki seorang bapak yang lainnya. Kata-kata dari kebun binatang sekilas terdengar lantang di telingaku saat aku melewati mereka. Di samping mereka ada sebuah mobil merah tua diparkir di depan toko kelontong yang sudah tutup. Sudut gang yang gelap itu berubah menjadi pandangan yang mencekam di hadapanku. Kupacu gas lebih kencang.
Hatiku sedikit lega ketika motorku akhirnya telah memasuki area jalan raya. Mobil dan motor mulai ramai saling mendahului.
*** 
Hahaha...itu sepenggal kisah fiksi dari perjuangan mendapatkan rekaman tembang karawitan karya R.C.Hardjosubroto sang maestro karawitan Jogja. Sebenarnya saya ingin meneruskan ceritanya menjadi sebuah cerpen, tapi tiba-tiba ide mentok berhenti sampai di situ. Ya sudahlah, saya cerita tentang tembangnya saja ya.
Petikan tembang dalam cerita di atas merupakan salah satu favorit saya selama ini. Tembang ini pula yang sehari-hari menemani aktivitas saya di depan layar komputer. Saya tidak tahu yang ini judulnya apa. Hahaha
Hmm, mungkin Anda tidak tahu siapa itu R.C.Harjosubroto? Anda tahu lagu dolanan yang sering kita nyanyikan sewaktu SD dulu, "Gundul-Gundul Pacul"? Ya, beliaulah pencipta lagu tersebut. Lagu dolanan yang selama ini kita kenal sebagai lagu rakyat karena tidak diketahui siapa pengarangnya.
Hmm, saya bukanlah orang yang ahli dalam pengetahuan tentang hal-hal ini. Saya tidak tahu apa-apa tentang karawitan, tentang gamelan. Saya hanya penikmat saja. Sejak kecil ayah gemar menyetelkan lagu uyon-uyon untuk para tamu di rumah makan, sehingga mau tidak mau telinga ini terasa akrab dengannya.
Karya R.C. Hardjosubroto lain yang selalu membuatku tersenyum adalah Fragmen Nangka Rungkat. Tembang ini mengisahkan dialog di masyarakat ketika sebuah pohon nangka rubuh. Mereka bergotong royong untuk membereskannya. Sebenarnya ada juga tembang karawitan karya beliau yang dikemas dengan nuansa jenaka dan berBAHASA INDONESIA! Di telinga mungkin akan terasa aneh mendengar tembang karawitan Jawa dengan BAHASA INDONESIA. Tapi Anda akan tersenyum geli mendengar syairnya. Judulnya adalah Rumahku. 
"Anda ingin tahu dimana rumahku?...."
Itu petikan lirik pembukanya. Selanjutnya dengarkan sendiri hingga akhir.
Beliau pula yang menciptakan tembang dengan salah satu petikan syairnya, "Kuwi apa kuwi, kembange melati. Sing tak puja-puji, aja dho korupsi..."
Kalau tidak salah judulnya Aja Ngona-Ngono Kuwi apa ya...? Lupa saya...Tapi yang jelas tembang ini mungkin sudah begitu akrab di telinga masyarakat Jogja. Tembang ini berusaha menjadi nasehat bagi para pemimpin untuk tidak melakukan korupsi. Iya tetap menggunakan kata "aja" (artinya jangan) untuk mendidik masyarakat yang mendengarkan lagu ini. Selama ini pendidikan gaya barat selalu berusaha untuk menghindari kata "jangan". Saya tidak tahu alasannya. Tapi di Alquran pun dituliskan "LA" saat mengisahkan bagaimana Imran mendidik anaknya untuk TIDAK menyekutukan Allah, yang di ayat selanjutnya Imran memberikan penjelasan, "Sesungguhnya menyekutukan Allah adalah kezaliman yang besar."
Tidak semua kalimat larangan itu bisa menghindarkan dirinya dari kata "jangan" atau "tidak boleh". Bahkan perkembangan ilmu psikologi anak yang baru-baru ini saya dengar justru malah menganjurkan untuk menggunakan kata "jangan" itu di akhir kalimat. Anak cenderung mendengarkan kata-kata bagian akhir. Sekarang coba deh, bagaimana dengan kalimat larangan untuk merokok? 
Coba bandingkan:
"Jangan merokok di ruang publik!"
"Merokoklah pada tempatnya!"
"Jangan merokok! Merokok itu ...bla bla bla."
"Merokok dapat menyebabkan ... bla bla bla."

Ah, pusinglah saya membahas ini. Saya kan sedang membahas tembang.
"Kae... lho, kae... lho." (petikan tembang Persatuan Pembangunan)

Yogyakarta, 13 Februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar