Impor beras dianggap sebagai momok karena bertentangan
dengan kemandirian pangan. Di sisi lain, apabila menggantungkan produksi lokal,
harga beras sulit ditekan dan akan terbuka kemiskinan baru.
Kebijakan pangan,
khususnya impor beras, ibarat memakan buah simalakama. Keadaan yang serbasalah
dalam menghadapi dua pilihan yang tidak diinginkan itu disebabkan keduanya
menimbulkan kondisi yang tidak baik. Impor menyebabkan tidak mandiri, tidak
impor pun kondisi produksi domestik kurang mencukupi.
Dalam beberapa dekade terakhir, ketersediaan pangan menjadi
isu penting dunia. Begitu pesatnya peningkatan populasi dunia membuat
permintaan akan pangan jauh meningkat. Di sisi lain, pertumbuhan pasokan pangan
justru sebaliknya, mengalami kendala karena susutnya lahan pertanian dan gagal
panen yang dipicu, di antaranya, perubahan iklim.
Kondisi itu juga terjadi di Indonesia sebagai salah satu
negara yang kemampuannya dalam menyediakan pangan penduduknya justru mengalami
degradasi. Kalau di era Orde Baru negeri ini bisa swasembada beras, saat ini
hampir setiap tahun harus mengimpor agar pasokan dan harga pasaran di tingkat
konsumen bisa terjaga.
Ekonom dari Universitas Gadjah Mada, Elan Satriawan, kepada
Koran Jakarta mengatakan kenyataan susutnya lahan pertanian membuat masalah
utama swasembada beras di negeri ini sulit dipecahkan. Data menunjukkan 60
persen lebih petani padi di Indonesia hanya memiliki lahan tak lebih dari 0,5
hektare. Masalah itu diperburuk dengan kondisi infrastruktur pertanian dan
perdesaan yang sangat minim.
“Jumlah sawah yang memiliki irigasi teknis tak bertambah.
Jalan desa yang menghubungan petani dan pasar masih jadi masalah besar. Dan
pupuk masih jadi ajang spekulasi tiap tahunnya,” kata Elan Satriawan di
Yogyakarta, kemarin.
Tanpa perbaikan semua hal tersebut, menurut Elan, cita-cita
swasembada akan sangat sulit diwujudkan, bahkan tidak mungkin. Maka, menurut
Elan, dalam jangka pendek dan menengah, sampai seluruh perangkat dasar mewujudkan
swasembada tersebut dipenuhi, isu swasemba harus dilihat dari kacamata
ketahanan pangan. Dua komponen ketahanan pangan menurut Elan adalah
ketersediaan pangan dan keterjangkauan harga pangan.
Tepat di titik itulah Elan mengatakan impor menjadi hampir
tak terelakkan. Sayangnya, isu impor beras selalu mendapat respons buruk dari
publik karena dianggap akan menurunkan kesejahteraan petani sebab harga beras
di pasaran dunia yang lebih murah dari beras yang diproduksi di dalam negeri.
Impor dituding menjadi salah satu penyebab hancurnya pertanian nasional, yang
tentu saja menjadi salah satu sebab pokok dari bertambahnya tingkat kemiskinan.
Dalam penelitiannya tentang “Pengaruh Kenaikan Harga Pangan
terhadap Kesejahteran dan Kemiskinan”, Elan Satriawan bersama Wulan Wiyat Wuri
dan Ahmad Jamil, justru menemukan hal yang sebaliknya.
Pokok masalah dari penelitian tersebut adalah siapa yang
akan diuntungkan jika ada kenaikan harga beras di pasaran sebesar 20 persen dan
di tingkat produsen sebesar 16 persen, 20 persen, dan 24 persen. Dampak
terhadap peningkatan kesejahteraan berbeda untuk masing-masing kenaikan harga,
bergantung pada berapa persen kenaikannya. Tetapi, dampaknya pada memburuknya
kemiskinan ternyata justru konsisten. Kelompok yang paling dirugikan adalah
rumah tangga miskin, khususnya kalangan miskin perkotaan.
Elan mengatakan komposisi kepemilikan tanah dan buruknya
infrastruktur pertanian menjadi sebab utama dari temuannya. Yang diuntungkan
dari kenaikan harga hanya petani-petani besar dan para spekulan, sementara
petani kecil, meskipun dia memproduksi beras, nyatanya mereka adalah konsumen.
“Jadi, meski HPP dinaikkan dan tentu saja harga beras di
pasaran juga naik, mayoritas petani kita yang 60 persen lebih itu tidak akan
dapat untung karena mereka juga net consumer. Yang untung siapa? Ya petani
besar dan para spekulan,” tukas Elan.
Ketersediaan Lahan
Pengamat ekonomi pertanian dari UGM, Masyhuri, sebelumnya,
menegaskan hal yang paling pokok dari ketahanan pangan di Indonesia adalah
persoalan kepemilikan lahan. Menurutnya, petani rata-rata hanya mengolah lahan
kurang dari 0,5 hektare, sedangkan idealnya minimal 2 hektare seperti yang
diamanatkan undang-undang.
Untuk itu, menurut Ketua Umum Asosiasi Pemerintahan
Kebuapaten Seluruh Indonesia (APKASI), Isran Noor, tuntutan peran optimal
pemerintah daerah untuk mengurusi admnistrasi pertanahan semakin menguat karena
makin sering munculnya konflik-konflik agraria. Sehingga diperlukan peraturam
pelaksanaan yang mengatur kewenagan pemerintah kabupaten/kota yang berhadapan
langsung dengan masalah konflik hak-hak atas tanah. YK/E-12
Ketimpangan Harga Pangan Menarik Spekulan
Impor pangan menjadi isu yang paling panas dalam beberapa
tahun terakhir terkait melonjaknya harga pangan yang berkontribusi besar
terhadap inflasi dan kemampuan bangsa ini dalam hal menyediakan pangan bagi
penduduknya.
Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani
Indonesia (SPI), Ahmad Yakub, menyatakan persetujuannya dengan sejumlah
catatan. Persetujuan terhadap impor pangan bukanlah hal yang musti
diperjuangkan oleh para petani sebab hal tersebut terlalu mudah dilakukan oleh
birokrat, importir, dan spekulan yang selama ini menguasai perdagangan pangan
nasional.
Menurutnya, dengan
atau tanpa persetujuan petani saat harga beras dunia lebih rendah dari harga
beras nasional, para pemburu rente akan bekerja semaksimal mungkin untuk
mendapatkan keuntungan, dengan atau tanpa persetujuan petani. “Jadi yang saya
tanyakan pada akademisi, penelitian-penelitiannya itu tujuannya apa? Kalau mau
sekadar mengatakan impor pangan penting, ya buat apa, importir dan birokrat
pemburu rente nggak perlu dibela,” tegas Yakub di Yogyakarta, kemarin.
Yakub berpendapat
pokok persoalan dari pertanian di Indonesia adalah, seperti disebutkan dalam
penelitian Elan, adalah distribusi lahan yang sangat sempit. Menurut Yakub,
kampanye petani melawan impor pangan bertujuan untuk menjaga isu paling penting
dari isu pangan nasional yakni redistribusi lahan.
Isu terpenting kedua,
menurut Yakub, yakni pemberian bibit unggul dan teknologi serta industri
pengolahan pascapanen, dan baru yang ketiga adalah soal perdagangan pangan.
Penelitian Elan, menurut Yakub, hanya berpokok pada soal terakhir dan tanpa
bekerja apa pun, tanpa keterlibatan akademisi ataupun petani, perdagangan
pangan internasional (ekspor-impor) akan mengikuti keuntuntungan yang
dijanjikan. Kalau ada untung dari impor, ya impor, kalau sebaliknya ya ekspor
akan dilakukan.
Maka, menurut Yakub,
pembelaan terhadap petani maupun konsumen pangan dalam negeri harus selalu
berpegang teguh pada keterlibatan petani kecil sebagai pelaku utama penyediaan
pangan. Kalau hanya berfokus pada ketersediaan pangan, bangsa ini bisa
terjerumus dalam privatisasi sektor pangan tanpa perlu redistribusi lahan pada
petani kecil.
“Kalau fokusnya
ketersediaan, food estate bisa jadi pilihan. Tapi kalau fokusnya pada petani,
ya redistribusi lahan,” kata Yakub.
Menurut Yakub,
pemerintah harus memiliki kebijakan politik anggaran berbasis pertanian dan
melindungi produksi pangan dalam negeri. Kebijakan nasional Indonesia selama
ini lebih berbasis pada industri dan perkotaan dibandingkan basis perdesaan dan
pertanian sehingga petani sebagai soko guru pertanian pangan nasional bisa
dengan mudah digantikan dengan impor ataupun food estate. YK/E-12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar