Saya tergerak untuk menulis ini
karena teringat dengan sebuah pulau kecil yang beberapa bulan lalu memberikan
pengalaman berharga bagi kehidupan saya hingga saat ini. Pulau kecil yang dulu
dikenal sebagai Bumi Timah Kaulan itu, kini dikenal dengan pulau kecil yang
memiliki sejuta pesona pantai pasir putih dan batu granitnya. Pulau Belitong.
Sejak mendengar berita beberapa waktu terakhir ini, saya cemas pada nasib
orang-orang yang pernah menjadi sahabatku di sana. Mereka yang setiap pulang
sekolah menambang ke kulong. Mereka yang ketika laut tidak memungkinkan bagi
mereka untuk mencari ikan, mereka akan pergi ke kulong atau berkebun karet dan
sawit. Hampir semua kulong (tempat penambangan timah) di desa yang saya singgahi
itu adalah illegal. Itu adalah pertambangan rakyat tanpa izin. Setiap ada
polisi yang datang harus mereka sogok agar mereka bisa tetap aman meneruskan
usaha tambang mereka, yang sebenarnya itu adalah tambang sisa! Mereka hanya
mengais sisa dari penambang-penambang besar yang dulu pernah mengeruk habis
cadangan timah di bumi timah itu! Ya, mereka itu hanya mengais!
Kemudian sejak aturan kementerian
ESDM keluar dengan UU no. 4 tahun 2009 nya itu, para penambang mineral, yang
salah satunya adalah timah dan nikel (yang banyak terdapat di pulau itu),
berusaha memacu sebesar-besarnya ekspor mereka sebelum tahun 2014 nanti ketika
ekspor barang tambang mineral dalam bentuk mentah itu tidak diperbolehkan lagi.
Akibatnya harga barang tambang mineral mentah beberapa waktu terakhir turun
drastis dari sebelumnya. Para penambang kulong itu, yang tadinya sehari bisa
mendapatkan keuntungan hingga 300an ribu rupiah per kilogram yang mereka
dapatkan, mereka kini hanya bisa mendapatkan kisaran seratus ribuan saja dari
jumlah yang sama, bahkan terkadang kurang dari itu. Itu untuk mereka yang
menambang secara illegal. Mereka yang menambang dengan bekerja di perusahaan
pertambangan besar (yang kebanyakan mendapatkan predikat HITAM untuk penilaian
program PROPER dari KemenLH), yang dikhawatirkan dari mereka adalah ketika
jatah beras bulanan yang selama ini mereka peroleh dari perusahaan tambang akan
dihentikan karena kemudian banyak perusahaan tambang yang gulung tikar. Mengapa
harus rakyat kecil lagi yang harus jadi mainan?
Untuk saat ini saya bisa menerima
alasan mengapa pemerintah mengeluarkan UU No. 4 tahun 2009 bahwa tahun 2014
nanti, para penambang Indonesia tidak bisa lagi mengekspor bahan tambang mentah
mereka langsung ke luar negeri. Bahwa lonjakan ekspor dengan adanya UU yang
dikeluarkan tahun 2009 lalu itu menjadi sangat tinggi, ini dikhawatirkan
Indonesia akan segera kehabisan bahan tambangnya yang hanya digunakan untuk
negara lain sementara kita sendiri mengimpor barang jadi atau setengah jadi
dari mereka dengan harga yang jauh lebih tinggi. Kita itu bodoh atau apa ya?
China pun sudah melakukannya dari dulu. Mengapa mereka mengimpor terus dari
Indonesia sementara mereka sendiri punya persediaan tambang yang besar? China
tinggal terima mentahnya terus diolah deh itu bahan dijual lagi ke kita.
Sementara nanti kalau Indonesia habis persediaannya, Cina bisa gali sendiri
milik mereka dan olah sendiri, kemudian dijual ke kita dengan harga tinggi
karena mungkin saat itu barang-barang itu sudah langka di dunia ini. Nggak
hanya Cina sih, beberapa negara lain juga melakukan hal serupa. Cina sudah
diwanti-wanti USA untuk menjaga lingkungannya sehingga mereka harus segera
meninggalkan dirty industry.
Yang menjadi sorotan di sini
adalah, apakah pemerintah waktu mengeluarkan UU tahun 2009 lalu itu tidak
melalui kajian mendalam mengenai unintended effect-nya? Bahwa bisa jadi
penyelundupan akan semakin marak. Kesalahannya adalah bahwa pemerintah waktu
mengeluarkan UU itu tidak langsung disertai dengan aturan teknisnya. Sehingga
yang ada di pikiran pengusaha tambang adalah ekspor habis-habisan sebelum thaun
2014 itu. Ini permasalahan produksi man, maka harus diselesaikan dengan
produksi, bukan dengan trade. Jika permasalahannya adalah bahwa masih minimnya
pengolahan pemurnian hasil tambang mineral di Indonesia, itu kenapa? Ya,
mungkin insentif dari produsen tambang untuk ekspor lebih tinggi daripada kalau
dijual ke Indonesia. Kenapa lagi? Karena kapasitas pengolahan Indonesia belum
memadai. Ini masalah produksi, lagi-lagi.
Saya nggak mikirin tuh pengusaha
tambang besar deh, serugi-ruginya mereka pun masih bisa makan. Tapi
cukong-cukong yang ada di sekitar mereka yang mengais rezeki dari mereka, yang
nggak berdaya itu yang perlu dipikirkan juga.
Plis, paling tidak ada upaya dari
pemerintah deh buat mengantisipasi kerugian yang dialami oleh masyarakat kecil
yang terlibat secara langsung maupun tidak secara langsung dengan area
pertambangan mineral itu. Saya kemudian akan teringat Pak Tatin dan kelompok
budidaya rumput lautnya di Belitong sana. Apakah mereka saat ini lebih
mengandalkan laut dan kebun untuk mencukupi hidup mereka? Kemudian apakah
permasalahan yang ada di kelautan Indonesia tidak mengganggu mereka? Dan apakah
kebun-kebun sawit yang menjadi andalan Indonesia itu, ternyata sebagian besar
dimiliki oleh pengusaha sawit Malaysia yang semena-mena membuka lahan tanpa
memperhatikan lingkungan negara tetangganya, dan ketika asap sampai ke negara
mereka, mereka akan menyalahkan Indonesia. What the Indonesia!
Akhir kata, semoga rekan-rekan
tim pertambangan riset LOI bisa menemukan sesuatu yang berarti untuk negeri
ini! Kami, tim pangan juga akan bekerja keras, kawan! Semangaaat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar